Aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku di Tempeh, sebuah kota kecamatan di Lumajang. Disana aku tinggal di Jalan Flamboyan. Keluargaku menetap di Tempeh hingga tahun 1991-an. Waktu itu aku sudah kelas 1 MI. Kami pindah sejak nenek dari pihak Ibu sering sakit-sakitan. Nenek ingin Ibu menemaninya.
Selama di Tempeh, banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Ya, masa kecilku bisa dikatakan cukup menyenangkan. Aku punya banyak teman yang baik, yang menuntunku ke jalan kupu-kupu*, yang mengenalkanku pada dunia. Mbak Ulfa, Mbak Nurul, Mbak Okti, Tantri, Mas Dwi, Ido, Novi, Lukman, Aklis, Dilla, dll, mereka adalah teman-teman terbaikku di masa kecil. Tempat bermain favorit kami waktu itu diantaranya adalah rumah Ido (yang waktu itu masih balita), teras mushola Ash-Sholihin yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku, rumah Mbak Okti, dan di halaman rumah Mas Afit.
Di rumah Ido yang cukup besar dan mewah itu, kami bisa bermain di kolam ikan, di taman dekat kolam air mancur, di garasi mobil, di teras, bahkan di dalam rumah. Disana biasanya kami main petak umpet, berlari kesana kemari, atau duduk manis di teras sambil baca majalah anak-anak. Meski masih balita, setiap bulan Ido dibelikan majalah oleh Om Rudi, ayahnya. Tentu saja Ido belum bisa membacanya. Ia hanya senang melihat gambar-gambarnya saja. Majalah di rumah Ido yang paling sering kubaca adalah majalah Aku Anak Saleh. Momen ini adalah awal dari kecintaanku membaca. Selain dipinjami majalah, aku juga sering dipinjami mainan. Di rumah Ido kami tidak hanya main sama Ido, tapi juga dengan ayahnya yang senang melucu. Seru banget.
Kalau bermain di teras mushola, kami rame-rame main canthengan, sejenis permainan bola bekel tapi pakai kerikil dengan jumlah banyak. Kebetulan di halaman mushola banyak kerikil. Kalau lagi musim penthilan—main lompat-lompatan pakai tali dari karet gelang warna-warni yang diikat sambung-menyambung—kami juga memanfaatkan teras mushola. Selain itu, kadang kalau mushola sedang dibersihkan, kami suka pura-pura mau bantu ngepel lantai biar diijinkan main prosotan pake air. Karena lantai basah dan licin, tak jarang di antara kami ada yang terjatuh sampai kepalanya membentur lantai. Kalau ada kejadian seperti itu, kami akan saling berkasak-kusuk, “Si Anu tadi pasti didorong sama jin mushola.” Mengada-ada banget ya…. dasar anak kecil, hehe. Begitu selesai prosotan, kami pulang ke rumah dengan baju basah semua. Kadang ortu marah. Tapi kalau langsung mandi dan tidur siang, mereka urung memarahiku ;).
Nah, di halaman rumah Mas Afit yang luas dan bertanah gembur, kami sering memanfaatkannya untuk main rumah-rumahan. Kami bikin rumah-rumahan dari tanah yang masih basah. Biasanya kami mengeruk tanah di bawah pohon belimbing. Kami harus pagi-pagi sekali kalau ingin main rumah-rumahan, karena kalau terlambat, tanah akan mengering dan berwarna putih. Tanah seperti ini akan sulit dibentuk untuk rumah-rumahan. Hanya para cewek yang main rumah-rumahan. Orang-orangan dan pintu rumah-rumahannya dibuat dari lidi yang dipatah-patahkan, sapu ijuknya dari sisa puntung rokok yang tengahnya ditusuk dengan lidi (fungsinya sebagai gagang sapu). Untuk mempermanis rumah-rumahan itu, biasanya kami bikin taman juga di depannya. Tanaman-tanaman di taman bisa pakai bunga belimbing, daun pakis yang masih kecil, lumut yang dikeruk dari dinding, melati, dll. Lalu kami akan berlomba bikin rumah-rumahan paling cantik, indah, dan rapi. Bisa dibilang, rumah-rumahan yang kami buat adalah gambaran rumah impian kami kelak.
Oh iya, kalau sedang bermain rumah-rumahan, kami harus bicara pelan-pelan. Kalau terlalu berisik, kami akan dimarahi yang punya rumah. Pernah suatu hari kami main petak umpet, eh, bapak Mas Afit langsung keluar rumah dan mengusir kami semua ;).
Di rumah Mbak Okti lain lagi. Karena fasilitasnya sangat lengkap dan rumahnya nyaman, kami jadi betah berlama-lama main disana. Kadang sampai orangtua kami pada nyusul, baru kami pulang ;). Disana kami bermain drama ‘bohong-bohongan’, mendengarkan kaset dongeng, membaca Majalah Bobo, nonton video Google (waktu itu Google—superhero serupa Power Ranger sekarang—sedang naik daun), serta melihat Bu Dian (Mama Mbak Okti dan Tantri) bermain organ mengiringi kedua putrinya berlatih menyanyi. Momen inilah awal kecintaanku pada kesenian.
Diantara kami semua, Mbak Okti terbilang cukup berada. Setiap tahun Mbak Okti dan Tantri selalu merayakan ulang tahunnya. Rumahnya yang memanjang ke belakang sering direnovasi, dilengkapi taman yang cantik di dalam rumah, kamar mandinya sangat luas (kami pernah mandi rame-rame disana, sampai bajuku basah trus dipinjami baju ganti sama Mbak Okti ;)). Keluarga Mbak Okti juga cukup baik. Tak jarang kalau tiba waktu makan siang dan kami masih asyik bermain, kami diajak turut makan siang bersama.
Oh iya, disitu juga ada tukang dongengnya lho. Namanya Om Fendik, Omnya Mbak Okti yang tinggal serumah dengan keluarga Mbak Okti. Favoritnya ndongeng yang serem-serem buat kami. Gara-gara dia, kami semua jadi takut keluar rumah malam hari. Kalau Om Fendik sedang mendongeng, kami semua duduk di dekatnya. Lalu dengan intonasi suara dan mimik yang bikin bulu kuduk kami merinding, ia akan mulai berkisah.
“Di jembatan Kali Mujur**, Herlina menunggu mangsa. Hantu perempuan tanpa kepala itu mencari anak-anak kecil yang berkeliaran sehabis magrib. Dan jika dia tak mendapatkan mangsa, ia akan berjalan ke kampung-kampung, termasuk ke Flamboyan…”
Lalu, “Hwaaaa..!!!” kami semua pun berteriak sekencang-kencangnya. Ha ha ha…
Lain waktu kadang ia suka iseng menakuti kami dengan memasang wajah seram—lidah menjulur, mata melotot seperti orang tercekik—sambil berkata, “Adolf Hitleeerrr…. .” Om Fendik penggemar Mak Lampir kali ya… . Meski suka menakut-nakuti, dia sebenarnya orang yang baik dan lucu.
Teman-teman masa kecilku di Flamboyan adalah anak-anak yang manis, nggak ada yang berlabel ‘anak nakal’. Kalaupun kami sedang marahan, kami tidak pernah bertengkar dengan kekerasan fisik seperti menjambak, memukul, melempar batu, dkk seperti anak-anak kecil sekarang. Paling-paling kami akan saling ngeledek dengan nama julukan ayah masing-masing dan saling ancam. Kalau aku mengalami itu, biasanya aku akan lapor ke ayah. “Yah, si Anu tadi ngatain ayah begini,” laporku. Setelah itu, mungkin karena ingin melegakan perasaan anak kecil, ayahku akan berpura-pura mengejar anak yang kuadukan. Meski cuma pura-pura, tak urung teman-teman pun menyebutku sebagai si tukang ngadu. He he…
Kini semua berpencar. Ada juga yang tetap di Flamboyan. Seperti apa ya, mereka sekarang? Terakhir yang kutahu, Mbak Ulfa sudah menikah, Mbak Okti kuliah di poltek Unibraw, Tantri lulus dari SMADA Lumajang. Dimanapun mereka sekarang, semoga mereka tetap mendapat lindungan dariNya.
ket: * nukilan puisi Abdurrahman Faiz
** Sungai di Kecamatan Tempeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊