Translate

Senin, 29 Oktober 2012

Sepotong Berdua


Alarm weker disampingku berteriak membangunkanku. Kulirik jarumnya dengan malas, pukul tiga tepat. Pertanyaan pertama yang selalu muncul setiap dini hari selama Ramadhan melintas di kepalaku, sahur apa hari ini?
Kulihat suamiku masih terlelap. Tetangga kiri kanan kamar mulai terdengar ribut. Ya, setelah menikah, kamar berukuran tak lebih dari 4x4 meter inilah yang kami tinggali. Berdua belajar mandiri di tengah belantara Jakarta. Pekerjaan suami sebagai abdi negara dengan gaji pas-pasan memaksa kami tinggal di ruangan sempit ini, hidup terpisah dari orangtua dan keluarga besar di kampung halaman.
Ramadhan tahun 2006 adalah Ramadhan pertama yang kulalui setelah resmi menjadi pasangannya. Setiap hari kami selalu berburu makanan sahur dan berbuka di warung-warung sekitar tempat kos.
Bagiku, memasak untuk pasangan adalah salah satu bentuk perhatian yang tak ternilai. Sedih rasanya belum bisa memasak menu sahur dan berbuka untuk suami tercinta. Hhh, andai ada dapur, akan kubuatkan ia sambal terong dan tempe penyet kesukaannya.
Beberapa minggu lalu, gaji suami sudah terpotong untuk tiket mudik yang harganya selangit. Kami baru tiga bulan berumah tangga, belum sempat menabung, karena masih kebingungan mengatur keuangan. Di Jakarta nggak ada yang murah.
Bulan sebelumnya kami sempat hampir kehabisan uang. Bulan ini harus ekstra hemat dalam pengeluaran. Keluarga besar kami punya kebiasaan bagi-bagi angpau saat lebaran. Uang belanjaku pun mau tidak mau tersedot untuk keperluan khusus itu.
Kuhitung sisa uang di dompet. Kuingat-ingat juga sisa di ATM. Cukup nggak ya, sampai bulan depan?
“Kenapa?” suamiku sudah terbangun rupanya. Aku menggeleng. “Sahur apa nih?” lanjutnya. Hari itu aku sedang malas sahur. Rasanya tak ada satu pun makanan yang mampu membangkitkan selera makanku selain masakan di Warung Padang langganan kami. Tapi mengingat harus berhemat, kuurungkan niatku untuk makan di sana. Sekali duduk lebih dari 30 ribu dua orang.
“Terserah mas mau sahur apa, aku nemenin aja. Lagi males sahur,” tukasku.
“Kok nggak sahur lagi? Kenapa?” tanya suamiku lagi. Ya, dua hari sebelumnya aku cuma minum teh hangat untuk sahur.
“Kita ke Warung Padang, yuk, pengen sambal terong nih,” ajak suamiku. Wah, kok bisa ya, dia punya keinginan yang sama denganku? Apa dia bisa membaca pikiranku? “Kalau makan disana, pasti nggak males sahur deh,” sambungnya.
“Nggak ah, mas. Lupa ya, kalau harus hemat?”
“Hemat bukan berarti harus menyengsarakan diri. Hemat tapi bikin sakit, sama saja bohong, to?”
Aku terdiam meresapi kata-katanya. Benar juga.
“Kita bisa makan di sana tanpa harus mengeluarkan uang banyak, kok. Ayo berangkat!” ajaknya setengah memaksa.
Sesampainya di warung, kubiarkan suami memesan makanan. Sambil terkantuk-kantuk aku menunggu pesanan datang. Tak lama, pelayan warung mengantar pesanan ke meja kami. Dua piring nasi putih, sepiring kecil sambal terong yang merah menyala, sepotong telur dadar yang diiris cukup besar, dan dua gelas air putih.
“Ini semua cuma dua puluh ribu. Hemat kan?” kata suamiku. Aku ternganga tak percaya.
Segera kulahap makanan yang terhidang di meja. Sepiring sambal terong kami nikmati berdua, begitu juga dengan sepotong telur dadar yang jadi lauknya. Laki-laki di hadapanku pun tersenyum penuh kemenangan, karena berhasil membuatku semangat makan sahur.
* * *
Hari-hari selanjutnya di sisa Ramadhan itu, kami tetap bisa makan di Warung Padang langganan kami. Tentu saja dengan lauk sepotong berdua. Alhamdulillah, Ramadhan yang sangat berkesan.
Enam tahun sudah pernikahan kami. Putri semata wayang kami pun sudah berusia lima tahun. Kini kami sekeluarga tinggal di rumah kecil yang lebih nyaman dan lapang dibanding kamar kos sempit kami dulu.
Mengingat Ramadhan pertama dengan suami tercinta, selalu ada rasa haru dan takjub, ternyata masa-masa susah yang dilalui bersama mampu menghadirkan kenangan yang tak terlukiskan indahnya.
Cerita itu semakin merekatkan ikatan suci kami. Saat badai hendak menerjang biduk rumah tangga ini, ada saat-saat manis yang mampu menguatkannya untuk tak goyah.
Mengenang sepotong lauk berdua adalah mengenang kesempurnaan cinta diantara kami.

2 komentar:

  1. Terharu bu saya bacanya..
    Sampai menitikan air mata saya :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Yenny... :) puk puk puk... jangan sedih *sodorin tisu

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊