Translate

Sabtu, 21 Februari 2009

saya tahu, jadi Ibu itu berat.

“Sejak mbak kerja, Raya kelihatan kurusan ya..?” ucap seorang teman, istri teman sekantor suami.

Saya langsung tertohok.

Benarkah? Ah, siapa bilang. BBnya juga gak pernah turun kok, bela saya dalam hati.
Jujur, ucapannya sangat mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini. Ada sebersit rasa bersalah. Benarkah si kecil merasa ditelantarkan? Benarkah suami merasa diabaikan? Benarkah saya tidak becus jadi istri sekaligus Ibu? Dan sederet pertanyaan lainnya, menghantui saya setiap saat.

Saya merenung, mengingat apa saja tugas ibu rumah tangga yang menurut saya, sudah saya lakukan dengan baik.

Alhamdulillah, meski sibuk, sehari-hari saya masih bisa menyempatkan memasak untuk keluarga. Hanya sesekali saja kami makan di luar, karena makanan di luar kan jarang yang tidak memakai penyedap, hampir semua pakai. Di rumah, saya menghindari penyedap dan sebisa mungkin menggunakan bahan-bahan segar yang kaya gizi. Untuk urusan makan, saya memang cukup hati-hati. Saya ingin keluarga saya sehat dan tidak mudah sakit.


Kalau untuk mencuci pakaian dan setrika yang menyita banyak waktu, karena sementara ini tidak ada mesin cuci dan pembantu, saya serahkan ke laundry. Terus terang, untuk mengerjakan keduanya, saya keberatan. Bukannya apa-apa, selain wasting time (padahal bisa untuk melakukan yang lain yang lebih bermanfaat—menemani anak bermain misalnya), saya juga gampang capek.

Mengenai si kecil, kalau kerja, saya titipkan dia di tempat penitipan anak dekat rumah yang terjamin keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraannya. Kenapa nggak ambil pembantu? Saya tipe orang yang tidak mudah mempercayai orang asing.

Di luar jam kerja, saya selalu berusaha dekat dengan anak, seperti menemaninya bermain dan belajar banyak hal,  mengajak jalan-jalan, dll. Dengan kata lain, mendampinginya selama beraktivitas apapun, berusaha ada saat si kecil membutuhkan saya.

Hmm, memang masih sebatas itu.

Saya terngiang ucapannya yang lain.

“Aku sebenarnya juga ingin kerja. Kebetulan suami juga mengijinkan. Tapi aku nggak tega ninggal si kecil, kasihan. Tugas Ibu itu berat banget lo sebenarnya… . Lagian, ngapain sih mbak, kerja juga. Masak gaji dari suami masih kurang? Kalau aku sih, Alhamdulillah sudah merasa cukup, jadi nggak perlu lagi cari tambahan.”

Iya. Saya tahu, menjadi istri sekaligus Ibu itu berat, tanggung jawabnya besar. Dan selama ini saya selalu berusaha menjalankan semua peran saya—baik sebagai istri, Ibu, pendidik, juga anak dari kedua orangtua—dengan sebaik mungkin, karena saya ingin hidup saya berarti untuk semua orang. Saya tidak ingin menjadi manusia yang hidupnya sia-sia, tidak melakukan apa-apa selama hidupnya, tidak memaksimalkan potensi dan kemampuan yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Saya hanya ingin menjadi manusia yang berkualitas (terutama segi spiritual), karena Allah lebih mencintai manusia yang berkualitas.

Suami saya PNS. Alhamdulillah, gaji suami lebih dari cukup, bisa menafkahi keluarga sesuai dengan kewajibannya. Lalu kenapa?

Sebelum menikah, suami saya tahu kalau saya bukan tipe perempuan yang betah duduk manis berlama-lama, hanya ‘diam’ di dalam rumah menunggu suami pulang kerja. Suami tahu kalau saya hiperaktif. Saya sendiri, merasa ada kebutuhan yang tak terpenuhi jika seharian tidak ‘keluar rumah’, sama seperti kebutuhan makan-minum. Energi saya serasa tak tersalurkan. Dan jika ini terjadi, saya bisa uring-uringan nggak jelas sepanjang hari. Karena itulah, suami mengijinkan saya (bukan cuma mengijinkan, tapi sangat mendukung) bekerja.

Saya akan sangat tersinggung jika ada yang mengatakan gaji suami kurang. Kesannya, kata-kata itu memvonis saya sebagai manusia kufur, istri yang tidak bersyukur.

Tujuan saya bekerja bukan semata uang, tapi lebih kepada kepuasan batin. Rasanya bahagia bisa berbagi ilmu dengan orang lain. Apalagi jika dengan itu bisa mengubah orang lain menjadi lebih baik.

Selain itu, saya ingin berbakti kepada kedua orangtua. Salah satunya mungkin dengan membantu meringankan beban hidup mereka sehari-hari. Saya anak sulung, adik saya tiga orang, dua terakhir masih sekolah. Saya merasa sebagian rezeki yang saya peroleh adalah hak mereka. Saat ini, itulah yang bisa saya lakukan untuk berterimakasih kepada kedua orangtua saya yang sudah mulai sepuh dan sakit-sakitan. Tenaga mereka sudah tak setangguh dulu lagi, ketika masih kuat-kuatnya membiayai pendidikan saya hingga bisa sekolah sampai tinggi.

Saya tahu, jadi Ibu itu berat. Tapi saya hanya manusia biasa, yang masih punya banyak keinginan dan cita-cita. Tidak hanya puas menjadi Ibu yang baik. Saya juga ingin menjadi anak, kakak, istri, dan umat terbaik di hadapanNya. Semoga.

21 komentar:

  1. Amin..
    Bekerja atau tidak adalah pilihan pribadi masing-masing.
    Nggak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Kadang ibu bekerja mengalami kejadian seperti mbak (termasuk saya) tapi nggak sedikit ibu rumah tangga yang "dilecehkan" teman2 pekerjanyam
    Saya sih selalu berusaha menghargai pilihan setiap orang, toh masing2 juga punya kebutuhan & kehidupan rumah tangganya sendiri.
    Semangat ya mba! Selama kita merasa sudah melakukan yang terbaik utk keluarga jangan peduli omongan orang...

    BalasHapus
  2. Semangat mbak ...
    yang penting tuh dapat restu dapat suami ...
    jangan pikirkan apa kata orang lain ...:)

    btw ada baeknya juga tanya ke suami mbak .. apa benar dia merasa "terlanjar" ... ;)
    komunikasi merupakan hal yang penting dalam berumah tangga ...
    *itu menurut apa yang aku baca loee * :D

    Semangat :)

    BalasHapus
  3. saya mengijinkan istri bekerja, karena itu sebagai penyaluran energi dan kebutuhan. Sama seperti Mbak. Jujur saya mendukung, tapi jujur kadang ada rasa "kurang" ikhlas. Apa saya nggak jujur? Ternyata yang jujur adalah " Saya ingin membahagiakannya, termasuk dengan membiarkannya berekspresi" hehehe..cuman komen dari seorang suami dr istri yang bekerja..

    BalasHapus
  4. begini ya mbak perasaan seorang ibu RT yang merangkap sebagai ibu bekerja..
    musti banyak yang pro kontra ama status kita..
    but semua kembali pada komitmen kita n juga suami..

    BalasHapus
  5. yang berat tu kalau bapaknya anak2 minta gendong...duhhh berat tenan. hehehe...lariii sembunyi

    BalasHapus
  6. Jadi Ibu, berat. Jadi Bapak, juga berat. Intinya Pernikahan itu gak mudah...

    BalasHapus
  7. suami dari dulu sih, alhamdulillah nggak masalah.. bahkan waktu ada tes dosen kemarin aku sudah nggak mau ikut mas...
    eh, malah suami gencar mbujuk... dan ternyata keterima... doa suami juga kali...

    BalasHapus
  8. wah, gitu ya pak. suami saya juga pernah bilang gitu sama saya.. :)

    BalasHapus
  9. betul pak. karena gak mudah, kalo di tanggung dua kepala insyaallah jadi mudah, hehe.. betul kan pak?

    BalasHapus
  10. iya.. meski suami ikhlas lahir batin, kadang rasa bersalah sesekali masih muncul...

    BalasHapus
  11. apapun pilihan orang, mau kerja atau gak kerja, itu pasti ada konsekuensinya..santai aja terserah orang mau bilang apa.toh kita jg gak komplain dgn pilihan orang kan??? maju terus pantang mundurrr!!

    BalasHapus
  12. suatu impian yg mulia
    mo ker or ga stlh married itu adlh pilihan
    yg pntg dpt ijin dr suami sehingga tak ada yg ngerasa dirugiin
    aq pribadi pny pemikiran sprt mbk
    dmn ntar klo q dah berklrg, aq pgn te2p bekerja klo Tuhan msh menghendakinya
    bknnya suami ga isa nyukupi sih, tp pny penghasilan n kesibukan ndiri itu jauh lbh enak
    palagi liat impian mbk yg pgn bahagiain ortu n ade2
    4 jempol bwt u mbk cos aq jg pny harapan yg sama dgn u

    BalasHapus
  13. ikuti kata hati kecilnya Bundaraya aja.....

    BalasHapus
  14. bener saya setuju sekali....
    Bukan materi yg dicari tp kepuasan batin.
    Semoga cita2 dan doa mbak dikabulkan Tuhan ya...
    amin...

    BalasHapus
  15. di jaman serba mahal kayak gini sangat wajar kalau banyak istri yang ikut bekerja bukan hanya untuk kepuasan batin saja tapi juga bantu suami cari nafkah buat keluarga, salut buat istri2 yg jg jd tulang punggung keluarga tapi tetap mengurus keluarganya dgn baik

    BalasHapus
  16. sebagai seorang anak yang punya ibu wanita karier, saya malah jadi terinspirasi menjadi wanita karir juga. bukan untuk uang, tapi untuk meningkatkan kompetensi seorang ibu yang up to date, kreatif, modern, sahabat yang gaul seperti ibu saya.
    apalgi didukung ma suami. cincay deh!

    BalasHapus
  17. mmm... jangan terlalu dipikir bunda, bekerja atau tidak... ayah tetep sayang sama bunda.
    luv u

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊