Fira
Mataku masih terpaku menatap layar laptop.
Sejam lebih aku duduk di kafe ini. Muffin
yang kupesan hangat-hangat tadi berangsur mendingin. Tak secuil pun bagiannya
kusentuh. Demikian pula dengan secangkir coklat panas favoritku.
Aku sering ke kafe ini. Duduk berjam-jam di
kursi paling pojok untuk menulis. Tapi apa yang tak
sengaja kutemukan ketika membuka facebook
mengalihkan konsentrasiku. Niat menulis perlahan menguap, berganti
penasaran yang tak berujung.
Hatiku berdenyar. Foto hasil tag di wall seorang teman mengajak jari-jariku menjelajah, dan berhenti di
facebook seseorang yang amat kukenal.
Foto keluarga besar itu melempar ingatanku ke
sepuluh tahun lampau. Aku pernah mengenal wajah-wajah yang terpampang di foto
itu: Mbak Tisha, Mbak Nita, Mas Ari, dan… Deni. Tapi, ada satu wajah yang tak
pernah kukenal, seorang wanita berkebaya putih yang berpose di sebelah Deni.
Oh, seharusnya aku yang berdiri di antara
mereka, bukan dia! Tiba-tiba
kemarahan menggelegak di dadaku. Hey, kenapa aku cemburu begini? Bukannya
kehidupanku saat ini sudah demikian sempurna? Aku bukan lagi Fira yang dulu,
yang tidak punya apa pun yang bisa dibanggakan. Sekarang aku punya semua:
popularitas, limpahan materi, rumah, mobil, apalagi?