Translate

Minggu, 02 Agustus 2009

Titi Said


Apa yang akan kau lakukan jika suatu hari, tiba-tiba rumahmu terbakar? Semua habis, termasuk mungkin kenangan-kenangan yang selama ini kau ukir di dalamnya, yang indah maupun yang pahit? Menangis, meratap, marah, kecewa sama Tuhan, atau tetap sabar dan bersyukur?
 Juni 2006, Titi Said, penulis perempuan era 50-an yang saat itu menjabat sebagai ketua LSF (Lembaga Sensor Film), mengalami musibah yang sangat memilukan: rumah dan isinya terbakar habis dilalap api yang entah darimana sumbernya (beliau tidak menjelaskan sebab kejadian tragis itu). Dia begitu tabah, terlihat kuat dan ikhlas. Padahal di dalamnya terdapat dokumentasi karya-karya terbaiknya sejak tahun 1950-an hingga saat ini. Tidak hanya itu. Menurut cerita, proyek biografi seorang tokoh terkenal dan bakal novel barunya yang hampir rampung juga ikut jadi korban keganasan si jago merah.

Mungkin kerugian materi yang kasat mata bagi Titi tak seberapa, tapi yang tak kasat mata bisa saja mencapai trilyunan rupiah! Bayangkan, dokumentasi puluhan karyanya itu termasuk asset yang sangat berharga, mungkin bisa menghidupi generasi Titi sampai tujuh turunan mengingat karya-karya tersebut merupakan karya best seller di masanya. Sebagian bahkan sudah diangkat ke layar lebar. Di sisi lain, karya-karya tersebut juga menyimpan nilai historis tersendiri yang aku yakin tak bisa diukur dengan uang berapapun besarnya. Dari tulisan-tulisan itu terekam kebanggaan yang menggambarkan kerja keras seorang Titi Said ketika dalam proses melahirkan karya-karyanya. Memori-memori yang terukir dalam perjalanan panjang penerbitan karya-karya itu… aku yakin, takkan tergantikan oleh apapun.
Siang itu, tiga tahun lalu, saat hadir di acara talk show Back to Beck yang disiarkan oleh sebuah stasiun tv swasta, Titi menceritakan kronologi musibah yang dialaminya itu dengan lancar. Di sela-sela ungkapan hatinya yang terdengar pilu, seulas seyum tetap mengembang di wajahnya yang lembut. Titi tampak ikhlas merelakan hasil keringatnya selama bertahun-tahun terbakar bersama beribu kenangan yang tak terlupakan di rumah itu. Bahkan Becky Tumewu, pembawa acara talk show tersebut, berkali-kali menyebut Titi sebagai wanita yang luar biasa.
Seandainya yang mengalami musibah itu aku, entah apa yang aku lakukan. Mungkin aku tidak bisa setegar Titi. Kehilangan file-file cerpen yang kutulis sejak tahun 2002 saja aku sudah uring-uringan nggak karuan. Pokoknya sampe lupa “nyebut”. Ya, aku pernah kehilangan puluhan file berharga karena kecerobohanku. Waktu itu aku belum punya flash disk, nggak ngerti back up cd, jadinya setiap habis nulis aku simpan di disket doang. Sialnya lagi, aku ngetik di rental yang berbeda-beda, jejaknya sulit terdeteksi. Akhirnya aku hanya bisa nangis bombay 7 hari 7 malam ketika disket yang kubuka kena virus ganas. Bahkan ketika kubuka di rental yang lain lagi, muncul kata-kata disk not formatted. Hhh… rasanya persendianku langsung lemas. Dunia serasa hancur. Memang, cerpen-cerpen itu sebagian telah terdokumentasi karena dipublikasikan media cetak, tapi file-file yang kusimpan di disket kan aslinya, belum diedit para editor media-media bersangkutan. Istilah kerennya, masih original.
Tak henti-henti aku merutuki kebodohanku. Sampai suatu hari aku menyadari kalau tindakanku itu lebih bodoh dari kealphaanku mendokumentasi dengan baik dan aman atas cerpen-cerpen karyaku. Aku bersyukur Allah segera menyentilku.
Jika dibandingkan dengan musibah yang dialami Titi Said, jelas yang menimpaku tak ada apa-apanya. Tapi kenapa Titi bisa tetap bersyukur? Kekuatan apa yang ia miliki? Apa rahasia di balik ketegarannya?
“Kebakaran rumah yang saya alami tidak seberapa dibandingkan dengan kehidupan yang Tuhan berikan ke saya. Saya bersyukur masih bernyawa dan memiliki otak yang sehat. Ini karunia terbesar saya. Dengan otak dan pikiran yang bagus, saya masih bisa berkarya lagi,” ungkapnya berapi-api.
Ah, Titi. Betapa beruntung laki-laki yang beristrikan engkau. Betapa bangganya anak-anak-anakmu memiliki ibu sepertimu yang pandai mensyukuri sekecil apapun nikmatNya.
Di akhir acara, ketika penulis-penulis muda seperti Djenar Maesa Ayu, Rachmania Arunita, dan Fira Basuki membacakan penggalan kata-kata yang terdapat dalam beberapa novelnya, Titi tampak terharu.
“Rumah saya terbakar saya tidak menangis, tapi mendengar rekan-rekan membaca hasil goresan pena saya tadi, saya jadi kepingin nangis…,” kelakarnya. Bahkan di tengah musibah pun, Titi masih bisa bercanda. Ah, Titi……………
Alhamdulillah. Terimakasih Allah, atas pelajaran ini.

(Kenangan tiga tahun lalu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊