Translate

Jumat, 07 Maret 2014

Kinar



Masih dalam rangka Hari Perempuan Sedunia 8 Maret, saya sengaja memosting tulisan yang bertema "perempuan", sebagai kado untuk para perempuan :). Kali ini dalam bentuk cerpen. Cerpen ini belum pernah dimuat di media manapun. Idenya berdasarkan kisah nyata. Cerpen ini saya tulis karena saya prihatin terhadap nasib beberapa perempuan di sekitar kehidupan saya. Selamat membaca, semoga bermanfaat :)


“Mamaaa, ada tanteee!” teriakan Dino menghentikan langkahku. Aku terpaku di pintu. Ruang tamu tampak penuh. Pakaian kering yang baru diangkat dari jemuran menumpuk di sofa tua yang bagian bawahnya hampir jebol. Kasur busa kecil dengan bau ompol yang menyengat tergeletak di sampingnya. Lantai penuh dengan ceceran nasi dan mainan. Dino dan Ata saling berceloteh. Dua bocah di depanku itu kembali asyik dengan mainannya. Sesekali Dino mengusap ingus yang meleleh dari hidung sang adik. Keduanya seolah tak terpengaruh dengan masalah berat yang membelit kedua orangtuanya. Mereka tetap saling menyayangi.
Kuhampiri Kinar di dapur. Tangannya belepotan tepung dan telur. Melihatku datang, saudara kembarku itu membasuh kedua tangannya, lalu mengelapnya dengan celemek yang dipakainya. 

“Dimana dia?” tanyaku.

Kinar mengedikkan bahu, “Seminggu ini enggak pulang,” ucapnya tanpa beban.

Mendengar itu, aku sudah tak tahan untuk tidak meluapkan kekesalanku. “Suami enggak pulang seminggu, kamu bisa setenang ini? Ya ampun, Kinar, sampai kapan?!”

“Yang penting semua gajinya kupegang. Realistis saja, aku butuh uang untuk merawat anak-anak. Kamu tidak perlu menasihatiku lagi!” ketusnya seraya berlalu ke ruang tamu.

Astagfirullah!” Spontan kutepuk jidatku. “Oke, aku memang belum pernah menikah. Tapi tolong jujur. Apa kamu bahagia dengan keadaan ini? Ini persoalan harga diri. Kalau pernikahan ini dipertahankan demi materi, kamu enggak ada bedanya sama pelacur!”

PLAK! Tamparan keras mendarat di pipiku. “Jaga omonganmu!” tegur Kinar. Wajahnya merah padam. Dino dan Ata mematung menatap kami.

@ @ @

Entah apa yang ada di benak Kinar. Si Bram brengsek itu sudah jelas-jelas menyakitinya. Tetapi Kinar kukuh mempertahankan rumah tangganya yang sudah dikaruniai dua balita itu.

Sebagai saudara, aku sungguh tak terima. Kinar sudah mengorbankan masa depannya. Sepuluh tahun lalu, demi menikah dengan laki-laki playboy itu, Kinar rela melepas karirnya sebagai penyanyi. Kontrak sudah ditandatangani, tinggal selangkah lagi memasuki dapur rekaman, tetapi beberapa minggu kemudian Bram membawa lari Kinar. 

Ibu yang sudah terlanjur menggantungkan harapan pada Kinar untuk mengangkat nama keluarga, seketika kecewa. Sumpah serapah dimuntahkan untuknya. Entah terkait atau tidak, sepuluh tahun berumah tangga, Kinar belum juga dikarunia momongan. Begitu hamil di tahun kesebelas, perselingkuhan demi perselingkuhan dilakukan Bram. Semua meninggalkan benih. Sialnya, Kinar terlambat mengetahui kebusukan suaminya. 

Ata menggapai-gapai boneka beruangnya. Anak perempuan yang baru genap setahun itu tampak kurus.
Kubungkukkan badanku, kusodorkan boneka beruang itu ke tangan mungilnya. Rambutnya yang tipis kuelus perlahan. Matanya yang bening menatapku lama. Seolah berterima kasih, Ata tersenyum kepadaku, menampakkan deretan gigi susunya yang bersih. Ah, senyum itu. Siapa pun yang melihatnya, pasti setuju jika tak ada yang tega mengubah senyum ceria itu menjadi kemurungan.Tak heran jika Kinar pernah menyatakan bahwa Ata-lah alasan utama yang membuatnya bertahan. 

“Kalau aku minta cerai, siapa yang menafkahi anak-anak? Aku enggak punya ijazah buat ngelamar kerja. Aku juga enggak punya keterampilan yang bisa mendatangkan uang,” ungkap Kinar saat itu. Mendengar ini, hatiku miris. Perempuan-perempuan seperti Kinar selalu tidak punya posisi tawar ketika menghadapi perceraian. 

Itulah mengapa, sejak remaja aku bertekad harus mandiri.  Menurutku,  perempuan mandiri akan lebih berani memutuskan apapun untuk hidupnya.

Kuraba pipi kananku. Bekas tamparan Kinar masih sakit. Aku maklum. Mungkin aku terlalu lancang mencampuri urusannya. Aku tidak akan menyerah. 

Aku menyayangi Kinar. Aku akan berusaha menyelamatkannya dari cengkeraman laki-laki biadab itu. Kinar berhak mendapatkan kebahagiaan.

@ @ @

Siang itu setelah menerima telpon Kinar, dengan masih berseragam kantor tergesa kulangkahkan kaki ke rumahnya. Kinar tidak pernah memintaku datang, kecuali ada sesuatu yang sangat penting. Sepanjang jalan aku terus menduga-duga, apa yang terjadi padanya?

Dino menyambutku di halaman. Tapi tak kulihat Ata bersamanya. 

“Tante jangan masuk,” Dino menahanku, “Mama masih bertengkar sama Papa,” lanjutnya polos.
Aku tercekat, Dino yang masih empat tahun berkata seperti itu?

Kudekap Dino. Ya Tuhan, jaga Dino, biarkan kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih, batinku.

“Adik mana?”

“Tadi dibawa Yang Ti,” jawabnya. Syukurlah, rupanya tadi Ibu kesini.

“Dino main ya, Tante mau ketemu Mama,” jelasku. Dino berlari ke rumah tetangga.

 Di pintu, aku berpapasan dengan Bram. Kami sama-sama membuang muka. Entahlah, seperti apa rupanya. Yang kutahu, ketika berpapasan, hidungku sempat mencium aroma alkohol.

Setengah berlari aku menuju kamar Kinar. Langkahku terhenti di pintu kamar yang kedua sisinya terbuka lebar. Kulihat Kinar duduk di tepi ranjang, menghadap jendela. Baju yukensi yang dikenakannya tak dapat menyembunyikan lengannya yang lebam membiru.  

“Masuk!” ujar Kinar, masih membelakangiku.

Ragu-ragu kulangkahkan kaki mendekatinya. Dengan posisi menyamping, aku duduk di sebelahnya. Kami sama-sama menghadap jendela. Aku tak berani menatapnya.

“Apa selama ini aku terlihat tidak bahagia?” tanyanya lirih. Mulutku terkunci, lidahku kelu, seolah ada sesuatu yang menahanku bersuara.

Tiba-tiba tangis Kinar pecah, seperti tangis anak kecil yang kehilangan, sangat memilukan. Terakhir kami menangis bersamaan saat SD, ketika nenek meninggal dunia.

Sesaat aku bingung harus berbuat apa. Kubiarkan Kinar membenamkan wajahnya di dadaku. Ragu aku memeluknya. Meski pedih, entah kenapa, aku tak mampu menitikkan air mata.

“Ini takdirku. Aku sering menyakiti Ibu. Aku pantas menerimanya,” Kinar mengulang nasihatku beberapa waktu lalu. “Kamu benar, aku harus minta maaf sama Ibu,” lanjutnya. 

Kinar mengangkat wajahnya. “Aku mau cerai. Aku enggak mau membinasakan diriku sendiri. Lebam ini akan jadi yang terakhir,” ucapnya mantap. Samar kulihat semangat dan keberanian di mata sembabnya. Hatiku terasa plong mendengar itu. Aku mendukungmu. Aku akan selalu di sampingmu…

@ @ @

Senang rasanya melihat Kinar kembali bergairah. Setelah bercerai, ia meninggalkan rumah yang selama ini ditempatinya bersama Bram. Kinar dan kedua buah hatinya kini seatap denganku, serta Bapak dan Ibu. 

Di rumah masa kecil kami, Kinar memulai hidup baru. Sesuai minatnya, kubelikan ia setumpuk buku resep kue dan aneka masakan dari pasar buku bekas. Kinar memang berbakat di bidang kuliner. Hasil racikan tangannya mampu menggugah selera makan kami sekeluarga. Setiap hari, ia begitu antusias mencoba resep baru. Sementara ini Kinar dan anak-anaknya menjadi tanggunganku. 

“Aku ingin membuka toko kue, atau warung makan. Kamu mau kan, minjemin modal?”

“Beres.”

“Perkiraan setahun bisa balik modal, nambah karyawan, dan buka cabang,” tukasnya berbinar-binar. Ah, bahagia rasanya melihat asa itu kembali berpijar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊