Translate

Selasa, 13 April 2010

Menuai Kebahagiaan dari Doa-doa Anak*



  “Ya Tuhan, kasihilah kedua orangtuaku, seperti mereka mengasihiku waktu kecil.”
* * *
Akhir-akhir ini, doa untuk kedua orangtua di atas begitu mengusik pikiran saya. Selama ini saya tak pernah menyangka, betapa dalam arti doa tersebut. 

Tempo hari, saya membaca artikel tentang tarbiyah Islami di sebuah majalah muslimah. Di artikel itu sempat disinggung sekilas tentang kandungan doa untuk kedua orangtua yang selama ini (kebetulan) sering saya panjatkan juga untuk ayah dan ibu saya. Ingatan saya pun terlempar ke masa kecil. Saya gali memori, bagaimana dulu kedua orangtua merawat dan mengasihi saya.  


Masa kecil saya dulu cukup menyenangkan. Ayah dan ibu juga cukup perhatian kepada saya. Beberapa hal yang saya ingat dari ibu misalnya: kalau sedang punya uang lebih, ibu selalu membelikan saya baju bagus atau aksesoris rambut. Ibu tidak ingin anaknya berpakaian biasa-biasa saja. Ibu begitu memperhatikan penampilan saya sebagai anak perempuan. Dulu rambut saya pernah sampai panjang sepinggang. Karena ibu telaten, rambut panjang saya pun terawat dengan baik. Sebelum berangkat sekolah, ibu menyisir rambut saya dengan rapi, diikatnya dengan aneka bentuk kuncir, lalu dihias dengan pita warna-warni. 

Kalau momen dengan ayah, yang paling berkesan buat saya adalah ketika saya bisa menaiki sepeda kayuh orang dewasa. Waktu itu saya masih TK nol besar (sekarang TK B). Saya bilang ke ayah, ingin bisa naik sepeda. Tidak seperti anak lain yang umumnya dibelikan sepeda kecil oleh orangtuanya, saya malah langsung dibelikan sepeda besar, merk phoenix (kalau tidak salah). Berhari-hari saya diajari bersepeda sama ayah. Kami mengayuh sepeda kira-kira sepanjang 6 km, dari rumah nenek ke rumah saya. Caranya, sambil bonceng di belakang—saya di depan—ayah memegang stir sepeda. Jadi kalau sewaktu-waktu saya akan jatuh, kaki ayah bisa langsung menumpu ke tanah. 

Tak berapa lama, akhirnya saya bisa! Bukan main senangnya saya saat itu. terlebih karena saya langsung bisa membonceng orang dewasa, dengan jarak yang cukup jauh pula.

Terlepas dari momen menyenangkan itu, tak saya pungkiri, saya pun pernah trauma oleh hukuman yang diberikan oleh ayah dan ibu. Sampai saat ini pun saya masih ingat dengan kejadian itu.  Saya menganggapnya sebagai sebuah kekhilafan. Mungkin waktu itu situasi dan kondisinya memang sedang tidak baik. Saya maklum, dan saya sudah memaafkan.

Jika dibandingkan dengan orangtua masa kini, mungkin pola asuh kedua orangtua saya dulu sudah agak ‘ketinggalan jaman’. Saya sendiri merasa, bahwa anak saya jauh lebih beruntung daripada saya. Misalnya, saya nyaris tidak pernah dibelikan mainan. Mainan saya dulu dari alam, bukan buatan pabrik. Seperti boneka dari bonggol jagung atau dari batang pisang, dan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Kadang juga dari barang bekas. 


Saya juga tidak pernah dibelikan buku bacaan atau majalah. Kalau ingin membaca, saya lari ke rumah tetangga, pinjam punya anaknya.

Kepada Raya, sepanjang dia sedang membutuhkan sesuatu, pasti saya belikan. Misalnya ketika dia membutuhkan mainan untuk melatih motorik kasar/halusnya, membutuhkan buku untuk meningkatkan pengetahuannya, ya saya kasih. Jadi saya juga mempertimbangkan kebutuhan, nggak asal beli.  

Kembali ke kandungan doa di atas.

Ketika kita membayangkan bagaimana kehidupan kita di masa depan kelak, sesungguhnya kita bisa menebak dari apa yang telah kita lakukan selama ini. Artinya, tergantung bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita. Jika kita bisa merawat, mengasihi, mendidik, dan mengasuh anak kita dengan baik—dengan cinta yang tulus—saya yakin,  di masa mendatang kita akan mendapatkan balasan yang baik pula. Sebaliknya, jika kita mendidik anak dengan kekerasan, caci maki, kebencian, dan sebagainya; maka jangan heran jika kelak itu semua berbalik kepada kita.

Saya selalu memohon kepada Allah, “Ya Allah, apapun yang telah dilakukan ayah dan ibu saya di waktu lampau, semoga yang baik-baik saja yang berbalik kepada mereka. Beri tangan ini kekuatan agar bisa menuntun anak-anak dengan cinta.”
* * *
Ibarat menanam benih, apa yang kita tanam di masa lalu, pasti akan kita tuai di masa datang. Jadi, bahagiakan anak-anak kita dengan cinta, karena kebahagiaan kita kelak akan datang melalui doa-doa mereka….


 *tulisan ini terdapat dalam buku Secangkir Teh di Pagi Hari 

 

2 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊