Rini Widyawati. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya. Maklum, perempuan kelahiran Malang 31 Desember 1979 ini baru saja menorehkan nama di dunia perbukuan Indonesia melalui karya perdananya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma. Buku ini adalah buku pertama yang bercerita tentang Buruh Migran Indonesia (BMI) di luar negeri dan ditulis sendiri oleh komunitas BMI. Seperti apa sosok Rini dan bagaimana perjalanan hidupnya hingga berhasil menerbitkan buku? Berikut penuturannya kepada Komunikasi.
Melihat penampilannya yang sederhana, orang tak akan menyangka bahwa Rini yang hanya lulusan SD ini mempunyai kepedulian tinggi terhadap nasib para pahlawan devisa di luar negeri.
Berawal dari keinginannya untuk memperbaiki perekonomian keluarga, tahun 2002 lalu Rini berangkat ke Hongkong sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dengan kontrak selama dua tahun, Rini mencoba peruntungannya sebagai domestic helper (pembantu rumah tangga). Perempuan yang sejak usia 13 tahun bekerja pada keluarga sastrawan ternama, Ratna Indraswari Ibrahim, ini pun bertekad untuk bisa menemukan sesuatu yang lebih di negara bagian Tiongkok itu.
Bisa cerita sedikit, bagaimana proses penulisan buku ini?
Begitu sampai di Honkong, saya langsung melihat banyak ketidakadilan yang menimpa teman-teman sesama TKI. Itu juga menimpa saya. Kami sering mengalami diskriminasi, perampasan hak, dan tekanan-tekanan lainnya. Dari situ, saya terdorong untuk menulis catatan harian yang mengisahkan pengalaman saya selama di sana, sekaligus permasalahan-permasalahan yang dihadapi para buruh migran secara umum. Saya menulisnya di sela-sela waktu luang, setelah pekerjaan rumah selesai.
Sepulang dari Hongkong pada September 2004, saya ngasih tahu ibu (panggilan Rini kepada Ratna-red) dan teman-teman saya. Suatu hari, teman ibu di penerbit JP-Books tahu kalau saya punya naskah, lalu diminta. Setelah 3—4 bulan proses, akhirnya buku itu selesai cetak pada bulan Februari lalu.
Di Hongkong sudah lama ada komunitas Forum Lingkar Pena (FLP), Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), dan yang baru terbentuk, Café De Kosta. Apakah selama disana Anda bergaul dengan komunitas-komunitas itu?
Terus terang, nggak ya. Bagaimana bisa, wong kesempatan keluar apartemen cuma dikasih sekali dalam sebulan. Itu pun paling banter cuma bisa ke Victoria Park (sebuah taman kota-red). Disanalah saya sering ketemu teman-teman dari Indonesia, curhat dan ngobrol banyak hal. Bahan tulisan saya diantaranya juga dari cerita teman-teman ini.
Banyak cerita-cerita tragis seputar TKI di luar negeri seperti pemerkosaan, kerja tanpa digaji, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Menurut Anda, apa yang menyebabkan hal-hal seperti itu?
Saya kira, itu karena banyak faktor. Kami disana kan, sistemnya seperti dibeli, jadi istilahnya dipekerjakan seperti budak. Setiap hari harus di rumah. Kayak hidup dalam tahanan gitu. Para majikan nggak suka melihat kami saling menegur dengan tetangga atau sesama TKI kalau kebetulan berpapasan. Karena mereka sudah merasa memiliki kami sepenuhnya. Siapa yang nggak tertekan dengan keadaan seperti ini? Kalau mental kita nggak kuat, bisa bunuh diri.
Tadi Anda bilang, teman-teman Anda, termasuk Anda sendiri, sering mengalami diskriminasi dan perampasan hak. Seperti apa diskriminasi dan perampasan hak itu?
Dari awal kedatangan kami di bandara, jalan kami sudah dibedakan dengan penumpang lain, ada jalan khusus untuk para TKI. Begitu serumah dengan majikan, kami praktis kehilangan privasi. Kalau pingin ngapa-ngapain harus sembunyi-sembunyi. Saya bisa baca koran sama nulis kalau majikan sudah berangkat kerja dan anak-anak sudah pergi sekolah. Setelah itu, saya sembunyikan lagi. Biasanya majikan akan main geledah ke kamar kalau pembantunya nggak ada. Makanya, buku harian saya terpaksa saya sembunyikan di dalam panci. Kebetulan panci itu hanya dipakai setahun sekali sama majikan, waktu hari raya.
Selain itu, gaji kami juga sering bermasalah. Yang seharusnya kami terima 2000 dolar Hongkong, kadang masih dipotong sana sini sama agen penyalur. Pernah juga gaji empat bulan nggak dikasihkan.
Lalu bagaimana dengan hak beribadah?
Menjelang keberangkatan di bandara, barang-barang bawaan kami diperiksa. Kami hanya boleh membawa baju dan perlengkapan wanita, kecuali mukena dan kosmetik. Ini dilakukan karena pihak PJTKI (Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia-red) ingin kami benar-benar patuh pada majikan kami kelak. Makanya, nggak heran kalau ketakutan pada majikan melebihi ketakutan pada Tuhan. Tapi saya selalu berusaha salat meski dengan sarung dan baju panjang. Saking harus patuhnya sama majikan, meski sedang salat, kalau majikan datang terpaksa berhenti di tengah-tengah, karena harus membukakan pintu.
Sejak tahun 1994, perempuan yang sempat mencicipi bangku SMP selama dua tahun ini menjadi bagian dari keluarga Ratna Indraswari Ibrahim. Oleh Ratna, perempuan yang kini sedang mengandung anak pertama ini sering diminta untuk membantu mengetik dan mengedit naskah-naskah cerpennya. Sejak itulah kemampuan menulisnya mulai tumbuh.
Selama kurang lebih sepuluh tahun bekerja di rumah Ratna, Rini mengakui kalau gaya menulis Ratna turut mempengaruhi tulisannya. Bahkan Budi Darma dan Bonari Nabonenar (sastrawan-red) menilai, tulisan Rini sangat nyastra.
Hubungan Anda sepertinya sangat dekat dengan Mbak Ratna?
Ya. Bagi saya, beliau bukan hanya majikan, tetapi juga teman, guru, sekaligus orangtua. Sampai sekarang, kami sering berdiskusi berbagai hal. Seperti sudah ada ikatan batin, sepulang dari Hongkong pun, saya kembali bekerja lagi pada beliau.
Apa yang Anda rasakan setelah buku pertama Anda terbit?
Senang sekali. Akhirnya saya bisa berbuat sesuatu untuk orang lain, khususnya para buruh migran. Ini sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil.
Setelah ini, apakah Anda punya rencana untuk menulis yang lain, novel misalnya?
Rencana itu ada. Tapi saya mengalir saja menjalani hidup. Kalau kesempatan itu datang, pasti akan saya manfaatkan.
Harapan Anda dengan terbitnya buku Anda?
Saya ingin pemerintah Indonesia nggak menutup mata dengan nasib TKI di luar negeri. Istilahnya, jangan pura-pura nggak tahu deh, dengan semua penindasan yang mereka alami. Mereka itu pahlawan devisa, jadi berhak mendapatkan perlakuan, perlindungan, dan penghargaan yang setara dengan pahlawan bangsa.
* Tulisan ini dimuat di Majalah Komunikasi edisi September—Oktober 2005/no.240/tahun 28
hebat ya tekat dan kemauan menciptakan suatu buku sgt kuat.
BalasHapussemoga sukses selalu...
amiiin...
BalasHapussemoga mbak Rini tau kalau mbak mendoakannya...