Translate

Sabtu, 21 Februari 2009

saya tahu, jadi Ibu itu berat.

“Sejak mbak kerja, Raya kelihatan kurusan ya..?” ucap seorang teman, istri teman sekantor suami.

Saya langsung tertohok.

Benarkah? Ah, siapa bilang. BBnya juga gak pernah turun kok, bela saya dalam hati.
Jujur, ucapannya sangat mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini. Ada sebersit rasa bersalah. Benarkah si kecil merasa ditelantarkan? Benarkah suami merasa diabaikan? Benarkah saya tidak becus jadi istri sekaligus Ibu? Dan sederet pertanyaan lainnya, menghantui saya setiap saat.

Saya merenung, mengingat apa saja tugas ibu rumah tangga yang menurut saya, sudah saya lakukan dengan baik.

Alhamdulillah, meski sibuk, sehari-hari saya masih bisa menyempatkan memasak untuk keluarga. Hanya sesekali saja kami makan di luar, karena makanan di luar kan jarang yang tidak memakai penyedap, hampir semua pakai. Di rumah, saya menghindari penyedap dan sebisa mungkin menggunakan bahan-bahan segar yang kaya gizi. Untuk urusan makan, saya memang cukup hati-hati. Saya ingin keluarga saya sehat dan tidak mudah sakit.

Minggu, 01 Februari 2009

Penantian Raia

Cerpen: RF.Dhonna

“Tok… tok… tok… !” Raia terkesiap. Angin malam yang mendesau pelan tak mampu mengubah kecepatan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Raia merengkuh keempat buah hatinya,  bukan sekedar untuk menghalau dingin, tapi juga memberi rasa aman. Ia tak ingin kehilangan satu pun dari mereka, karena saat ini, merekalah satu-satunya harta yang dimilikinya. Raia segera teringat pesan terakhir suaminya. Perlahan diraihnya sebuah pistol yang selama ini disimpannya di bawah bantal. Tangannya gemetar. Akankah malam ini menjadi malam berdarah pertama yang ia alami setelah bertahun-tahun lamanya benda ini hanya disimpannya tanpa sekalipun ia fungsikan?
Dipeganginya dada kirinya yang mulai terasa nyeri. Tapi ia tak peduli. Sambil melangkah ke pintu, pandangan wanita itu tak lepas dari keempat buah hatinya yang meringkuk di atas tempat tidur. Keringat dingin mulai membasahi piyama merah hati pemberian suaminya di malam pengantin. Hampir tiap malam ia memakainya., karena ia yakin, meskipun tanpa kabar, suaminya yang merantau ke negeri orang itu sewaktu-waktu pasti pulang.  Memakai piyama ini, Raia merasa bercumbu dengan suaminya setiap malam. Tiba-tiba bayangan sang suami berkelebat di depan matanya.
“Aku akan pergi ke seberang dalam waktu yang lama. Apa yang kau inginkan sekembalinya aku dari sana?”
“Aku hanya ingin kebahagiaan. Tapi… benarkah kebahagiaan itu harus dicari di negeri seberang? Lalu, apakah kelak kau bisa membawakannya untukku?”
“Raia, aku akan mencarikannya untukmu, juga untuk anak-anak kita,” ucap laki-laki itu mesra sambil membelai lembut rambut istrinya yang tergerai panjang. “Meskipun aku harus terbang ke ujung dunia sekalipun, aku pasti membawanya ke hadapanmu.” janjinya manis. Raia melambung, tapi hanya sesaat.
“Kau akan meninggalkanku dan anak-anak kita?” tanya Raia sedih.
“Raia, aku pasti kembali padamu.”
Raia menggeleng, “Tidak, kau bohong! Kau meninggalkanku karena aku sudah tak mampu lagi memberimu kepuasan. Juga karena kanker yang kuderita. Kau memilih pergi jauh agar aku tak lagi menjadi beban pikiranmu? Ya, kan?!” Tiba-tiba Raia meradang. “Ternyata kau…”