Translate

Kamis, 26 Juni 2008

koko

Entah sejak kapan, kadang-kadang tanpa sadar saya dan suami saya memanggil anak kami dengan panggilan sayang “koko”. Panggilan ini berasal dari kebiasaan kedua adik saya—om dan tantenya Raya—yang memanggil si kecil dengan sebutan atekko (berasal dari kata adikku yang dimodifikasi,hehe..). Lama-lama, mungkin karena kepanjangan, mereka manggil Raya dengan Koko saja (diambil akhirnya). Sekarang kami berdua jadi ikut-ikutan memanggil begitu

Selasa, 24 Juni 2008

juni tahun ini (2)

 
Masih di bulan Juni, kado luar biasa kembali kuterima dariNya. Kali ini berhubungan dengan si kecil Raya. Minggu 15 Juni lalu, Raya demam. Kukira cuma panas demam biasa, efek samping tumbuh gigi—di gusi bawah ada tanda-tanda akan tumbuh dua gigi—ternyata bukan.
Hari Senin, Raya masih ceria seperti biasa, tetap makan sesuai porsi sehari-hari. Selasa, Raya tampak lesu dan lemas, gak nafsu makan, gak banyak tingkah atau ngoceh seperti biasanya. Aku belum curiga kalau sakit si kecil serius.

Senin, 09 Juni 2008

Juni Tahun Ini

Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, juni tahun ini saya akan mendapat kado luar biasa. Siang itu, Kamis 5 Juni lalu, Samarinda diguyur hujan lebat. Suami saya sudah di kantor lagi setelah pulang ke rumah pada jam istirahat. Setelah beberapa menit, kok hujan tambah lebat, batin saya. rumah kontrakan saya bocor di sana-sini. Anak saya mulai rewel. Dengan menggendong si kecil, saya periksa seluruh ruangan. Begitu melongok kamar mandi, astaghfirullah, air selokan masuk. Posisi lantai rumah kontrakan saya memang lebih rendah dari jalan. Di pintu kamar mandi terdapat tembok pembatas setinggi lutut untuk mencegah air masuk ke dapur.

Kiat Harry Roesli Mengasuh Anjal

 
Beberapa waktu  lalu, kampus kita tercinta kedatangan tamu istimewa, yaitu Harry Roesli. Beliau diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar dan talk show yang termasuk rangkaian LUSTRUM X UM. Dalam kesempatan tersebut, beliau membeberkan rahasia suksesnya bergaul dengan anak jalanan (anjal). Berikut petikan kisah yang berhasil direkam oleh wartawan Komunikasi, RF. Dhonna.

Siapa yang tak kenal Harry Roesli. Sosok dan kiprahnya sebagai seniman sekaligus budayawan sudah tidak diragukan lagi. Selain itu, pria gaek yang kerap tampil nyentrik dengan busana serba hitam ini juga dikenal sebagai kolumnis senior di sebuah surat kabar terkemuka di Indonesia. Kini sejak muncul sebagai komentator tetap di acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dengan ciri khasnya yang suka melontarkan akronim-akronim ‘jahil’, wajah pria kelahiran 10 September 1951 ini semakin familiar di mata masyarakat.  Tapi tak banyak yang tahu jika sosok sederhana ini ternyata juga seorang pengayom anjal. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 3624 anak! Hebatnya, sampai saat ini ia mengaku tak pernah mengalami kesulitan berarti dalam mencari dana untuk kelangsungan hidup para anjal itu. “Alhamdulillah, meskipun tidak terorganisir dengan baik, dana untuk mereka selalu ada,” ucapnya penuh syukur.

Makam Bung Karno, Daya Tarik Terbesar Kota Blitar

Bulan Agustus identik dengan Bung Karno, karena tepat pada 17 Agustus enam puluh tahun yang lalu, beliau memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia bersama Bung Hatta. Beberapa waktu lalu, Komunikasi berkesempatan mengunjungi komplek makam Putra Sang Fajar ini di kota Blitar. Komplek makam yang kini dilengkapi perpustakaan itu belum sepenuhnya selesai. Meski bangunan baru itu sudah dioperasionalkan sejak 3 Juli 2004 lalu, proses penyempurnaan bagian-bagian gedung tiga lantai itu masih tetap berlangsung.

Sebuah patung Bung Karno dalam posisi duduk dan sedang memegang buku dengan tinggi sekitar 2 meter, akan tampak pertama kali begitu pengunjung memasuki halaman komplek makam Bung Karno dari arah selatan. Patung yang terlihat dari luar gedung itu tampak elegan. Melengkapi nuansa kemegahannya, tampak pula deretan pilar-pilar setinggi 6 meter pada bangunan terbuka di bagian tengah komplek, berjejer dengan kolam ikan yang memanjang dari arah utara-selatan. Pada bangunan terbuka yang berfungsi sebagai open theater itu, pengunjung juga dapat melihat relief perjalanan hidup Soekarno dan manuskrip proklamasi yang terpahat di dinding.

Minggu, 08 Juni 2008

nokia 3310-ku

Seorang teman pernah bertanya padaku, "seandainya ada orang yang pengen nukar hape nokia 3310 kamu dengan hape keluaran baru yang lebih canggih, kamu mau nggak?" Tanpa pikir panjang, kujawab, "nggak mau!"
Ada banyak alasan, kenapa hape yang sekarang dianggap kuno itu kupertahankan. Hape itu punya nilai historis tinggi. Aku harus bersusah payah mendapatkannya.
Nokia 3310 yang sampai detik ini masih 'sehat' itu kubeli dari hasil keringatku sendiri pada 22 Oktober 2004 silam seharga 400 ribu. Hape itu--meski seken-- kubeli dalam kondisi cukup baik, lengkap dengan ces asli dan box-nya. Jauh sebelum itu, aku sangat menginginkan sebuah hape. Meski jelek nggak pa-pa, yang penting bisa dipakai telpon dan sms. Makanya, ketika akhirnya aku bisa beli hape, aku seneeeng banget.
Sebagai mahasiswa yang punya mobilitas tinggi (cie..), aku merasa sangat terbantu dengan adanya hape. Prinsip kerjanya yang memudahkan komunikasi benar-benar aku rasakan.
September 2004, redakturku di Majalah Komunikasi menawariku sebuah side job. "Mau nggak jadi panitia pameran buku internasional? honornya lumayan lo." Mendengar kata honor, tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mengiyakannya (maklum, lagi maruk-maruknya, he-he..). Ini kesempatan emas untuk menambah isi dompet yang hampir tiap bulan selalu minus.

traveling






satu siang di warung bambu, warung apung di Lumajang

full smile

Assalamualaikum adek, selamat pagi…

Hmm.. senyum yang indah

Anak sehat, bangun tidur nggak nangis….

Senyuman sepanjang hari buat Ayah dan Bunda

Dari adek yang selalu kuat dan bersemangat

Dari adek yang cerdas dan solihat

Dari adek yang ceria dan bahagia

Sambut cinta dan kasihNya

Lalu tebar di semesta dengan tulus ikhlas

Selamat malam adek, selamat tidur

Lelaplah dengan senyum paling indah

Peluk cium kami untukmu

Ceritakan mimpi semalammu esok hari

Senandung cinta buat Raya

sisi lain Iqbal

Pagi itu, datang sebuah kabar yang mengejutkan dari adik laki-lakiku, Iqbal, "mbak, aku kesuk ate budhal mondok (aku besok mau berangkat mondok--nyantri di pondok pesantren)," katanya. aku tercenung lama. dalam waktu dua bulan, satu lagi penghuni rumah yang akan pergi. setelah aku ke ende, adikku ke curah kates-jember. Rupanya tahun 2007 ayah-ibuku harus ikhlas "kehilangan" dua anak sekaligus.

sebenarnya sudah lama aku mendengar rencana iqbal untuk mondok. tapi waktu itu, kupikir dia hanya ingin saja, nggak serius. ternyata keinginannya yang satu ini begitu kuat. Aku ingat, dia mengungkapkan keinginan ini pertama kali sekitar 3 tahun yang lalu. Tapi kedua orantuaku keberatan, karena tidak ingin 2 anaknya meninggalkan rumah dalam waktu bersamaan. Waktu itu aku baru setahun kuliah di Malang. Akhirnya orangtuaku berjanji, begitu aku lulus, mereka akan mengabulkan keinginan iqbal. Ya, sementara waktu, iqbal terpaksa harus mengalah untukku.

tentang seorang kawan

 
Siang itu panas banget. Setumpuk naskah cerpen di depan mata saya—yang menunggu giliran untuk diseleksi—membuat suasana tambah gerah. Waktu itu saya masih mahasiswa semester tiga, ditugaskan menjadi sekretaris pelaksana sebuah lomba menulis oleh organisasi mahasiswa intra kampus yang saya masuki sejak semester satu, UKMP.

14-17 juli 2007



Sabtu 14 juli 2007 pukul 21-an. Mendadak perutku sakit. Rasanya seperti ingin buang air besar. Setiap 5-10 menit sekali, sakit itu menderaku selama 1 menit. Malam itu aku tak bisa memejamkan mata. Perlahan ketegangan merayap—inikah saatnya? Inikah pertanda bahwa bayi yang bersemayam di rahimku sembilan bulan lamanya akan segera lahir? Inikah yang namanya kontraksi? Keesokan harinya, kukonsultasikan hal ini pada Mbak Tri, bidan depan rumah.

Selasa, 03 Juni 2008

prihatin insiden monas

Saya malu, sedih sekali menyaksikan peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh sebuah ormas berembel-embel Islam kepada sekelompok massa yang bernaung di bawah ormas ‘beraliran’ kebangsaan, pada Minggu 1 Juni kemarin di Monas. Bagi saya, peristiwa itu tidak hanya mencoreng Islam sebagai agama penuh cinta dan kasih sayang, tetapi juga mempertanyakan moral bangsa ini. Rekaman tragedi penyerangan itu yang ditayangkan di semua stasiun televisi, menggambarkan dengan jelas betapa brutalnya ormas Islam itu. Mereka memukuli semua yang ada di Monas—tak peduli apakah mereka wanita, anak-anak, atau manula—merusak semua properti yang ada, begitu membabi buta, persis seperti binatang, anarkis, tidak berperikemanusiaan sama sekali.