Translate

Kamis, 29 Mei 2008

Vibi






Kupandangi Vibi dari jauh. Penampilannya masih tetap sama dengan setahun yang lalu, ketika pertama kali dia menemaniku jalan-jalan bersama Rino, cowokku, di suatu sore yang indah. Vibi memang cantik dan menyenangkan. Dia juga lincah. Tak heran jika Rino sangat menyayanginya.
“Perasaan sayang gue ke elo, sama seperti perasaan sayang gue ke Vibi,” kata Rino suatu hari.
Pernyataan ini jelas membuatku sedih, marah, dan cemburu. Bagaimanapun, aku nggak terima disamakan begitu saja dengan Vibi. Aku ceweknya, seharusnya aku berhak mendapatkan kasih sayangnya secara utuh. Tetapi akhirnya aku sadar, sebelum mengenalku, Rino sudah bersama Vibi. Vibi adalah separuh napasnya, aku tidak bisa memisahkan Rino Dari Vibi, begitu juga sebaliknya. Perlu waktu lama untuk memahami semua ini.

Senin, 26 Mei 2008

Dompet

Cerpen: R.F.Dhonna

Titik-titik hujan mulai membasahi tubuh ringkih yang kedinginan itu. Sesekali ia terbatuk-batuk. Musim hujan kali ini membuat pemuda itu tersiksa oleh penyakit menahun yang dideritanya. Tiba-tiba ia teringat Suyatno. Mungkin ini karma, karena dulu ia sering menghardik Suyatno, rekannya sesama gelandangan.

“Heh, kuping gue bisa budeg kalau lu dikit-dikit batuk. Diam sebentar kek, Tokek aja bunyinya sejam sekali,” hardiknya ketika itu.

Di lingkungan pemulung dan gelandangan TPA Kedaeng, pemuda gondrong berusia 20-an itu terkenal dengan nama Gopal. Padahal kedua orangtuanya memberinya nama Abdul Gofar.

Senin, 19 Mei 2008

Ulang Tahun Anggi


Cerpen RF.Dhonna
Anggi memandangi kebun bunga di belakang rumahnya. Hmm, cukup luas juga. Pasti asyik kalau ulang tahunnya nanti dirayakan di sini, seperti usul Tity, teman dekatnya.
“Nggi, daripada kamu pusing mikirin acara kayak apa yang cocok buat ultah kamu, mending nyontek Inge deh, pesta kebun,” usul Tity tadi siang di sekolah.
“Hah, nyontek pestanya Inge? Mending aku nggak ngadain pesta sekalian,” jawab Anggi ketus. Dia nggak mau nyontek pesta rivalnya sebulan yang lalu.
“Waktunya mepet non, tiga hari lagi!” kata cewek berpipi tembem itu semangat.
“Ah, kamu nggak ngerti sih.”
“Kenapa, Aksan? Dengerin ya, kalau Aksan emang suka sama kamu, dia pasti bakal milih kamu daripada Inge.”
“Jangan sok tahu, ah,” timpal Anggi.
Kini ia telah berubah pikiran, segudang rencana telah tersusun rapi di kepalanya.

Rabu, 14 Mei 2008

Jelang Dua Puluh Empat Tahun Hidup Sebagai Perempuan

“Betapa enaknya terlahir sebagai laki-laki.” Itulah pendapat saya dulu (bahkan sampai sekarang pendapat itu terkadang masih sering terlintas di kepala saya). Dibanding makhluk bernama perempuan, selama ini laki-laki distereotipkan lebih ‘bebas’, lebih kuat, lebih berani, dan masih banyak lebih-lebih yang lain. Saya sempat iri dengan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki laki-laki. Meskipun saya tak menampik bahwa perempuan pun punya banyak keistimewaan—diantaranya surga berada di telapak kaki ibu—tapi tetap saja, bagi saya laki-laki itu punya banyak kelebihan.