Translate

Senin, 26 Mei 2008

Dompet

Cerpen: R.F.Dhonna

Titik-titik hujan mulai membasahi tubuh ringkih yang kedinginan itu. Sesekali ia terbatuk-batuk. Musim hujan kali ini membuat pemuda itu tersiksa oleh penyakit menahun yang dideritanya. Tiba-tiba ia teringat Suyatno. Mungkin ini karma, karena dulu ia sering menghardik Suyatno, rekannya sesama gelandangan.

“Heh, kuping gue bisa budeg kalau lu dikit-dikit batuk. Diam sebentar kek, Tokek aja bunyinya sejam sekali,” hardiknya ketika itu.

Di lingkungan pemulung dan gelandangan TPA Kedaeng, pemuda gondrong berusia 20-an itu terkenal dengan nama Gopal. Padahal kedua orangtuanya memberinya nama Abdul Gofar.


Rintik hujan menderas. Jentik-jentik penghisap darah mulai mewabah. Keadaan seperti ini masih untung daripada banjir air bah seperti tahun lalu. Ia berharap mimpi buruk yang membuatnya terusir itu tidak akan terulang lagi. Daerah ini memang aneh, kalau musim kemarau dilanda kekeringan, musim hujannya kebanjiran.

Gopal mengamati sekitarnya. Teman-temannya sudah terlelap beberapa jam yang lalu, sedangkan dirinya sendiri masih terjaga. Dipandanginya satu persatu wajah lelah mereka. Hatinya galau. Sesaat kemudian ia menengadah ke langit, mencoba mencari jawaban sekali lagi. Tetapi yang ia temukan hanya kekecewaan. Bintang-bintang tempatnya bertanya telah tertutup mendung tebal.

Kembali Gopal menimang-nimang dompet yang ditemukannya terselip di antara tumpukan-tumpukan sampah kering tadi siang. Dompet cokelat berisi ratusan ribu, kartu kredit, dan KTP ini bisa membawa keberuntungan, bisa juga membawa petaka. Gopal heran, mengapa ia tertarik membuka dompet itu. Padahal sebelumnya ia tak pernah seiseng ini. “Mungkin ini yang disebut karunia,” batin Gopal mengenang kata-kata Ustad Sholeh, guru ngajinya di kampung.

“Dompet ini tidak usah dikembalikan dulu, jangan-jangan kau dituduh mencuri. Di mata orang-orang kaya seperti orang ini, yang namanya gembel, tetap saja gembel. Bagi mereka tidak ada istilah gembel baik, semua gembel sama: menjijikkan!” nasihat Bang Jamin, pedagang ketoprak yang kerap kali muncul di kawasan Kedaeng. Cerita tentang dompet temuan ini memang hanya Bang Jamin yang ia beri tahu. Gopal mempercayainya karena ia mengenal baik siapa Bang Jamin.

Lelaki beranak satu itu digelari orator ulung oleh komunitas gelandangan Kedaeng. Wawasannya yang lebih luas dan kosakatanya yang lebih intelek ketika berbicara dibandingkan yang lain, mengundang decak kagum pada siapa saja yang mendengar pidatonya. Tak heran jika dalam beberapa aksi unjuk rasa, dia selalu didaulat menjadi koordinatornya.

“Untuk sementara waktu, ada baiknya dompet ini kau titipkan pada abang, biar lebih aman. Abang tidak akan mengambil atau meminta sepeser pun,” lanjut Bang Jamin meyakinkan.

Gopal mengggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali gigitan nyamuk menghampirinya. Disingkapnya kain sarung sampai tengkuk untuk menghalau dingin dan gigitan serangga kecil yang menyebalkan itu. Dengan kening berkerut, Gopal merenung kembali. Ia mulai mempertimbangkan nasihat Bang Jamin. “Saat ini kejujuran sudah kurang dihargai,” kata-kata itu terngiang lagi di telinganya.

Sambil membaringkan tubuhnya, ia menyandarkan kepala pada kedua lengannya. Matanya yang mulai terasa berat dikerjap-kerjapkannya, sekedar mengajak berkompromi. Kemudian dipejamkannya sejenak, tapi sedetik kemudian dia bangkit lagi. Punggung tangannya mendapati cairan kental di lantai yang selama ini menjadi ranjangnya. Dalam gelap, dirabanya cairan itu lalu diendusnya perlahan, anyir! “Sialan!” makinya sambil mengibaskan tangan. Ia tidak menuduh, siapa yang meludah sembarangan di tempat tidurnya itu, karena akhir-akhir ini hampir semua temannya mengeluh sering demam diselingi batuk darah.

Tiba-tiba ia terkesiap, hatinya tergugah oleh naluri kemanusiaannya. Ya, Gopal ingin berbuat baik. Bukankah sebuah kemuliaan seandainya uang itu dipakai untuk berobat teman-temannya ke rumah sakit? Semua akan beres. Tapi ketakutan dengan cepat menyergapnya. Buru-buru niatnya itu diurungkannya. Kalau ia membawa temannya yang sebanyak itu kesana, petugas rumah sakit pasti akan curiga, darimana Gopal mendapat uang sebanyak itu? Ia tak dapat membayangkan kalau dirinya dijebloskan ke penjara semuda ini. Oh, tidak, tidak! Ditepiskannya bayangan itu. “Aku harus hidup sebagai manusia yang bebas, meskipun kehidupan sendiri tidak menganggapku sebagai manusia…,” tekadnya dalam hati.

Dari kejauhan kokok ayam mulai bersahutan, fajar hampir tiba. Sebentar lagi, hiruk pikuk kota akan menggilas idealisme dan harga diri seorang Gopal, seperti biasanya. Hari ini ia sudah memutuskan akan menuruti nasihat Bang Jamin.

* * *

Gopal mengingsutkan wajahnya yang sedang disorot kamera televisi. Bukannya malu, tapi ia benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba datang segerombolan polisi yang menggerebek kemudian menginterogasinya seperti seorang pesakitan. Padahal kemarin Bang Jamin memintanya untuk tidak pergi jauh-jauh karena ada sebuah stasiun televisi yang akan memprofilkan kehidupannya, agar setelah melihat tayangan itu para dermawan berbondong-bondong bersimpati padanya, hanya itu.

Gopal dihardik habis-habisan oleh polisi-polisi itu, dipaksa mengakui kalau ia telah mencopet dompet orang. Merasa tak melakukannya, Gopal membantah tuduhan itu dengan tegas. Ternyata bantahan itu membuahkan bentakan bertubi-tubi yang semakin memekakkan telinganya.

“Sejak awal saya sudah curiga, Pak Polisi. Karena tidak mungkin dia mendapat uang sebanyak itu. Setelah saya desak, dia mengakui kalau uang itu hasil mencopet,” tanpa perasaan bersalah Bang Jamin membeberkan kesaksian palsunya yang meyudutkan Gopal. Mendengar omong kosong itu, gigi Gopal bergemeretak keras. Celakanya, polisi menangkapnya sebagai perlawanan. Tak pelak, sebuah tendangan menghampiri perutnya yang belum terisi sejak pagi.

“Soya tidak tahu kalau dompet saya dicopet. Tahu-tahu waktu di depan loket pembayaran, dompet saya sudah hilang…,” ungkap pemilik dompet ketika ditanya wartawan. “Untung bapak penjuak ketoprak ini segera menghubungi saya. Kalau tidak,  tahun depan saya tidak bisa berangkat haji,” tambah sang pemilik.

Merasa dipuji, hidung lelaki tambun itu kembang kempis. “Saya cuma berpesan, hati-hati kalau membawa uang. Sekarang banyak copet yang berlagak seperti pengemis,” lanjut lelaki empat puluh tahun itu sok bijak.

“Dasar penjilat!” maki Gopal dalam hati sambil menatap tajam sosok licik di hadapannya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama memperlihatkan kebenciannya, karena sejurus kemudian polisi menyeretnya paksa menuju mobil patroli dengan tangan terborgol.

Sepeninggal Gopal, Bang Jamin kelihatan lebih sumringah, “Sudah wajah masuk tipi, dapet dua ratus ribu lagi, makmur dah…,” ujarnya bahagia. Lelaki itu baru saja membuktikan bahwa gembel tetaplah gembel….

* * *

Cerpen ini dimuat di Deteksi Jawa Pos edisi Senin, 2 Februari 2004

2 komentar:

  1. Wow.. dari dulu saya penyuka Cerpen. Dulu cerpen fav di Annida. Ngiriiiiii banget ama cerpenis2 yg karya2nya bagus2. Berangkat dari rasa ngiri itu, aku dah nyoba beberapa kali nulis cerpen. Tapi hasilnya??? Amburadul.. Ga layak baca.. Bahkan untuk membaca sendiri pun ga tega.. hehhehe .. Chayoooo buat mak Dhona....

    BalasHapus
  2. jangan cuma ngiri dong mbak.. ayo mulai belajar.. lama2 juga bisa. percaya ato gak, dulu aku sebenernya juga berawal dari ngiri ;)

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊