Translate

Rabu, 14 Mei 2008

Jelang Dua Puluh Empat Tahun Hidup Sebagai Perempuan

“Betapa enaknya terlahir sebagai laki-laki.” Itulah pendapat saya dulu (bahkan sampai sekarang pendapat itu terkadang masih sering terlintas di kepala saya). Dibanding makhluk bernama perempuan, selama ini laki-laki distereotipkan lebih ‘bebas’, lebih kuat, lebih berani, dan masih banyak lebih-lebih yang lain. Saya sempat iri dengan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki laki-laki. Meskipun saya tak menampik bahwa perempuan pun punya banyak keistimewaan—diantaranya surga berada di telapak kaki ibu—tapi tetap saja, bagi saya laki-laki itu punya banyak kelebihan.


Ketika masih SD, saya heran dengan susunan kabinetnya Alm.Pak Harto. “Kok menteri perempuannya cuma menteri UPW doang?” Kalau nggak salah waktu itu pernah cuma Ibu Inten Suweno saja yang perempuan. Dalam benak kanak-kanak saya saat itu, saya berpikir, apakah perempuan nggak boleh jadi menteri?

Menginjak remaja, saya melihat fenomena tentang banyaknya kasus MBA (Merit by Accident) yang sering merugikan pihak perempuan. Waktu itu kesimpulan saya satu: enak banget ya jadi laki-laki, perjaka atau nggak perjaka orang lain nggak tahu (kecuali ada penyelidikan ‘investigasi’). Jadi enjoy aja kalau ingin gonta-ganti pasangan. Kalau perempuan? Begitu orang lihat perutnya membesar, bunting, berarti udah nggak perawan lagi. Itu sudah pasti.

Oh iya, dulu saya pernah berkhayal, seandainya saya laki-laki, saya akan keliling dunia pakai sepeda. Dalam bayangan saya, kalau saya laki-laki, berpetualang kemanapun aman, bebas, mudah dapat ijin dari orangtua dan tidak akan terlalu dikhawatirkan. Tidur dimanapun nantinya, nggak masalah. Dasar khayalan anak kecil nyeleneh! ;)

Entah dari mana mulanya, sejak kecil mentalitas saya sudah terbentuk untuk berusaha mengalahkan laki-laki, dalam hal apapun, saya merasa bahwa saya harus di depan laki-laki. Karena itulah ketika saya berhasil menjadi ketua kelas, atau merebut predikat rangking I di kelas—yang biasanya disandang murid laki-laki—misalnya, saya luar biasa bahagia, puas tak terkira.

Saya cenderung suka memakai celana (yang umumnya dipakai anak laki-laki) daripada memakai rok seperti lazimnya anak perempuan. Kalaupun sekali waktu saya memakai rok, itu karena dipaksa Ibu dengan banyak ancaman. Semasa remaja (sampai sekarang), saya juga nggak begitu suka dan malas berdandan. Buat saya cantik itu bukan polesan kosmetik, melainkan cerdas, sehat jasmani rohani, kuat, dan berani; itulah cantik. Meminjam definisi Lan Fang, cantik itu 3B: Brain, Brave (bukan Beauty), Behavior.

Saya cenderung suka memberontak. Aturan tak tertulis dalam keluarga besar saya (dari garis Ayah), jika seorang anak perempuan beranjak remaja (setara lulus SD), wajib memakai jilbab. Tapi saya tidak mengindahkan aturan itu. Saya nggak mau berjilbab karena terpaksa. Saya mau niat berjilbab saya karena Allah SWT, bukan karena yang lain. Tak heran jika diantara saudara-saudara perempuan saya, sayalah yang paling beda, baru berjilbab ketika SMA. Tidak hanya itu. Saya juga sempat ‘dikucilkan’ oleh keluarga besar saya (dari Ayah lagi, yang selama ini bercitra keluarga ‘santri’) karena aktivitas saya di dunia seni ‘sekuler’. Setelah tanpa sengaja menjuarai lomba menyanyi se-kecamatan, saya yang saat itu masih SD sering diundang manggung di berbagai acara. Sampai SMP, saya masih sering diminta menyanyi di berbagai tempat. Akibatnya, teror semakin sering saya terima dari mereka-mereka yang tidak menyukai aktivitas saya. “Suara itu termasuk aurat perempuan!” kata salah seorang ‘tetua’ di keluarga besar saya. Waktu itu saya cuek saja, jalan terus. Kedua orangtua saya nggak masalah, kenapa justru mereka yang ribut? Toh niat saya menyanyi hanya untuk menyalurkan hobi, melatih kepercayaan diri, menggali potensi, manambah pengalaman, bukan untuk yang lain. Tetapi akhirnya saya nyerah juga setelah mendapat tekanan dari sana-sini. Saya berhenti, dan saya frustasi. Untunglah tak berapa lama saya bisa bangkit dan semangat lagi.

Kata orang-orang di sekitar saya, saya ini juga tergolong nekatan. Waktu SMP, untuk pertama kalinya saya pulang ke rumah dari berlibur di Surabaya sendirian, bermodal nekat. Ketika SMA, saya pernah pulang dini hari dengan seorang saudara perempuan saya setelah nonton konser grup musik Padi yang saat itu datang ke Lumajang. Padahal jarak rumah saya ke tempat konser cukup jauh, juga susah angkot. Lalu saya pernah nekat minggat dari rumah gara-gara dimarahi Ayah, ngumpet beberapa hari di rumah salah satu om saya. Yang paling spektakuler adalah kenekatan saya melakukan ‘pembangkangan’ terhadap kehendak Ayah dalam memilihkan sekolah untuk saya selama tiga kali berturut-turut. Tapi kenekatan-kenekatan saya selama ini tetap berdasarkan pada banyak pertimbangan lho.

Saya terlahir sebagai perempuan dalam keluarga saya, sebagai sulung dari empat bersaudara dengan dua adik laki-laki dan satu perempuan. Dulu saya sering protes kepada orangtua, karena sehari-hari pekerjaan rumah saya lebih banyak dari adik laki-laki di bawah saya. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Waktu itu kedua adik saya yang terakhir belum lahir. Sementara saya menyapu, mengepel, membantu Ibu di dapur, mencuci sekaligus menyeterika baju sendiri, adik dibebaskan bermain dengan teman-temannya sampai sore, padahal adik sudah waktunya mandiri.

“Kenapa saya terus?” teriak saya jengkel.

 “Kamu perempuan,” kata Ayah.

Lalu kenapa adik saya yang laki-laki tidak diajarkan seperti itu juga? Apa salahnya laki-laki bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga? Lalu, bagaimana nanti kalau sudah beristri? Mau jadi Raja, yang apa-apa harus dilayani istri? Apa semua yang berbau domestik harus dikerjakan istri (:perempuan)? Apakah  tujuan laki-laki mengawini perempuan cuma mau dijadikan pembantu? Ngapain kawin kalo gitu?! Cari aja PRT! Dasar laki-laki! Sungut saya dalam hati. Entahlah, saya juga heran, bisa-bisanya pemikiran saya waktu itu (yang masih SMP) sampai sejauh ini.

Untunglah saya dapat suami yang nggak pernah memperlakukan saya seperti pembantu. Saya tahu, pelayanan istri terhadap suami, sekecil apapun bentuknya—membuatkan kopi misalnya—bernilai pahala. Tapi bagi saya, membebankan semua pekerjaan domestik kepada istri adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, nggak manusiawi, menentang fitrah, karena para istri pun bisa lelah seperti para suami yang baru pulang kerja (istri juga manusia!). Karena ini, sempat terlintas pikiran ngaco plus iseng di kepala saya, kenapa ya, yang sering saya jumpai adalah buku-buku how to tentang kiat-kiat melayani suami? Kok nggak pernah saya jumpai judul ‘Tips Melayani Istri’? (just kidding…).

Di keluarga besar saya (dari garis Ayah), diantara anak-anak perempuan yang penurut kepada kedua orangtuanya, yang tak bebas menentukan pilihan, saya tumbuh menjadi anak perempuan yang suka ‘membangkang’. Tapi saya berani mempertanggungjawabkan ‘pembangkangan’ saya.

 Saya gemas melihat saudara-saudara perempuan saya yang ‘iya’ saja ketika selepas SD dimasukkan pesantren, dipaksa masuk ke MTs dan sejenisnya, lalu ketika dewasa suami pun harus pilihan orangtua, bla bla bla… Saya tidak mau itu terjadi pada saya. Saya tidak mau jadi kerbau. Dan ‘pembangkangan’ pun dimulai.

Lulus SD, saya dijemput salah seorang anak pakdhe saya (dari garis Ayah). Saya dipaksa masuk MTs di Pasuruan, dekat rumahnya, seperti saudara-saudara saya yang lain yang dulu pernah ‘nyantri’ disana. Entah dapat keberanian dari mana, saya menolak. Saya lari dari rumah, sembunyi di rumah seorang budhe (dari garis Ibu). Saya mengancam nggak mau pulang kalau terus dipaksa masuk MTs. Akhirnya Ayah mengalah.

“Apa maumu?” tanya Ayah.

Lalu saya utarakan keinginan saya untuk menentukan sendiri saya akan sekolah dimana. SMPN I Tempeh menjadi pilihan saya. Waktu itu saya begitu yakin dengan pilihan saya, optimis bahwa pilihan saya benar. Walaupun sebagai konsekuensinya saya terancam tidak akan diberi uang saku yang memadai oleh Ayah dan beliau tidak bersedia mengantar-jemput saya ke sekolah, saya tidak gentar. Justru saya semakin tertantang untuk melakukan yang terbaik, membuktikan bahwa pilihan saya tidak salah. Tahun pertama, setiap hari saya mengayuh sepeda sejauh kurang lebih 7-8 kilo. Sekolah saya beda kota kecamatan dengan tempat tinggal saya. Mau naik angkot uang nggak cukup. Tahun kedua dan ketiga, kadang-kadang saja, karena sering dapat tumpangan teman, dan Alhamdulillah kadang bisa naik angkot.

Keyakinan saya berbuah manis. Saya lulus sebagai salah satu the best ten dari sekolah itu. Meski demikian, entah mengapa Ayah kembali melakukan pemaksaan kehendak pada saya. Kali ini saya tidak boleh sekolah di SMA pilihan saya tanpa alasan. Jelas saya menentang habis-habisan. Tanpa persetujuan Ayah, dengan hati pedih saya tetap mendaftar ke SMA Negeri 2 Lumajang. Selama tiga tahun hari-hari saya penuh perjuangan untuk meminta kepercayaan Ayah. Untunglah semangat juang itu tak pernah padam di hati saya.

Lulus SMA, saya berhasil masuk ke salah satu PTN di Malang tanpa tes (lewat jalur PMDK). Lagi-lagi Ayah menentang keinginan saya melanjutkan pendidikan. “Jurusan yang kamu pilih itu ndak bonafit, ndak ada prospeknya,” cela Ayah. Siapa bilang? kilah saya dalam hati. Ayah lihat ya, nanti. Akan kubuktikan! tekad saya.
Saat ini, meski belum sepenuhnya tekad itu terbukti, orangtua saya (terutama Ayah) akhirnya mau memberi kepercayaan pada saya untuk memutuskan sendiri apa pun yang saya inginkan. Saya bersyukur, karena sejak dulu inilah yang saya inginkan: diberi kepercayaan menjalani hidup berdasarkan keputusan-keputusan yang saya buat sendiri, bebas menentukan pilihan. Bagaimanapun, saya sendiri-lah yang tahu apa yang terbaik untuk hidup saya, karena saya yang menjalani, bukan orang lain.
Menjelang dua puluh empat tahun hidup sebagai perempuan, ternyata menjadi perempuan itu cukup menyenangkan, meski kadang melelahkan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊