Translate

Senin, 09 Desember 2013

Nomaden




Saya menikah dengan seorang pegawai yang bekerja di bawah naungan Kementerian Keuangan. Sejak awal menikah, saya sudah menyiapkan mental untuk hidup berpindah-pindah keliling Indonesia mengikuti tugas suami yang menurut peraturan akan dimutasi setiap lima tahun sekali. Ternyata praktiknya tidak ada kepastian baku tentang ini. Seringkali gosip mutasi membuat kami para istri pegawai deg-degan, karena kemunculan SK mutasi ini seperti siluman, serba mendadak dan tiba-tiba. Karena itulah, meski siap mental, tak urung saya panik juga saat SK mutasi sudah di genggaman tangan.

Seperti tujuh tahun lalu, ketika pertama kali ikut suami mutasi, dari Jakarta kami ‘dibuang’ ke Ende, kota kecil di Pulau Flores. Selama menetap di Jakarta, barang berharga yang kami punya hanya televisi dan kipas angin. Kami menjualnya ke teman dengan harga super miring. Barang remeh temeh yang tidak memungkinkan untuk dibawa pindah seperti ember cucian dan pecah belah, saya kasihkan cuma-cuma. Sedangkan yang bisa dibawa, saya packing. Suami sudah terbang duluan ke Ende. Dalam keadaan hamil muda, seorang diri saya menyiapkan apa saja yang perlu dibawa. Total ada tujuh kardus dan satu koper besar. Saking paniknya, saya sampai enggak kepikiran memakai jasa ekspedisi!

Setahun di Flores, perkakas rumah tangga mulai lengkap, eh, mutasi lagi ke pulau lain. Kali ini ke Kalimantan. Kelimpungan deh menjual kasur, kulkas, lemari, dan televisi yang baru kami beli, dengan harga bantingan. Jangan tanya berapa kerugiannya.

Hal lain yang bikin mumet adalah memikirkan hunian baru. Seandainya semua pegawai (tanpa memandang jabatan) disediakan rumah dinas (rumdin) oleh kantor pusat, mungkin saya bisa sedikit tenang. Karena tidak ada fasilitas ini, kebanyakan rekan sejawat suami beserta keluarganya terpaksa mengontrak rumah. Ya kalau harga sewa rumah per tahunnya murah, lah kalau 10 juta ke atas dan tiap tahun dinaikkan oleh pemilik rumah, jumlahkan saja berapa juta yang harus kami keluarkan selama lima tahun, bisa dipakai untuk DP beli rumah! 

Memang sih, saat pindah dapat uang pesangon, tetapi biasanya langsung ludes untuk tiket pesawat, ngontrak rumah, dan beli perabot. Eits, jangan bayangkan yang kami beli itu perabot lengkap ya. Standar isi rumah keluarga pegawai seperti kami umumnya hanya yang penting-penting saja seperti kasur, tikar (untuk ruang tamu), kulkas, lemari baju, alat masak, dan televisi. Itu pun kualitasnya yang nomor dua dan kebanyakan portable alias mudah diangkut kemana-mana. Buat apa beli yang mahal, toh sebentar saja sudah dipindah lagi (kecuali yang portable tentunya, enggak masalah beli yang mahal, he he..).

Masalah kepindahan sekolah anak juga tak kalah membuat puyeng. Kadang, anak sedang menjalani ujian semester, duengg, tiba-tiba ayahnya kena mutasi. Kalau sudah begini, mau enggak mau harus long distance relationship sementara waktu deh sama suami, nunggu anak kelar ujian baru nyusul. Belum lagi urusan minta ijin pindah yang makan waktu, tenaga, dan biaya, trus hunting sekolah baru di tempat baru. Hadeuuuuh, capeeek

Berada semakin jauh dari kampung halaman, semakin besar pula ongkos mudiknya. Itulah yang kami rasakan selama ini. Mudik wajibnya sih setahun sekali, tapiiii, ongkosnya menguras isi tabungan tanpa sisa bok! Bisa dibilang, selama ini kami menabung hanya untuk biaya mudik. 

Enggak melulu ‘penderitaan’ saja sih yang kami dapatkan dari hidup berpindah-pindah ini. Beberapa berkah yang kami rasakan diantaranya bisa mengenal Indonesia dan ragam suku budayanya dari Sabang sampai Merauke, ‘wisata gratis’, mengenal dan belajar kuliner khas dari tiap daerah, nambah teman dan saudara, juga nambah pengalaman hidup.

Nomaden membuat kami para ‘keluarga petualang’ terbiasa hidup sederhana, tidak bermewah-mewah dalam membeli perabotan rumah. Istilah teman-teman senasib sih, belajar zuhud, he he..  Coba kalau hidup menetap, perabot-perabot aneh macam guci antik sampai mobil mewah pasti kebeli deh.

Gara-gara nomaden pula, dua tahun lalu saya dan suami berkesempatan menjadi kontributor sebuah buku ensiklopedi tentang pantai-pantai di Indonesia. Suami yang kebetulan hobi fotografi dapat bagian nyumbang foto-fotonya, saya yang nulis artikelnya. 

Pengalaman mengesankan lainnya yang enggak akan pernah saya lupakan sampai kapan pun adalah putri pertama saya lahir di Flores. Saya melahirkan di kamar tidur rumah kontrakan, dibantu bidan dan dari keluarga hanya suami yang menemani. Saat proses lahiran, beberapa teman kantor suami beserta istrinya berkumpul di teras. Mereka ikut begadang sampai pagi, menunggui saya melahirkan! Padahal besoknya pada kerja. Duh, mengingat ini, selalu ada haru yang terselip di hati. Betapa indahnya persaudaraan di perantauan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊