saya dan mbak Ratna Indraswari Ibrahim
Ia sosok yang biasa saja, sederhana,
tapi prestasinya menurut saya sangat luar biasa. Ia sadar betul, sebagai
manusia, bagaimanapun keadaannya, harus tetap bisa mensyukuri apapun
pemberianNya. Karena itu, meski mempunyai kekurangan fisik (semasa kecil, karena
sakit tiba-tiba kedua kaki dan tangannya menjadi tak berfungsi sebagaimana
mestinya), ia tetap menjalani hidup seperti manusia normal lainnya, berusaha
untuk berprestasi dengan segala potensi yang dimiliki, berguna untuk orang
lain.
Saya mengenal sosoknya beberapa
tahun lampau, ketika saya masih duduk di bangku SMA, tepatnya kelas berapa saya
lupa. Tanpa sengaja saya membaca profilnya sebagai seorang ‘penyandang
keterbatasan fisik’ yang memotori berbagai organisasi di dalam dan luar negeri,
memperoleh penghargaan ini itu, yang juga seorang sastrawan. Saya tergetar
membaca kisahnya, apalagi ia tinggal di Malang, kota yang tak jauh dari kampung
halaman saya. Saya kagum, menyadari ada seorang perempuan yang secara fisik
jauh dari kata istimewa tapi prestasinya sangat istimewa.
Saya tak pernah bermimpi bisa
bertemu dengannya suatu hari kelak, apalagi bisa berbincang akrab di rumahnya
yang asri, tak pernah sekalipun. Hingga satu persatu kesempatan itu datang.
Saya diterima di Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) tahun 2002. Ketika
sebagai mahasiswa saya dituntut aktif berorganisasi agar mendapat beasiswa,
saya memilih berkecimpung di organisai kepenulisan (karena saya begitu
mencintai pekerjaan menulis), yaitu di Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis (UKMP).
Banyak hal yang saya peroleh di sana, teman-teman yang penuh semangat,
kepercayaan diri, ilmu, dan kesempatan-kesempatan.
Di awal-awal jadi mahasiswa, saya
membaca tentang perempuan itu lagi. Membaca karya-karyanya yang bertebaran di
majalah wanita pun menjadi lebih sering. Kali ini saya lebih tergetar, saya
merasa lebih dekat dengannya, karena saat itu saya menetap di Malang.
Suatu hari, saya membaca agenda
'budaya minggu ini' di sebuah koran terkemuka di Jawa Timur, ada sebuah acara
diskusi yang pembicaranya adalah perempuan itu. Acara itu sendiri diadakan di
gedung dekat rumah saudara saya di Surabaya. Wah, kebetulan, agenda acara itu
bertepatan dengan waktu ketika saya berlibur ke Surabaya. Saya berniat datang.
Hanya untuk melihat perempuan itu dari dekat.
Hari itu tiba. Pertama melihatnya
secara langsung, saya terkesan. Perempuan sederhana itu begitu berwibawa di
mata saya, begitu berkarisma. Tanpa sadar saya menitikkan air mata, bukan
karena iba melihat kondisi fisiknya yang hanya bisa duduk diam di atas kursi
roda, tapi karena kekaguman pada sang pencipta. Subhanallah, Dia memang
tak pernah menciptakan sesuatu di muka bumi ini dengan sia-sia… Dia tampakkan
banyak kelebihan dibalik kekurangan…
Saya menyimak kata-katanya yang
bermakna, menikmati kecerdasannya, saya terbuai. Dan ketika sadar, semangat
positif yang ditularkan olehnya telah merasuki batin saya. Perempuan itu telah
menginspirasi saya untuk menulis dan tetap menulis, dalam kondisi apapun,
sampai kapanpun, hingga mata tak mampu lagi untuk menulis.
Ya, kenyataannya, meski tangannya
(yang seharusnya digunakan untuk menulis) tak berfungsi dengan baik, ia tak
menyerah. Ia tetap menulis dengan mata, hati, pikiran, dan mulutnya. Perempuan
itu tinggal bercerita, asisten pribadinya yang akan membantunya mengetik di
komputer.
Setelah pertemuan pertama itu, saya
kecanduan bertemu dengannya, menatapnya ketika berbicara, dan mendengar
petuah-petuah saktinya. Setiap ada kegiatan di dalam maupun di luar kampus yang
melibatkan namanya, saya selalu berusaha untuk datang. Pesonanya telah
terlanjur menghipnotis saya.
Saya ingin sekali menyapanya,
berbincang dengannya walau sepatah duapatah kata, tapi saya tidak berani.
Bahkan kadang bingung, apa yang ingin saya bicarakan nanti. Entah kenapa.
Tetapi suatu hari akhirnya saya terpaksa harus bertemu dengannya, bertanya
jawab dengannya tentang suatu fenomena. Waktu itu saya menjadi reporter di
tabloid kampus. Redaktur meminta saya untuk mendatangi perempuan itu di
rumahnya, mewawancarinya. Mau tidak mau saya harus mencari bahan pembicaraan,
mendata pertanyaan terkait dengan masalah yang akan ditanyakan. Persiapan saya
nggak main-main, karena yang akan saya hadapi adalah seorang sastrawan
kenamaan, yang bisa saja memperlakukan saya seperti reporter amatir yang bau
kencur dsb. Ngeri juga membayangkan hal itu benar-benar terjadi.
Lalu, mulailah saya membuat janji
dengan perempuan itu, meneleponnya dan menanyakan kapan punya waktu luang.
Diluar dugaan saya, sambutannya begitu ramah dan hangat. Ia bahkan menanyakan
nama saya (bukan nama tabloid yang mmenugaskan saya). Setelah menelpon
berkali-kali untuk mencari jadwal yang pas, akhirnya suatu sore saya bisa
berbincang panjang lebar dengannya. Obrolan kami mengalir bukan seperti
wawancara antara wartawan dengan narasumber, tapi seperti obrolan antar teman
yang akrab. Saya jadi tak sungkan curhat tentang menulis. Ditemani secangkir
teh dan sepiring kue, kami ngobrol berjam-jam. Saya menyerap
wejangan-wejangannya tentang kehidupan. Kekaguman saya bertambah.
Perempuan itu telah menginspirasi
saya. Perempuan
yang hanya bisa duduk di atas kursi roda, tetapi banyak berbuat sesuatu untuk
kehidupan. Mengobarkan semangat teman-teman yang kondisi fisiknya sama dengan
dirinya, bahkan ke semua orang yang melihat kiprahnya. Perempuan itu adalah Ratna Indraswari Ibrahim.
tulisan ini menyadarkan saya utk selalu bsyukur dan tdk menyerah dgn keadaan,sepahit apapun itu.thanks for sharing...
BalasHapusAlhamdulillah....semoga kita semua bisa melejitkan potensi apapun yang Allah berikan ^_^
BalasHapusterima kasih...sangat bermanfaat sekali buat saya
BalasHapusAlhamdulillah....
BalasHapus