Tiga tulisan sekaligus termuat dalam sebuah buku antologi cerita pendek bersama penulis-penulis papan atas, adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bisa dikatakan, penghujung 2005 lalu nerupakan momen yang sangat berkesan bagi mahasiswa Sastra Indonesia yang bernama lengkap Lubis Grafura ini.
Hari itu, Rabu 21 Desember 2005, tiba-tiba sebuah sms mampir ke handphone-nya. Sms itu memberitahukan bahwa dirinya dinyatakan sebagai salah satu dari 30 finalis Sayembara Penulisan Cerpen yang diadakan oleh Creative Writing Institute (CWI) bekerja sama dengan Kementerian Negara dan Olahraga. Tujuh hari kemudian (tepatnya 28 Desember-red), ia diundang ke Jakarta untuk menghadiri Pekan Kreativitas Pemuda di Senayan. Pada kesempatan itu, panitia sayembara mengumumkan nama-nama para pemenang sekaligus penyerahan hadiah kepada seluruh finalis. Bertepatan dengan itu, diluncurkan pula buku antologi La Runduma yang memuat karya para finalis.
Tentang tiga cerpen saya…
“Saya sempat pesimis bisa menang lomba ini. Alhamdulillah, meski hanya finalis, tapi ketiga cerpen yang saya ikutkan berhasil masuk 30 besar,” ungkapnya bangga. Tak berlebihan jika cowok kelahiran Kediri dua puluh satu tahun lalu ini merasa sangat bersyukur atas keberhasilannya. Dari sekitar 800 karya yang diterima panitia, dewan juri yang terdiri dari Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur Harian Republika), Maman S.Mahayana (sastrawan), dan Hudan Hidayat (cerpenis), menetapkan ketiga cerpennya yang berjudul Perempuan Dilarang Menangis, Aku Cantik, dan Lilin yang Tak Pernah Padam layak masuk buku antologi yang diterbitkan secara nasional. Para juri itu sampai menjulukinya “Penulis Serakah”, karena hanya dia yang berhasil meloloskan tiga cerpen sekaligus.
“Mereka bilang cerpen-cerpen saya kuat di karakter dan pengimajinasiannya. Mereka bahkan nggak nyangka kalau penulisnya laki-laki,” jelasnya tentang ketiga cerpennya yang mengangkat isu gender dan feminisme itu.
Berkumpul bersama pemenang-pemenang lain dari berbagai daerah selama beberapa hari, membuat pengalaman kepenulisannya semakin bertambah.
“Awalnya saya sempat minder, lho. Ternyata rata-rata dari mereka adalah penulis-penulis yang karyanya sudah sering dimuat di koran nasional. Saya nggak ada apa-apanya dibanding mereka,” ujarnya merendah. Konon, salah satu saingannya adalah Galang Lufityanto, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta yang telah menerbitkan sejumlah novel Islami best seller.
Menulis, menulis, dan menulis….
Menggeluti dunia tulis-menulis sejak SMP, tak heran jika cowok yang juga hobi bermusik ini telah mengukir sederet prestasi. Diantaranya yaitu Juara III Lomba Cerpen All about Women 2005, finalis Lomba Cerpen Pekan Jurnalistik STIS Jakarta 2005, dan nominator Lomba Cerpen Remaja Penulislepas.com.
“Jadi penulis itu enak dan menyenangkan. Nggak enaknya itu kalau di kepala lagi banyak ide, tapi nggak sempat nulis karena sibuk yang lain,” curhatnya.
Bagi Lubis, menulis adalah berjuang. Bila akhir-akhir ini karyanya sering muncul di media massa, itu karena kerja keras dan usahanya yang tak pernah berhenti belajar dan berlatih. “Sama seperti penulis lain, tulisan saya juga sering ditolak media. Ya, itulah proses. Hikmahnya, saya jadi lebih bersemangat dan semakin tahu karakter media itu.”
Kini, disamping kuliah, menjalani Program Pengalaman Lapangan (PPL), menyelesaikan skripsi, dan aktif di beberapa organisasi, cowok yang sehari-harinya berkacamata ini juga disibukkan dengan jadual mengajar di sebuah MTs dan lembaga bimbingan belajar terkemuka di Indonesia. Toh, dengan segudang aktivitas itu ternyata tak menyurutkan semangatnya untuk terus berkarya. Saat ini saja, selain tetap menulis cerpen, esai, dan puisi, Lubis juga sedang menggarap sebuah novel bertema sains.
“Idenya saya dapatkan dari fenomena kenaikan BBM. Saya membayangkan ada sumber energi alternatif pengganti BBM. Sekarang sudah 70% selesai,” tuturnya bersemangat. Agaknya kali ini ia bersungguh-sungguh menyelesaikan novelnya, karena seringkali novel yang ditulisnya dulu tak pernah ending.
Secara umum, seorang penulis bisa dikatakan produktif jika ia terus menghasilkan karya dari ide-ide baru, segar, dan orisinal. Lubis sependapat dengan hal itu. Lalu, bagaimana caranya agar tetap produktif menulis?
“Gabung saja dengan komunitas penulis. Ini penting banget. Kita bisa tukar pikiran, informasi, dan media belajar yang efektif,” urai pengagum karya Veven Sp Wardhana, Seno Gumira Ajidarma, dan Ernest Hemingway ini membagi kiat. “Komunitas penulis di UM banyak kok, seperti Pa’Sukir (Pasukan suka mikir-red), UKM Penulis, dan Bengkel Imaji yang setiap Minggu pagi rutin mengadakan pertemuan di lobi loket registrasi,” pungkasnya (RF.Dhonna)
Tulisan ini dimuat di Majalah Komunikasi no.242/tahun 29/Februari—Maret 2006
thanks postingnya...nambah smangat
BalasHapussama2. alhamdulillah, semangat!! ;)
BalasHapus