Translate

Senin, 19 Mei 2008

Ulang Tahun Anggi


Cerpen RF.Dhonna
Anggi memandangi kebun bunga di belakang rumahnya. Hmm, cukup luas juga. Pasti asyik kalau ulang tahunnya nanti dirayakan di sini, seperti usul Tity, teman dekatnya.
“Nggi, daripada kamu pusing mikirin acara kayak apa yang cocok buat ultah kamu, mending nyontek Inge deh, pesta kebun,” usul Tity tadi siang di sekolah.
“Hah, nyontek pestanya Inge? Mending aku nggak ngadain pesta sekalian,” jawab Anggi ketus. Dia nggak mau nyontek pesta rivalnya sebulan yang lalu.
“Waktunya mepet non, tiga hari lagi!” kata cewek berpipi tembem itu semangat.
“Ah, kamu nggak ngerti sih.”
“Kenapa, Aksan? Dengerin ya, kalau Aksan emang suka sama kamu, dia pasti bakal milih kamu daripada Inge.”
“Jangan sok tahu, ah,” timpal Anggi.
Kini ia telah berubah pikiran, segudang rencana telah tersusun rapi di kepalanya.
* * *
 “Mami..!” Anggi menyapa Maminya yang baru datang dari kantor. “Capek ya, Mi?” tanya Anggi basa-basi. Ada maunya sih…“Mami tahu nggak, tiga hari lagi ada apa?” pancingnya sambil mengambilkan air putih buat sang Mami.
“Memangnya ada apa?” ditanyain balik gitu, kontan si Anggi jadi gondok.
“Masa’ nggak inget sama ultah anak sendiri?!”
“Oh, maaf, sayang. Mami benar-benar lupa.” Keduanya terdiam sejenak. “Nggi, jangan ngambek gitu dong. Oke, kamu minta apa? Pasti mami penuhi.”
“Bener, Mi?!” Maminya mengangguk mengiyakan. Sontak wajah Anggi berubah ceria.
“Mi, Anggi boleh nggak, ngerayain pesta di kebun belakang?” tanya Anggi hati-hati. Jantungnya berdebar-debar melihat reaksi wajah Mami yang langsung berubah.
“Kalau untuk yang satu ini, mami nggak akan ngasih ijin.” Dierr! Anggi kecewa seketika. “Mami nggak mau bunga-bunga kesayangan mami mati terinjak-injak. Mami sudah capek menata kebun itu… bla… bla… bla… .”
“Ah, mami nggak asyik!” Anggi berlari ke kamarnya. Dibantingnya pintu keras-keras. Anggi sesenggukan. Dia sedih membayangkan ultahnya batal. Dia juga takut dengan cemoohan teman-temannya.
“Nggi, dengar dulu. Kalau selain itu, mami setuju. Buka dong, sayang.. ,” rayunya di depan pintu kamar putrinya.
“Nggak mau!” tukas Anggi ketus. Rupanya dia benar-benar marah.
* * *
Hari ini Anggi menghindar dari teman-temannya di kelas. Begitu bel istirahat berbunyi, dia langsung ngabur ke warung bakso Mang Akri. Ternyata di sana sudah ada Tity. Anggi buru-buru memutar haluan, tapi…
“Nggi, sini!” yah, ketangkap basah deh. “Gimana, jadi kan pesta kebunnya?”
“Nggak,” jawab Anggi lesu.
“Yah, batal makan enak dong.”
“Dasar gilingan! Pantesan pipimu tembem, makanan aja sih yang diurusin!”
“Ye.. gitu aja panas. Nih, minum jus dulu biar adem.”
Anggi menyeruput jus jeruk Tity yang tinggal setengah gelas. “Aku lagi marahan nih, sama Mami.”
 “So, apa yang bisa aku bantu?”
“Gini, gimana caranya supaya Mami nyesel nggak nurutin permintaanku?”
Kening Tity berkerut mencari ide. “Hmm..  mogok makan aja.”
“Heh, kalo ngasih saran yang masuk akal dong. Emang kamu nggak nangis, liat aku mati kelaparan?!”
Tity tertawa ngikik. “Kalau… nggak pulang sementara, gimana?”
“Boleh juga. Tapi kemana?”
“Yang pasti jangan ke rumahku. Kamu mau nongkrong di emperan kek, ngumpet di kolong jembatan kek, terserah.”
Setelah berpikir sebentar, lagi-lagi akhirnya Anggi setuju dengan usul sahabatnya itu.
* * *
Anggi berjalan menyusuri pinggiran pasar yang mulai sepi. Badannya serasa terpanggang oleh sengatan matahari. Sepulang sekolah, biasanya dia langsung membuka kulkas di ruang makan, duduk di ruang tv yang ber-AC. Tapi hari ini, Anggi harus rela wajahnya yang putih berubah menjadi merah kehitaman, serasa hampir gosong! Kerongkongan Anggi mulai terasa kering, perutnya pun sudah sejak tadi dangdutan.
Dihampirinya seorang pedagang es kelapa muda yang mangkal tak jauh dari tempatnya berdiri. Anggi agak jijik juga sih sebenarnya. Dia nggak terbiasa jajan di kaki lima. Tapi terpaksa, nggak ada pilihan lain.
Lalu, seperti orang nggak makan sebulan, Anggi meneguk rakus es kelapa muda yang disodorkan abang penjual es itu. Tiba-tiba seorang pengamen kecil menghampirinya, lalu bernyanyi dengan suara seadanya. Diiringi gitar sederhana yang sudah tua, pengamen itu menyanyikan lagu Ayah dengan penghayatan penuh. Anggi jadi trenyuh.
Pemilik suara itu adalah seorang gadis kecil berambut panjang, kira-kira usianya empat tahun. Bajunya yang lusuh dan compang-camping, membuatnya tampak  tak terawat.
“Adik, sini!” Panggil Anggi ramah. anak itu langsung menghampirinya. “Suara kamu bagus loh,” puji Anggi tulus.
 Gadis kecil itu tersenyum malu-malu mendengar suaranya dipuji.
“Nama adik siapa? Namaku, Anggi.”
“Nama saya Asih,” ujar anak kecil itu membalas perkenalan Anggi.
“Sudah lama jadi pengamen?” tanya Anggi.
“Sejak umur dua tahun, Kak.”
“Nggak sekolah?” cecar Anggi lagi.
Asih menggeleng.
 “Lo, kenapa… nggak sekolah?” Kasihan Asih, sekecil ini sudah disuruh kerja, gumam Anggi dalam hati.
“Nenek Asih nggak punya uang, Kak. Orangtua Asih sudah meninggal waktu Asih berusia dua tahun.” Ya tuhan, gadis yatim piatu ini tampak tegar. Di tengah kegetiran hidupnya, ia tetap terlihat bahagia. Sepertinya dia bangga karena sudah bisa mandiri di usia dini, pikir Anggi. Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Betapa selama ini ia sering menuntut orangtuanya tanpa melihat kesulitan mereka mencari nafkah. Dan satu lagi, Anggi kurang bersyukur dengan keadaannya. Sekarang dia perlu berterima kasih kepada Asih karena Anggi menjadi sadar akan kekeliruannya selama ini.
           
”Sekarang umur Asih berapa tahun?”
           
”Sebentar lagi empat.”
“Trus, ulang tahunnya kapan?”
“Satu minggu lagi.”
“Oh ya? Kalau begitu, mau nggak ngerayain bareng kakak? Nanti biayanya kakak tanggung semua,” tanpa sadar Anggi melontarkan kata-kata itu.
“Benar, Kak?” Anggi tersenyum mengangguk. “Kakak baik banget, terima kasih ya, Kak.”
Tiba-tiba hp Anggi berbunyi.
“Hallo, Ty,” sapa Anggi genit.
“Nggi, kemana aja sih? Mama kamu nangis-nangis nyari kamu, tahu nggak?”
Anggi cengengesan. “Iya, ini juga aku mau pulang. Eh, aku udah nemu ide yang lebih seru. Aku mau ngerayain ultah di panti asuhan!” tegasnya.
“Hah, ide gitu kamu bilang seru? Apa asyiknya?”
“Sekali-sekali boleh kan, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak panti.”
“Aduh, Nggi, kamu mimpi apa sih semalam?” kata Tity nggak percaya.
* * *
Malam ini Anggi bahagia, karena selain bisa merayakan ulang tahunnya sendiri, ia juga merayakan ulang tahun sahabat kecilnya, Asih. Bisa berbagi kebahagiaan dengan Asih adalah anugerah terindah. Meskipun pestanya tadi sederhana, tapi sangat meriah. Semua yang diundang hadir, dan yang istimewa, tentu saja kehadiran Aksan. Apalagi Aksan memberi kado paling besar untuknya. Penasaran, Anggi segera membukanya.
Hup! Anggi membekap mulutnya. Aksan memberinya sebuah lukisan yang keren banget! Segera ia membaca secarik kertas di pojok atas lukisan itu.
Selamat ulang tahun yang ke-12, tebarkan cinta kasih untuk sesama…
                                                                                                                        Aksan
Rasanya Anggi sudah nggak sabar menunggu besok….

* cerpen ini dimuat di Majalah GIRLS no.20 edisi Mei 2008 dengan beberapa editan, diantaranya judul berubah menjadi "Anugerah Terindah"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊