Translate

Jumat, 06 Agustus 2010

Perempuan itu Menginspirasi Saya

 saya dan mbak Ratna Indraswari Ibrahim


Ia sosok yang biasa saja, sederhana, tapi prestasinya menurut saya sangat luar biasa. Ia sadar betul, sebagai manusia, bagaimanapun keadaannya, harus tetap bisa mensyukuri apapun pemberianNya. Karena itu, meski mempunyai kekurangan fisik (semasa kecil, karena sakit tiba-tiba kedua kaki dan tangannya menjadi tak berfungsi sebagaimana mestinya), ia tetap menjalani hidup seperti manusia normal lainnya, berusaha untuk berprestasi dengan segala potensi yang dimiliki, berguna untuk orang lain.


Saya mengenal sosoknya beberapa tahun lampau, ketika saya masih duduk di bangku SMA, tepatnya kelas berapa saya lupa. Tanpa sengaja saya membaca profilnya sebagai seorang ‘penyandang keterbatasan fisik’ yang memotori berbagai organisasi di dalam dan luar negeri, memperoleh penghargaan ini itu, yang juga seorang sastrawan. Saya tergetar membaca kisahnya, apalagi ia tinggal di Malang, kota yang tak jauh dari kampung halaman saya. Saya kagum, menyadari ada seorang perempuan yang secara fisik jauh dari kata istimewa tapi prestasinya sangat istimewa. 

Saya tak pernah bermimpi bisa bertemu dengannya suatu hari kelak, apalagi bisa berbincang akrab di rumahnya yang asri, tak pernah sekalipun. Hingga satu persatu kesempatan itu datang.

Saya diterima di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) tahun 2002. Ketika sebagai mahasiswa saya dituntut aktif berorganisasi agar mendapat beasiswa, saya memilih berkecimpung di organisai kepenulisan (karena saya begitu mencintai pekerjaan menulis), yaitu di Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis (UKMP). Banyak hal yang saya peroleh di sana, teman-teman yang penuh semangat, kepercayaan diri, ilmu, dan kesempatan-kesempatan. 

Di awal-awal jadi mahasiswa, saya membaca tentang perempuan itu lagi. Membaca karya-karyanya yang bertebaran di majalah wanita pun menjadi lebih sering. Kali ini saya lebih tergetar, saya merasa lebih dekat dengannya, karena saat itu saya menetap di Malang. 

Suatu hari, saya membaca agenda 'budaya minggu ini' di sebuah koran terkemuka di Jawa Timur, ada sebuah acara diskusi yang pembicaranya adalah perempuan itu. Acara itu sendiri diadakan di gedung dekat rumah saudara saya di Surabaya. Wah, kebetulan, agenda acara itu bertepatan dengan waktu ketika saya berlibur ke Surabaya. Saya berniat datang. Hanya untuk melihat perempuan itu dari dekat. 

Hari itu tiba. Pertama melihatnya secara langsung, saya terkesan. Perempuan sederhana itu begitu berwibawa di mata saya, begitu berkarisma. Tanpa sadar saya menitikkan air mata, bukan karena iba melihat kondisi fisiknya yang hanya bisa duduk diam di atas kursi roda, tapi karena kekaguman pada sang pencipta. Subhanallah, Dia memang tak pernah menciptakan sesuatu di muka bumi ini dengan sia-sia… Dia tampakkan banyak kelebihan dibalik kekurangan…

Saya menyimak kata-katanya yang bermakna, menikmati kecerdasannya, saya terbuai. Dan ketika sadar, semangat positif yang ditularkan olehnya telah merasuki batin saya. Perempuan itu telah menginspirasi saya untuk menulis dan tetap menulis, dalam kondisi apapun, sampai kapanpun, hingga mata tak mampu lagi untuk menulis.

Ya, kenyataannya, meski tangannya (yang seharusnya digunakan untuk menulis) tak berfungsi dengan baik, ia tak menyerah. Ia tetap menulis dengan mata, hati, pikiran, dan mulutnya. Perempuan itu tinggal bercerita, asisten pribadinya yang akan membantunya mengetik di komputer.

Setelah pertemuan pertama itu, saya kecanduan bertemu dengannya, menatapnya ketika berbicara, dan mendengar petuah-petuah saktinya. Setiap ada kegiatan di dalam maupun di luar kampus yang melibatkan namanya, saya selalu berusaha untuk datang. Pesonanya telah terlanjur menghipnotis saya.

Saya ingin sekali menyapanya, berbincang dengannya walau sepatah duapatah kata, tapi saya tidak berani. Bahkan kadang bingung, apa yang ingin saya bicarakan nanti. Entah kenapa. Tetapi suatu hari akhirnya saya terpaksa harus bertemu dengannya, bertanya jawab dengannya tentang suatu fenomena. Waktu itu saya menjadi reporter di tabloid kampus. Redaktur meminta saya untuk mendatangi perempuan itu di rumahnya, mewawancarinya. Mau tidak mau saya harus mencari bahan pembicaraan, mendata pertanyaan terkait dengan masalah yang akan ditanyakan. Persiapan saya nggak main-main, karena yang akan saya hadapi adalah seorang sastrawan kenamaan, yang bisa saja memperlakukan saya seperti reporter amatir yang bau kencur dsb. Ngeri juga membayangkan hal itu benar-benar terjadi.

Lalu, mulailah saya membuat janji dengan perempuan itu, meneleponnya dan menanyakan kapan punya waktu luang. Diluar dugaan saya, sambutannya begitu ramah dan hangat. Ia bahkan menanyakan nama saya (bukan nama tabloid yang mmenugaskan saya). Setelah menelpon berkali-kali untuk mencari jadwal yang pas, akhirnya suatu sore saya bisa berbincang panjang lebar dengannya. Obrolan kami mengalir bukan seperti wawancara antara wartawan dengan narasumber, tapi seperti obrolan antar teman yang akrab. Saya jadi tak sungkan curhat tentang menulis. Ditemani secangkir teh dan sepiring kue, kami ngobrol berjam-jam. Saya menyerap wejangan-wejangannya tentang kehidupan. Kekaguman saya bertambah.

Perempuan itu telah menginspirasi saya. Perempuan yang hanya bisa duduk di atas kursi roda, tetapi banyak berbuat sesuatu untuk kehidupan. Mengobarkan semangat teman-teman yang kondisi fisiknya sama dengan dirinya, bahkan ke semua orang yang melihat kiprahnya. Perempuan itu adalah Ratna Indraswari Ibrahim.


 

4 komentar:

  1. tulisan ini menyadarkan saya utk selalu bsyukur dan tdk menyerah dgn keadaan,sepahit apapun itu.thanks for sharing...

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah....semoga kita semua bisa melejitkan potensi apapun yang Allah berikan ^_^

    BalasHapus
  3. terima kasih...sangat bermanfaat sekali buat saya

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊