Translate

Senin, 21 November 2016

Nyala untuk Pejuang Literasi Kaltim*

Tri Wahyuni Zuhri saat menerima penghargaan Kartini Next Generation Award 2015 di Jakarta
(Foto: dok. Tri Wahyuni Zuhri)

Siang itu, di tengah keriuhan sebuah pusat perbelanjaan Kota Samarinda, seorang perempuan yang terbaring di atas tempat tidur beroda didorong masuk gedung oleh beberapa petugas medis melalui tangga berjalan. Didampingi keluarga dan para sahabat, ia tampak menarik perhatian pengunjung yang sedang berbelanja. Mungkin di benak mereka bertanya-tanya, “Orang sakit kok masuk mall?”

Itulah sosok Tri Wahyuni Zuhri, seorang penulis kebanggaan Kalimantan Timur. Meski sedang tergolek lemah karena kanker tiroid yang dideritanya sejak 2013 lalu, Yuni—demikian sapaan akrabnya—dengan senang hati  tetap menghadiri undangan panitia Festival Taman Bacaan Masyarakat untuk menjadi pemateri bedah buku Kanker Bukan Akhir Dunia yang ditulisnya sendiri.
“Sebenarnya minder juga bertemu dengan banyak orang dengan keadaan seperti ini, di mall pula. Tapi Bismillah, ini kesempatan saya untuk mengedukasi masyarakat tentang kanker serta memotivasi banyak orang untuk menulis,” ungkapnya.

Setahun terakhir, Yuni lebih banyak beraktivitas di atas tempat tidur karena kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berdiri, duduk, atau berjalan dalam waktu lama. Meski demikian, alumni Universitas Brawijaya ini tetap semangat menulis apa pun. Bahkan saat ini ia sedang menggarap otobiografi yang mengisahkan pengalaman hidupnya.

Tri Wahyuni Zuhri dan Literasi
Yuni menulis sejak remaja. Kecintaan menulis tumbuh karena ia terinspirasi oleh sang kakek, H.M. Noor, ARS, yang seorang penulis sejarah di Kalimantan Timur. Kemudian saat bersekolah di SMP Negeri 1 Samarinda, Yuni bergabung dengan tim majalah dinding sekolah tersebut. Saat kuliah, ia sempat vakum menulis karena harus fokus kuliah. Begitu lulus, ia pun menggerakkan penanya untuk berkarya kembali. Tulisan-tulisannya dalam bentuk cerpen dan artikel bertebaran di berbagai media cetak dan buku antologi.
Tri Wahyuni Zuhri saat masih sehat, aktif menggerakkan para penulis perempuan Kaltim
 untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kepenulisan
 (foto diambil saat Tri Wahyuni Zuhri mengadakan bedah buku yang ia tulis 2012 lalu)

Pada tahun 2005 buku solo pertama Yuni yang berupa kumpulan cerpen berjudul Tidak Cukup Hanya Cinta berhasil terbit. Setelah itu, perempuan kelahiran 1 Mei 1980 ini pun semakin produktif menulis. Sambil menulis dan berbisnis, Ibu tiga anak ini juga aktif dalam komunitas menulis seperti Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), Studio Kata, Perempuan Penulis Kaltim (PPK), dan Jaring Penulis Kaltim (JPK). Yuni mengakui, itulah salah satu rahasia produktivitasnya dalam menulis, yaitu bergabung dalam komunitas. “Berkomunitas itu banyak sekali manfaatnya. Kita berinteraksi secara intens dengan orang-orang yang memiliki hobi yang sama dengan kita, sehingga secara tidak langsung kita akan saling menyemangati. Itu salah satu manfaatnya.”

Tri Wahyuni Zuhri dan penulis (berdampingan), serta penulis Kaltim lain
saat bertemu dalam salah satu acara Dialog Borneo Kalimantan XI
tahun 2011 lalu (foto: dok. Sari Azis)
Yuni beberapa kali terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kepenulisan di Kalimantan Timur. Seperti tahun 2011 lalu, ia turut berpartisipasi dalam acara Dialog Borneo Kalimantan XI dengan menyumbangkan beberapa tulisannya tentang Kalimantan Timur untuk dibukukan dalam buku Kalimantan Dalam Prosa Indonesia, Kalimantan Timur Dalam Cerpen Indonesia, dan Kalimantan Timur Dalam Sastra Indonesia. “Senang sekali rasanya saat itu, karena tulisan saya bisa sebuku dengan Pak Korrie Layun Rampan dan sastrawan besar Kaltim lainnya,” kenangnya.

Sejak tervonis kanker dan tidak bisa leluasa beraktivitas, Yuni sering merasa sedih saat melihat teman-teman sesama penulis menghadiri acara-acara kepenulisan. “Jujur, kadang saya suka berandai-andai, andai saya bisa berjalan, pasti saya hadir juga disitu. Tapi akhirnya saya sadar, kondisi saya sudah seperti ini. Tidak mungkin saya memaksakan diri. Saya tidak boleh meratapi takdir. Yang harus saya pikirkan adalah, bagaimana saya bisa tetap berkontribusi untuk kemajuan literasi Kaltim meskipun saat ini saya sedang mengalami keterbatasan fisik.”

Yuni pun mencoba memasuki beberapa komunitas baru di Kalimantan Timur untuk menularkan virus menulis melalui media daring. Salah satunya adalah Blogger Samarinda yang sebagian besar anggotanya adalah anak-anak muda. “Saya melihat mereka ini sebenarnya punya potensi menghasilkan uang dari blognya. Hanya saja, kurang mendapat kesempatan. Mungkin karena berdomisili di daerah ya. Nah, saya ingin blogger Samarinda mendapat kesempatan yang sama seperti para blogger di kota-kota besar yang sudah menjadikan kegiatan menulis blog sebagai profesi,” ujarnya bersemangat.

Dengan semua yang telah dilakukannya selama ini, Yuni menerima penghargaan sebagai Penulis Inspiratif Kaltim 2016. “Alhamdulillah, saya nggak nyangka akan mendapatkan penghargaan itu. Saya hanya ingin berbuat yang terbaik di sisa hidup saya. Semoga ini menjadi motivasi untuk saya dan orang lain,” ungkapnya penuh haru.

Menulis untuk Terapi Jiwa
Yuni mengaku sempat terpuruk saat menerima vonis kanker tahun 2013 lalu. “Awalnya sempat down juga terkena vonis kanker. Lalu sekuat tenaga saya berusaha bangkit. Saya ingat anak-anak. Saya harus berusaha sembuh agar bisa menemani mereka tumbuh. Bisa dikatakan, mereka adalah penyemangat sekaligus motivator utama saya. Alhamdulillah akhirnya saya bisa berdamai dengan kanker,” ujar ibu dari Muhammad Arya Anugrah (12), Raisyah Aulia Chairani (8), dan Ahmad Luthfi Ramadhani (5) ini.

Kini kanker seolah tak mampu menyurutkan langkah Yuni untuk selalu berkarya. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan H.Achmad Zuhri dan Hj.Noor Aisyah ini tetap aktif menulis, terutama mengisi dua blognya, www.yunirahmat.blogspot.co.id dan www.triwahyunizuhri.blogspot.com. Yuni pun menulis buku Kanker Bukan Akhir Dunia karena masih sedikit buku yang mengupas penyakit kanker. Padahal saat menulis buku tersebut, kanker yang dideritanya sudah stadium lanjut, sudah menyebar ke tulang belakang. “Saya bertekad, saya harus menulis buku yang bermanfaat. Selain itu, saya juga berpikir bahwa menulis itu adalah terapi jiwa. Sejak buku ini terbit dan dibaca oleh banyak orang, saya tidak hanya merasakan indahnya berbagi, tetapi juga merasakan kekuatan dalam diri saya, menemukan banyak teman dari seluruh dunia, sehingga tumbuh semangat positif,” jelas Yuni ketika ditanya tentang alasannya tetap menulis meskipun sedang sakit parah.

Selain itu, saat ini Yuni sangat produktif menulis resensi buku. Hampir setiap minggu resensi buku yang ia tulis dimuat di media cetak Kalimantan Timur. “Alhamdulillah, setiap minggu ada bacaan yang saya selesaikan, dan rata-rata buku baru. Setelah tuntas membaca, saya tulis review-nya dan langsung saya kirim ke media cetak. Ketika dimuat, seperti ada kepuasan tersendiri yang saya rasakan. Itu salah satu kebahagiaan saya,” tuturnya.

Kelas Menulis Daring
Perkembangan teknologi saat ini semakin canggih. Bagi mereka yang bisa memanfaatkan teknologi dengan baik, tentu akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup mereka. Hal inilah yang dirasakan Yuni. Meski sehari-hari hanya bisa terbaring di tempat tidur—bahkan untuk mengetik tulisan pun dilakukannya sambil berbaring—Yuni bersyukur masih bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan dunia kepenulisan.

“Iya, bersyukur sekali saya masih bisa berbuat sesuatu dari tempat tidur, masih bisa mengirim tulisan ke media cetak, masih bisa ikut kompetisi menulis, dan berbagi apa pun melalui blog,” ujarnya semringah.

Yuni pun bercerita, kalau saat ini ia tengah aktif mengedukasi kanker kepada masyarakat luas, serta mendampingi dan mendukung teman-teman sesama penderita kanker. “Saya ini termasuk penderita kanker yang terlambat mengetahui penyakit saya, karena saat itu saya tidak tahu informasi apa pun tentang kanker. Sebenarnya tahun 2006 saya pernah menemukan benjolan kecil di leher saya yang kemudian dioperasi. Setelah itu saya tidak melakukan tindakan apa-apa lagi karena saya pikir itu hanya benjolan biasa. Nah, ketika sakit itu muncul lagi, ternyata kanker dan sudah parah. Saya tahu rasanya waktu sendirian menghadapi kanker tanpa arah tujuan. Belum lagi harus berperang dengan rasa nyeri dan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Karena itulah saya harus membagikan pengalaman saya kepada masyarakat, supaya tidak ada lagi yang mengalami ketidaktahuan seperti saya.”

Yuni juga menularkan virus menulis untuk para anggota komunitas pejuang kanker yang ia ikuti. “Saya merasa, menulis itu membuat saya bahagia. Menulis, menurut saya, adalah salah satu kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas hidup para penderita kanker seperti saya. Saat ini saya tidak mau berpikiran negatif, saya berusaha tetap berpikir positif, karena umur kita hanya Allah yang tahu. Nah, kalau memang saya atau teman-teman sesama penderita kanker nantinya tidak berumur panjang, saya ingin hidup kami berarti dan bermanfaat bagi banyak orang,” tuturnya. Atas semua yang ia lakukan itu, tak heran jika tahun lalu Yuni diberi penghargaan Kartini Next Generation 2015 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.

Tentang Keajaiban dan Impian
Dukungan keluarga sangat penting untuk para penderita kanker. Sebagai penderita kanker stadium lanjut, Yuni pun merasakan hal itu. “Saya berterima kasih kepada kedua orangtua, suami, dan anak-anak, yang selama ini sabar dan ikhlas mendampingi saya. Mereka adalah kekuatan saya.”

Yuni mengaku, banyak keajaiban yang terjadi padanya sejak tervonis kanker. “Bisa bertahan empat tahun sebagai pasien kanker tiroid stadium akhir, itu keajaiban buat saya, karena teman-teman saya sesama penderita stadium akhir banyak yang sudah meninggal. Dokter saya di Jakarta mengatakan, menurut penelitian, penderita kanker stadium lanjut yang bisa bertahan hidup hingga lima tahun hanya sekitar 50%. 50% sisanya di bawah lima tahun. Saat ini saya sudah ikhlas, hidup dan mati di tangan Allah, Allah yang mengatur semuanya,” ungkapnya pasrah.
Tri Wahyuni Zuhri menulis setiap saat, meskipun sambil berbaring
(foto: dok.pri)

Tiga buku solo yang ditulis Yuni diterbitkan oleh penerbit besar saat ia tengah berjuang melawan kanker yang semakin ganas menggerogoti tubuhnya. “Itu keajaiban lain yang saya rasakan. Dulu saat masih sehat, saya mati-matian ingin punya buku solo. Tapi justru saat saya sakit dan berserah diri kepada Allah inilah Allah memperlihatkan kuasanya. Saya mendapat banyak kesempatan yang tidak pernah saya pikirkan. Buku-buku saya diterbitkan penerbit besar, profil saya ditulis oleh banyak media cetak, mendapat berbagai penghargaan terkait kepenulisan, dan banyak lagi. Subhanallah, Allah seakan menegur saya. Penyakit kanker ini bukan apa-apa, karena Allah masih menunjukkan kasih sayangnya kepada saya. Ini sebuah pelajaran hidup yang saya terima di sisa umur saya.”
Lalu, apa impian terbesar Yuni yang belum tercapai? “Seandainya Allah masih berkenan memanjangkan umur saya, saya ingin hidup seatap dengan anak-anak dan suami. Sejak saya tervonis kanker, kami terpisah karena suami harus bekerja di luar kota. Sebenarnya sederhana sekali impian saya, ya? Tapi itulah yang selalu saya sebutkan dalam setiap doa dan solat saya.”

Tak banyak sosok tegar dan gigih seperti Tri Wahyuni Zuhri, yang bisa menginspirasi banyak orang dalam melampaui keterbatasan. Satu hal yang menjadi prinsip penulis hebat ini, “Apa pun yang terjadi, selama Allah masih memberi nafas dan kemampuan, itu artinya kita masih diberi kesempatan untuk terus berbagi dan bermanfaat untuk orang lain.”   [RF. Dhonna]

*tulisan ini terpilih menjadi Juara 1 Lomba Menulis Feature Se-Kaltim & Kaltara 2016 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kalimantan Timur


5 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊