Translate

Minggu, 03 Mei 2015

Jauh dari Keluarga? Nope!



Saya anak sulung dalam keluarga saya. Saat hidup seatap dengan orangtua dan adik-adik, saya tidak pernah menyangka kelak akan terpisah ribuan kilometer dari mereka. 

Semua berawal ketika seorang lelaki—abdi negara yang tugasnya berpindah-pindah kerja dari satu pulau ke pulau lain di seluruh Indonesia—menikahi saya. Sebelum menikah, saya sudah memikirkan segala konsekuensi yang akan saya hadapi. Saya HARUS SIAP mendampingi suami dimana pun ia ditugaskan oleh negara. Itu artinya, mau tidak mau, saya HARUS SIAP berjauhan dengan keluarga besar.

Sebenarnya saat kuliah saya sudah meninggalkan rumah dengan segala kenyamanannya, tetapi saat itu jarak ke kampung halaman masih bisa dijangkau dalam hitungan jam. Jadi saat tiba-tiba ingin pulang, saya bisa langsung  pergi ke terminal naik bis antar kota.

Nah, ketika sudah bersuami, pertama kalinya saya harus rela terdampar ke sebuah ‘pulau antah berantah’—pulau dengan penduduk, suku, adat, dan budaya yang sama sekali asing bagi saya. Saat itu saya sedang hamil muda dan suami saya dimutasi ke Ende, Flores. Hanya berdua saja dengan suami di pulau seberang, jangan dikira saya nggak sedih. Saya luar biasa sedih, bahkan stres. Setiap kali homesick melanda, saya hanya bisa melepas rindu kepada keluarga di Lumajang melalui telepon. Maklum, tiket pesawat Ende-Surabaya mahal.

Saat ini suami saya ditempatkan di Samarinda, Kalimantan Timur. Pengalaman demi pengalaman, suka dan duka yang saya alami bersama suami, menempa saya menjadi pribadi yang kuat. Ikatan suami istri pun jadi semakin kokoh. Dibandingkan ketika di Ende, sekarang saya merasa lebih nyaman meski berjauhan dengan orang-orang tercinta. Istilahnya, sudah nggak galau lagi ^^. 

Jauh dari keluarga secara tidak langsung telah melatih saya untuk hidup mandiri. Contohnya saat kehadiran anak pertama dan kedua. Mereka lahir tanpa dampingan kakek neneknya. Saya dan suami juga tidak menyewa jasa pengasuh bayi untuk merawat anak-anak, semua kami lakukan berdua. Rasanya ada kepuasan tersendiri saat tidak merepotkan orang lain. 

Jauh dari keluarga juga membuat saya dan suami memiliki keluarga baru. Ya, perasaan senasib membuat teman-teman sesama keluarga perantau menganggap kami seperti saudara sendiri. Misalnya saat belanja peralatan dapur di pasar, ternyata penjualnya orang Lumajang. Karena berasal dari daerah yang sama, saya diberi diskon hingga 50%. Setelah itu, hubungan antar keluarga pun menjadi akrab.

Hidup berjauhan dengan keluarga besar telah memperkaya batin saya, membuat saya belajar dan mengalami banyak hal baru. So, jauh dari keluarga? No problem!





3 komentar:

  1. Balasan
    1. aamiiin...suwun mbak. ayo melu meramaikan pisan :)

      Hapus
  2. Saya juga baru masuk bulan ke-lima di samarinda. Awal2nya bukan kangen keluarga yg bikin ga tenang, tapi karena kurang pelesir. Maklum karena di P.Jawa mau ke pantai-gunung-laut lebih mudah dan murah ��
    Salam kenal ya mba,

    -nde

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊