Translate

Kamis, 29 Januari 2009

Pelajaran Buat Nanda

                                                                                

   Cerpen: R.F Dhonna

“Banguuuun!” teriak Tweety kencang. “Banguuun, Nanda!” serunya sekali lagi. Percuma, Nanda tak bergeming. Tweety berteriak untuk ketiga kalinya, dilanjutkan teriakan keempat, kelima… yup! Nanda mulai menggeliat. Tweety bersorak girang.
Nanda membuka matanya perlahan, lalu dipukulnya Tweety dengan gemas hingga, “AUW!” Tweety terpelanting ke kolong tempat tidur.
“Aduh… sakit…,” ratap Tweety pelan. “Katanya  minta dibangunin jam lima. Udah dibangunin sampai pita suaraku hampir putus, eh, nggak dipeduliin,  malah dapat pukulan lagi. Hu… hu…,” gerutu si pipi gembul itu sambil menangis.
“Ada apa lagi, Ty?” ternyata di kolong itu ada Casio.
“HWA…!” ditanya begitu, tangis Tweety semakin keras. “Aku dipukul lagi, padahal aku sudah menjalankan tugasku dengan baik…,” adunya pada Casio.
“Sudahlah, kamu nggak sendiri. Nasib kita sama, Ty. Kita cuma bisa mengingatkan Nanda. Kalau toh, nanti Nanda mengalami kejadian buruk, itu bukan kesalahan kita. Yang penting, kita sudah mengingatkan,” ucap Casio bijaksana.
“Tapi aku kasihan sama Nanda. Lama-lama dia bisa jadi pemalas.”
“Iya sih, tapi kita bisa apa?” sejenak keduanya berpikir.
“Bagaimana kalau kita beri dia pelajaran?” cetus Tweety.
“Maksud kamu?” Casio balik bertanya. Tweety segera membisikkan idenya itu ke telinga Casio. Casio tampak manggut-manggut.

Si Cantik Sharma


                    
Oleh: RF.Dhonna
Pada sebuah desa kecil di India, hidup seorang wanita bersama putri semata wayangnya yang cantik jelita, namanya Sharma. Kecantikannya terkenal di seluruh pelosok desa. Gadis itu gemar bersolek. Setiap hari dia tak pernah lepas Dari sebuah cermin kecil yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi.
Sebenarnya tak sedikit pemuda yang ingin memperistri Sharma. Tetapi akhirnya mereka mengurungkan niatnya. Melihat hal ini, sang Ibu khawatir dengan nasib putrinya yang tak kunjung mendapatkan pendamping hidup.
Pada suatu hari, ada seorang pemuda Dari desa seberang yang ingin melamar Sharma. Dia seorang pemuda yang tampan, kaya, dan baik hati. Ibu Sharma sangat bersuka cita mendengarnya. Pagi buta, sang Ibu sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan. Ia ingin menjamu pemuda itu.
Ibu Sharma segera meminta bantuan Tuan Karan, tetangganya, untuk menangkapkan ikan tuna di sungai depan rumahnya. Ia akan mengolah ikan itu menjadi masakan yang lezat dan istimewa.
“Sharma, ibu akan ke pasar. Kau bisa membantu ibu memasak ikan tuna dengan kuali ini kan?” kata sang Ibu sebelum berangkat. Mata gadis itu terbelalak melihatnya.
“I-iya, Bu,” Sharma tergagap. Dia bingung, bagaimana mungkin ikan sebesar dan sepanjang lengan manusia itu dimasak dalam kuali kecil?
Sepeninggal sang Ibu, Sharma tidak tahu apa yang pertama kali harus dilakukannya. Gadis itu berjalan mondar-mandir, duduk lama-lama memandangi kuali dan ikan tuna dihadapannya secara bergantian, lalu bangkit dan duduk lagi. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah ide. Lalu Sharma meninggalkan ikan itu tergeletak di atas meja dapur.
“Nyonya, apakah Anda punya kuali panjang?” tanya Sharma kepada Nyonya Kana, tetangga sebelah rumahnya.
Kening wanita itu berkerut, sebelum akhirnya mengatakan tidak punya.
Sharma mencoba mendatangi rumah tetangganya yang lain. Kali ini dia ke rumah Nenek Shanggita. Sharma langsung menuju dapur nenek tua itu.

Rabu, 28 Januari 2009

Perempuan-perempuan yang Menemuiku

Cerpen: R.F Dhonna

Seorang ibu termangu di sebuah bangku panjang, tepat di bawah pohon asam. Perempuan itu menanti putrinya pulang sekolah di bawah pohon yang ditanam di samping kanan gerbang sekolah dua puluh tahun yang lalu. Sembari menunggu, ia akan bercakap-cakap dengan beberapa orang pedagang kaki lima yang sudah lama dikenalnya akrab, yaitu sejak putrinya yang kini berusia lima belas tahun itu baru menjadi siswa sekolah ini. Karena itulah ia keasyikan, tak pernah bosan atau mengeluh, walaupun setiap hari harus antar-jemput putrinya sekolah. Tak hanya sekolah, tetapi juga aktivitas lain. Mulai kegiatan ekstrakurikuler, les renang, les modelling, dan kursus bahasa Inggris. Semua dilakukannya sendiri, tanpa sopir pribadi.
Aku juga termasuk salah seorang yang sering diajaknya bicara. Perempuan itu akan menemuiku di ujung trotoar bila merasa membutuhkanku. Ia akan segera  duduk bersila sepertiku, menatap lalu lalang kesibukan pengguna jalan di hadapan kami, lalu mulai berkisah tentang buah hatinya yang sangat ia banggakan.

ende dalam kenanganku (part.3--tamat)

Angkot full music
Sembilan bulan tinggal di Ende, hanya sekali aku jalan-jalan dengan angkutan kota yang ada disana. Biasanya sih, kemana-mana naik motor. Waktu itu terpaksa, karena suami tidak bisa mengantar ke pasar murah hari Jumat di Wolowona. Rame-rame dengan para istri lainnya, aku ke Wolowona untuk berbelanja bahan makanan sehari-hari naik angkot Ende yang full music. Lagu daerah atau lagu masa kini diputar dengan kencang dan berdentum-dentum, seperti diperdengarkan pada orang tuli gitu. Bising bukan buatan. Lama-lama bisa bikin kepala pusing. Memang seperti itulah rata-rata angkot di kota ini, berlomba-lomba memutar musik dengan sound yang bisa membangkitkan mayat dalam kubur ;). Sudah begitu, sopirnya ngebut lagi. Mati-matian kami bertahan dalam suasana yang amat sangat crowded itu selama 15 menit. Kami kuat-kuatkan hingga sampai di komplek rumah dinas kantor suami. Begitu turun, hhh.. lega. Itulah, mengapa kami jadi kapok naik angkot.

Konon, kalau sebuah angkot melintas di depan anak-anak sekolah tanpa musik menghentak-hentak, angkot itu tidak akan dilirik (dilirik aja enggak, apalagi dinaiki). Bagi anak muda disana, seperti para pelajar itu, angkot yang nyetel musik heboh adalah angkot yang keren dan layak untuk dijadikan kendaraan pulang ke rumah. Mungkin itu salah satu alasannya, mengapa angkot di Ende musiknya kenceng-kenceng.

Selasa, 27 Januari 2009

Mimpi Evan

              
Cerpen: R.F.Dhonna*
Pagi-pagi sekali Evan sudah berangkat ke sekolah. Sebelum bel masuk berbunyi, dia harus sampai kelas. Evan berusaha untuk tidak terlambat lagi seperti biasanya. Dia kapok disuruh meringkas buku. Meski demikian, ternyata hari itu Evan tetap menerima hukuman. Kali ini bukan karena terlambat, tetapi karena tidak mengerjakan pe-er!
”Kamu kok senang sih, dihukum?” tanya Ali, teman sebangkunya.
”Aku lupa, Al,” jawab Evan.
”Lupa atau malas?” tanya Ali sekali lagi. Evan merengut kesal. Ia tak terima jika ada yang mengatainya pelupa atau pemalas. Karena itu, Evan memilih tak menjawabnya. Ia segera pergi ke kebun belakang sekolah, melaksanakan hukuman dari Bu Ratri: mencabuti rumput liar yang tumbuh subur di sela-sela tanaman jahe.
”Huh, kayak tukang kebun saja! Mending disuruh meringkas buku daripada kotor-kotor begini!” rutuk Evan seraya memegang jijik rumput-rumput yang bertanah tebal. ”Ada-ada saja Bu Ratri, bikin peraturan seenaknya!”
 Sambil membersihkan rumput yang panjang-panjang itu, Evan terus mengomel. Tanpa disadarinya, berpasang-pasang mata tengah memperhatikannya.

It's Me Uki




“Uki pulang..!” teriak Uki kenceng, lalu menggeletakkan sepedanya di garasi dengan serampangan, GRUBYAK! 
Mendengar suara keras itu, Maminya langsung ngomel-ngomel.
“Ki, hati-hati dong. Pelan sedikit kan bisa!”  ujar sang Mami kesal.
“Uki haus, Mi,” timpalnya sambil mengambil segelas jus jeruk dari lemari es.
“Mbak Naya dateng tuh,”  lanjut Maminya kemudian.
“Hah, Mbak Naya? Mana?!”
“Di kamar kamu, lagi bersih-bersih.”
Mendengar itu, Uki segera berlari ke kamarnya, takut Naya mengubah letak benda-benda koleksinya.
“Baru dateng, Ki?” sapa Naya ketika Uki melongokkan kepalanya di pintu. Naya adalah satu-satunya saudara kandung Uki yang sekarang jadi sekretaris di sebuah perusahaan konveksi di Jakarta. “Dari mana aja seharian?” lanjut Naya sembari tetap asyik beres-beres. “Kamu selalu ninggalin kamar dalam keadaan berantakan seperti ini, Ki?” lanjutnya lagi.
Uki cuma tersenyum sambil garuk-garuk kepala, nggak nyangka kalau kakaknya yang cantik itu akan menyambutnya dengan pertanyaan itu.
“Lagi libur ya, Mbak?” tanya Uki agak kikuk.
“Nggak. Ada tugas dari kantor, biasa, kunjungan ke peragaan busana,” jelas  Naya. Kali ini seraya merapikan buku-buku Uki yang berserakan di lantai.
“Berapa hari di rumah?”
“Besok pagi mbak sudah balik kok. Ntar malem temenin mbak ya?”
 “Nggak ah, males! Emangnya, peragaan busana apa sih, Mbak?”
“Kebaya.” Jawab Naya pendek. “Oh, iya,” tiba-tiba Naya teringat sesuatu. “Ini oleh-oleh buat kamu.”

Seandainya Aku Bukan Ibumu




Cerpen: R.F.Dhonna
 
Hingar bingar pesta masih berlangsung di luar sana. Suaranya benar-benar memekakkan telingaku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku harus bersabar sampai beberapa hari lagi. Sungguh, jika Tuhan memberiku kekuatan, aku pasti akan segera keluar dari tempat ini! Dan, ugh, apa ini?! Lagi-lagi aku terpaksa meneguk bir hitam yang membuatku mual itu. Ya Tuhan, sampai kapan hidupku begini? Tak ibakah dia melihat penderitaanku selama ini? Jika di tempat ini saja hidupku seperti budak, dibawa pergi kesana kemari, ke tempat-tempat menjijikkan, dipaksa menelan berbutir-butir ekstasi tiap malam, lalu bagaimana nasibku di luar nanti? Bisa-bisa aku hanya jadi borok bagi manusia-manusia di sekitarku. Ah, mungkin untuk sementara waktu , aku memang harus bertahan di ruangan yang pengap dan sempit ini.
* * *
Kenapa aku masih di tempat ini? “Hey, keluarkan aku dari siniii..!!” teriakku sambil memukul-mukul dinding tebal yang mengelilingiku saat ini. Tapi percuma, secepat kilat suaraku memantul kembali. “Hey, keluarkan aku..!!” cobaku sekali lagi. Berulang-ulang kuteriakkan kata-kata itu. Akhirnya aku kalah. Tenagaku, pita suaraku, ah, kenapa tak ada yang mendengarku? Tulikah orang-orang di luar sana? Apakah mereka sengaja membiarkanku terperangkap dalam ruang tanpa cahaya ini?
“Habisi dia dengan cara apa pun!” sayup-sayup terdengar suara seorang laki-laki. Kutajamkan pendengaranku. Benarkah suara di luar sana mampu menembus pembatas setebal ini?
“Jahanam! Kau tak bisa memperlakukan aku seenakmu.” Kali ini yang kudengar suara wanita. Jahanam? Sepertinya aku sering mendengar kata itu.
“Sudah, telan ini! Beruntung kau mendapatkan ini tanpa susah payah!” mendengar kata-kata ini, rasa penasaran akan apa yang terjadi di luar sana segera menguasai benakku.
“Kau pikir, dengan barang haram ini, masalah kita bisa selesai?” sejenak, tak kudengar lagi suara mereka. Mungkin sama-sama sedang berpikir.
“Setidaknya kau bisa membebaskan dirimu dari masalah ini untuk sementara waktu,” tutur si laki-laki sendu.
“Kau gila! Meskipun orang lain menganggapku seperti sampah, tapi hidupku masih berarti, setidaknya untuk janin ini,” balas si wanita sambil mengelus perutnya yang membuncit. Aku merasakan sentuhannya…
“Terserah!” suara si laki-laki kembali meninggi, “tapi ingat, jangan sekali-kali datang lagi kepadaku. Camkan itu!”
“Bangsat!!!” maki si wanita. Sepertinya laki-laki itu telah pergi meninggalkannya.

Senin, 19 Januari 2009

Ende dalam kenanganku (part.2)

Bibir orange karena buah pinang
Ada satu kebiasaan unik penduduk asli Ende yang mirip dengan kebiasaan orang Jawa jadul, jaman nenek-nenek kita dulu (sekarang mungkin masih ada, tapi kayaknya sudah mulai punah), yaitu mengunyah pinang. Kalau di Jawa setahuku mengunyah daun sirih yang dicampur buah pinang dan bahan lain. Tujuannya untuk merawat gigi, gusi, dan mulut. Seperti almarhumah nenek dulu.

Ketika ke pasar, di jalan-jalan, dimanapun, sering kujumpai laki-laki dan perempuan Ende yang sudah agak berumur bibirnya merah kekuningan kayak pakai lipstick setelah mengunyah pinang. Mungkin tujuannya sama seperti orang Jawa jadul ya, untuk kesehatan mulut dan kawan-kawannya itu.

Ikan-ikan…
Ketika di Ende, sebagai ibu rumah tangga biasa, sehari-hari kuhabiskan sebagian besar waktuku di rumah. Memasak, mencoba resep masakan baru, bersih-bersih, main ke tetangga, main ke teman, berputar seperti itu. Suamiku kerja lima hari, dari pukul delapan pagi sampai lima sore, praktis, kalau weekend atau hari libur lainnya betul-betul kami manfaatkan untuk refreshing buat menghilangkan stress akibat aktivitas yang monoton. Di Ende, jalan-jalan ke pasar ikan sudah bisa menghilangkan stres. Sembari memilih ikan, kita bisa melihat pantai dekat pasar ikan dengan segala kesibukannya. Kepuasan karena mendapat ikan segar yang murah, juga bisa menjadi obat stres yang manjur, hehe…

Selasa, 13 Januari 2009

Ende Dalam Kenanganku (part.1)

Ende, aku datang…
8 Februari 2007.
Pesawat Cassa 212 yang kutumpangi hendak mendarat. Aku melongok ke bawah. Wow, pemandangannya indah…, hijau dimana-mana. Kota Ende yang menjadi tujuanku tampak diapit oleh beberapa gunung, perbukitan kecil dan dikelilingi pantai berair biru jernih. Perasaan haru menghampiriku ketika baru saja mendarat di bandara H. Aroeboesman. Inilah Ende, kota kecil di timur Indonesia. Kulihat sekeliling, bandara ini sepi sekali. Luasnya pun tak ada setengah dari bandara Juanda atau bandara internasional lainnya. Tak ada pesawat-pesawat besar yang singgah. Setelah menurunkan penumpang, pesawat kecil jenis Cassa 212 (yang cuma muat sekitar 25-an orang), jenis fokker, atau jenis ATR 42, biasanya langsung terbang lagi dengan penumpang baru. Nggak pakai parkir dulu.

Di pintu keluar bandara, segerombolan tukang ojek menghadangku dan suami. Ya, tukang ojek, tidak ada taksi seperti di bandara lain. Kami menggeleng menolak tawaran mereka, karena sudah ada dua orang penjemput kami, teman sekantor suamiku. Masing-masing membawa motor sendiri-sendiri. Kata suamiku, jarak antara bandara dengan calon rumah kontrakanku nanti tidak terlalu jauh, bisa ditempuh selama tiga menit saja. Hmm.. seperti apa ya, rumah yang akan aku tempati itu?

Selasa, 06 Januari 2009

Tetap Heboh Meski Tanpa Ayah

 
Tahun lalu Raya melewati tahun baru pertamanya tanpa kehadiran Ayah. Kesibukan akhir tahun di kantor membuat Ayah tidak bisa pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga. Kebetulan rumah mertua di tengah kota, dekat alun-alun yang setiap ada perayaan hari besar selalu ramai. Malam menjelang pergantian tahun, bersama Ibu mertua, kakak ipar dan anak-anaknya, serta tante, Raya kami ajak keliling alun-alun dengan berjalan kaki. Kami melihat orang-orang yang berjualan. Segala macam barang dijajakan, mulai dari terompet, mainan, baju-baju, sampai makanan. Kulihat Raya seperti terheran-heran menyaksikan pemandangan itu. Kami semua bergantian menggendong Raya. Semakin malam, jalan semakin penuh disesaki manusia dan beragam kendaraan, membuat kami terjebak di tengah alun-alun. Kami tidak menemukan jalan untuk pulang. Terpaksa kami berhenti sejenak di tukang gorengan, duduk lesehan sambil memesan sepiring makanan untuk dinikmati bersama. Tidak lama kemudian, kami berhasil pulang dalam keadaan capek berat.

* tulisan ini dimuat di tabloid Nakita no. 510/th.X/5-11 januari 2008, dengan beberapa perbaikan