Translate

Sabtu, 06 Februari 2010

[Resensi] Menulis dengan Jiwa Merdeka

Judul buku      : Senyum untuk Calon Penulis
Penulis            : Eka Budianta
Penerbit          : Pustaka Alvabet Jakarta
Tebal               : xix + 247 halaman
Cet.I                 : September 2005
Resensator      : R.F.Dhonna


Menulis adalah aktivitas pikiran (baca: otak) yang sangat menyenangkan. Setidaknya seperti itulah yang digambarkan Hernowo lewat buku-buku yang ditulis dan disuntingnya. Quantum Writing dan Mengikat Makna misalnya, sama-sama mengulas betapa pentingnya memberdayakan potensi menulis yang dimiliki seseorang. Bukan hanya potensi menulis hal-hal spektakuler, tetapi juga yang remeh-temeh. Penelitian Dr.James W.Pennebaker, dosen di sebuah universitas terkemuka di Amerika, menyebutkan bahwa menulis dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Manfaat lainnya, menurut Pennebaker, menulis dapat menjernihkan pikiran, mengatasi trauma, membantu seseorang mendapatkan dan mengingat informasi baru, serta membantu seseorang memecahkan masalah. Begitu dahsyatnya manfaat menulis.

Kini banyak beredar buku-buku yang membahas bagaimana teknik-teknik menulis yang mudah dan tidak membosankan, sehingga orang yang sebelumnya sama sekali tak tertarik dengan bidang tulis-menulis menjadi tertarik untuk mempelajarinya. Eka Budianta dengan bukunya yang berupa kumpulan esai ini mencoba mengajak pembaca untuk menulis dengan jiwa merdeka. Baginya, jiwa merdeka adalah modal utama untuk seorang pengarang. Tanpa ini, mustahil apa yang ditulisnya itu berasal dari hati. Seperti yang diungkapkannya, "Sesuatu yang berasal dari hati, akan sampai ke hati lainnya (baca: pembaca)". Masih dalam konteks menulis dengan jiwa merdeka, novelis Fira Basuki pernah menyatakan, ”Menulis itu tidak usah dipikirkan. Jangan bertanya bagaimana kalau... biar nggak stres. Jangan meniru gaya penulisan orang lain, temukan gaya penulisan sendiri, be your self”. Dalam hal ini, Fira menekankan betapa pentingnya menjadi diri sendiri ketika menulis.
Melalui rangkaian kata-kata yang ditulis secara bebas, kreatif,  berseni, berani, dan realistis, Eka Budianta berhasil menggugah motivasi penulis –baik yang pemula maupun yang masih calon— untuk peka terhadap tujuannya ketika menuliskan sesuatu. Menurut penulis asli Malang ini, tujuan akhir dari berkarya adalah mempersembahkan kemerdekaan dan mencapai kebebasan pribadi (hal.26). Berkaitan dengan hal ini, simak pendapat cerpenis Djenar Maesa Ayu. ”Menulis merupakan proses idealisme. Selama ini, sebagai manusia sekaligus makhluk sosial, saya dituntut untuk bertoleransi, kadang saya harus berpura-pura. Kalau dalam menulis pun saya harus berpura-pura, nggak ada artinya lagi saya menulis.” Dari pendapat itu dapat diketahui bahwa penulis antologi cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini sangat mendukung kebebasan dan kemerdekaan dalam menulis dengan cara bersifat jujur dan terbuka ketika menuliskan sesuatu.
Eka Budianta begitu inspiratif mengemukakan alasan-alasannya menulis selama ini. Baginya, sebelum menulis seseorang hendaknya tahu mengapa dia harus menulis, apa yang harus ditulis, untuk siapa, dimana, dan bagaimana menulis sebebas-bebasnya. Ini akan membantunya menjadi pengarang besar. Buku mantan wartawan majalah TEMPO ini juga begitu bernas menyoroti permasalahan-permasalahan penting yang terjadi di Indonesia selama ini, mulai dari masalah kerusakan lingkungan, perbukuan, jurnalisme, pelanggaran HAM, reformasi, krisis multi dimensi, sampai kesusastraan, serta bagaimana mengatasinya. Melalui tulisan, Budianta seolah ingin mengatakan, ”Berbuatlah, sekecil apa pun itu!”
Kita menulis untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tatkala kita menulis gagasan kita, hal-hal samar dan abstrak menjadi jelas dan konkret. Saat semua pikiran tumpah di atas kertas, kita bisa melihat hubungan di antara mereka dan bisa menciptakan pemikiran yang lebih baik. Menulis, dengan kata lain, bisa membuat kita lebih cerdas. Selain itu, menulis dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengenali diri, membuat kita lebih akrab dengan berbagai pengalaman batin yang tersimpan di dalam diri kita. Dengan menulis, berarti kita sedang memberikan yang terbaik dari pengetahuan kita, perasaan kita, pengalaman hidup, dan cita-cita kita. Tulisan itu ibarat wakil hati penulis yang mengetuk hati pembaca (hal.199).
Stephen King dalam sebuah bukunya mengungkapkan, ”Menulis bukanlah untuk mencari uang, menjadi terkenal, mendapat teman, atau menjadi mapan. Pada akhirnya, menulis adalah untuk memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan memperkaya hidupmu sendiri pula.” Ini adalah salah satu dari sekian banyak alasan yang memotivasi seseorang untuk menulis. Motivasi tertinggi di dalam menulis, seperti dinyatakan oleh alm.YB Mangunwijaya, adalah menjawab panggilan hati nurani (hal.214). Dalam buku ini, beliau mengkategorikan para penulis menjadi lima jenis, yaitu pengarang iseng, pujangga keraton, sastrawan poyek, penulis profesional, dan pengarang nurani. Termasuk yang manakah Anda?
*Resensi ini dimuat di Majalah Komunikasi edisi Februari—Maret 2006/no.242/tahun 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊