Pertanyaan itu sering terdengar menjelang hari pernikahan saya lima tahun lalu. Banyak yang meragukan pilihan saya: teman, saudara, bahkan orangtua.
Satu hari seorang bibi bahkan mencandai saya, “Milih calon suami kok yang kurus kering kerempeng gitu. Cari suami itu yang badannya sehat, kuat, biar bisa melindungi.”
Saya hanya tersenyum menanggapi komentar itu. Buat apa badan sehat kuat, tetapi hatinya sakit? Apa gunanya fisik kekar seperti pendekar, tetapi mentalnya kurang ajar?
Lain waktu, ada juga yang nyeletuk, “Calon suamimu tuh kayak gong ya. Kalau nggak dipukul nggak bunyi.”
Lagi-lagi saya tanggapi komentar itu dengan senyuman. Memang, lelaki pilihan saya bukan orang yang banyak omong dan kebetulan tidak bisa berbasa-basi. Dia baru bersuara kalau dirasa perlu dan bermanfaat.
* * *
Memilih calon suami berdasarkan pertimbangan kondisi fisik, memang tidak salah. Ganteng kah? Atletis kah? Cacat kah? Tetapi buat saya, pertimbangan pertama tetap akhlak. Ada lelaki yang secara kasat mata rajin ibadah: solat rajin, puasa sunah sering, pinter baca Alquran, tetapi akhlaknya kurang terpuji. Bagi saya, akhlak yang baik adalah cermin kesalehan. Lelaki berakhlak baik pasti soleh, sebagai imbas proses internalisasi nilai-nilai agama pada dirinya.
Lelaki pilihan saya adalah lelaki biasa-biasa saja. Semasa kecil hingga dewasa, dia sering sakit-sakitan. Sedikit-sedikit migrain. Bahkan waktu SMU sempat divonis terkena paru-paru basah. Itulah mengapa, banyak orang yang mempertanyakan pilihan saya. Meragukan keyakinan saya, bahwa saya bisa bahagia dengannya.
Lalu kenapa dia?
Pertama, saya melihat akhlaknya. Ketika baru mengenal suami, saya sudah menyelidiki seperti apa track recordnya. Dia bukan lulusan pesantren, tetapi dia selalu berusaha bertingkah laku sesuai koridor agama. Hatinya sangat halus dan gampang tersentuh. Setelah menikah, saya baru tahu kalau dia sangat sabar, tutur katanya selalu lemah lembut, dan tidak pernah membentak atau memaki istri.
Kedua, saya melihat keluarganya. Dia berasal dari keluarga baik-baik, sederhana dan demokratis. Menurut saya, kalau bibitnya baik, maka buahnya juga baik.
Ketiga, saya mencari suami yang cerdas. Orang pintar belum tentu cerdas. Tetapi orang cerdas, pasti pintar. Sebelum menikah, saya melihat dia punya visi misi hidup yang sama dengan saya, yaitu membangun keluarga yang berprestasi, yang bisa menjadi teladan bagi keluarga lain. Sepanjang apa yang saya lakukan positif dan bermanfaat buat banyak orang, dia selalu mendukung. Tidak pernah melarang ini itu. Ketika saya mengajukan proposal akan bekerja di luar rumah sebagai syarat pra nikah, dia mengijinkan. Menurut saya, itu adalah keputusan yang datang dari pemikiran orang cerdas, yang tidak hanya mementingkan diri sendiri.
Keempat, dia tidak merokok. Semasa sekolah dan kuliah, suami saya bukan sosok yang menonjol dan populer. Meski begitu, dia tidak kuper. Dia pernah jadi anak band, sebagai penggebuk drum. Meski dulu lingkungan pergaulannya di sekitar anak band, Alhamdulillah sampai detik ini dia tidak pernah berbuat neko-neko. Pernah mencoba rokok sekali, setelah itu kapok. Kalaupun dia pernah opname karena sakit paru-paru, itu karena dia perokok pasif. Ketika semua temannya merokok, dia terkena racunnya. Pertama mengenalnya, saya langsung klik karena dia bukan perokok. Entahlah, menurut saya rokok itu sumber segala masalah. Selain menyebabkan banyak penyakit, rokok juga identik dengan sifat malas, pemarah, dan boros.
* * *
Dulu ketika menikah, kami berangkat dari nol. Awal menikah tinggal di sebuah kamar kos sempit berukuran 4 x 4 meter dan tidak punya apa-apa. Saya juga heran, kok bisa waktu itu berani menikah. Saya hanya berpikir, Menikah adalah ibadah.
Perlahan, kehidupan rumah tangga kami mulai membaik. Tahun kedua pernikahan, tanpa KKN saya diterima di satu-satunya perguruan tinggi negeri di Kalimantan Timur sebagai tenaga pengajar. Selanjutnya, karir menulis saya dan karir fotografi suami juga semakin berkembang pesat. Berkali-kali kami memenangkan lomba di bidang masing-masing. Putri semata wayang kami pun demikian. Meski masih balita, dia sudah berani ikut berbagai lomba. Meski tak semua menang, tetapi kami cukup bangga. Yang lebih membahagiakan, suami saya sekarang jauh lebih sehat dibanding sebelum menikah. Alhamdulillah, memilih calon kepala keluarga yang berakhlak baik, ternyata menjadikan kehidupan pernikahan ini benar-benar berkah.
wah, panjang tulisannya ^__^
BalasHapusakhlak tetep yg utama :)
subhanalloh......
BalasHapusmemang niat awal berbuat sesuatu itu, merupakan kunci sebuah perjalanan selanjutnya.
barokalloh fiek wa fie ahlik.....