Translate

Kamis, 29 Mei 2008

Vibi






Kupandangi Vibi dari jauh. Penampilannya masih tetap sama dengan setahun yang lalu, ketika pertama kali dia menemaniku jalan-jalan bersama Rino, cowokku, di suatu sore yang indah. Vibi memang cantik dan menyenangkan. Dia juga lincah. Tak heran jika Rino sangat menyayanginya.
“Perasaan sayang gue ke elo, sama seperti perasaan sayang gue ke Vibi,” kata Rino suatu hari.
Pernyataan ini jelas membuatku sedih, marah, dan cemburu. Bagaimanapun, aku nggak terima disamakan begitu saja dengan Vibi. Aku ceweknya, seharusnya aku berhak mendapatkan kasih sayangnya secara utuh. Tetapi akhirnya aku sadar, sebelum mengenalku, Rino sudah bersama Vibi. Vibi adalah separuh napasnya, aku tidak bisa memisahkan Rino Dari Vibi, begitu juga sebaliknya. Perlu waktu lama untuk memahami semua ini.

Satu hal yang aku suka dari Vibi, ia selalu ada ketika aku sedang membutuhkannya, sama seperti Rino. Inilah yang membuatku turut menyayanginya. Tetapi tak jarang juga Vibi membuatku uring-uringan. Bayangkan, malam Minggu yang seharusnya menjadi milikku dengan Rino, kadang-kadang dengan mudah direbutnya dariku. Dan ketika ku-sms, dengan santainya Rino akan mengatakan bahwa dia sedang ada di salon menemani Vibi treatment. Betapa beruntungnya Vibi. Aku saja nggak pernah diperlakukan seperti itu. Boro-boro mau nungguin, nganterin aja nggak. Pokoknya Rino anti untuk yang satu ini. Alasannya, tanpa ke salon pun aku sudah cantik. Gombal!
* * *
Permusuhan itu menyakitkan. Mungkin inilah yang dirasakan Vibi ketika aku melarang Rino untuk mengajaknya serta dalam pertemuan-pertemuan kami. Waktu itu aku mengultimatum Rino, “Jauhi Vibi, atau kita putus.”
Aku merasa Vibi telah mempermalukanku di depan teman-temanku pada pesta ulang tahun Reina yang mewah. Aku memang berusaha tetap jaga gengsi di hadapan mereka. Tetapi malam itu, Vibi telah mengacaukan semuanya. Sejak saat itu aku benar-benar membencinya.
* * *
“Mey, Vibi hilang!” adu Rino kemarin sore melalui telpon.
“Apa, Vibi hilang?” ulangku.
Seketika itu juga aku menemui Rino di tempat kami biasa bertemu. Kuhampiri Rino di bangku taman belakang sekolah. Wajahnya tampak murung. Aku menyesal telah mengacuhkan Vibi yang selama ini menjadi bagian kisahku dengan Rino. Aku ingat, pertemuan terakhirku dengan Vibi adalah sebulan yang lalu.
“Udah nyoba lapor polisi?” tanyaku pelan. Rino menggeleng lemah. Kelihatannya dia sangat terpukul dengan kejadian ini. “Rin, Vibi pasti kembali,” yakinku. Mudah-mudahan ini dapat sedikit menghiburnya. “Kita akan mencarinya bersama-sama,” lanjutku.
Rino mendesah, pandangannya lurus ke depan. “Makasih, Mey. Ternyata elo masih peduli sama Vibi,” ujarnya sambil beralih memandangku. Kubalas pandangannya dengan senyuman.
Perlahan daun-daun kering dari pohon flamboyan yang menaungi kami saat itu meluruh, mengotori sebuah bangku taman yang bagi kami sangat bersejarah, karena disinilah kali pertama kami menemukan nama ‘Vibi’ kemudian memberikannya untuk motor antik Rino, sebuah vespa butut.
Cerpen ini dimuat di Harian Surya, Minggu 21 November 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊