Translate

Senin, 01 Februari 2010

Togar

                                           
Suasana masih lengang ketika Danesh menyusuri lahan parkir di kawasan komplek pertokoaan Betiri. Lalu lalang kendaraan belum terlalu padat. Beberapa pedagang kaki lima tampak mulai berbenah. Masih terlalu pagi memang.
Danesh duduk menunggu di sebuah sudut, tepat di sebelah Betiri Mall yang berdiri megah di kawasan komplek itu.
Matahari hampir di atas kepala. Berkali-kali Danesh melongokkan kepala. Seseorang yang berjanji akan menemuinya di tempat itu belum juga muncul.
Danesh sudah hampir meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba terdengar suara khas yang memanggil namanya. Itu dia yang ditunggunya. Seorang pemuda berambut gondrong, berusia sekitar tujuh belas tahunan. Penampilannya dekil dengan pakaian compang-camping. Itulah Togar, seorang preman jalanan yang dikenalnya beberapa bulan lampau.
Sambil mengeluarkan sebungkus nasi dan sebuah radio dari tas ranselnya, Danesh menghampiri Togar. Diulurkannya benda itu, tapi…

“Bah!” Togar menampiknya. “Kau kira aku bisa kau bohongi? Aku mau fredciken yang dari KFC, bukan dari warteg!” bentak Togar. “Dan ini apa? Radio bekas kan? Aku memang bodoh. Tapi aku tahu kau membelinya di pasar loak kemarin sore!”
“Gar, aku harap kau menghargai kerja kerasku. Aku mengumpulkan uang ini dengan mengurangi jatah makanku. Kau kan tahu, aku ini anak kos…”
“Aku nggak peduli. Yang penting aku tahu, kau anak orang kaya!” Togar memalingkan mukanya ke jalan.
“Dengar  Gar, ini akhir bulan. Jadi…,”
“Kau mau aku merobek foto-fotoku sendiri? Jangan banyak bicara, turuti saja kemauanku!” potong Togar ketus.
Danesh mengingat-ingat perjuangannya mendekati Togar. Susah payah ia merayu pemuda itu untuk ia jadikan model dalam foto-foto hasil bidikannya. Danesh akan mengikutkan foto-foto itu dalam lomba fotografi yang berhadiah jutaan.
Seandainya Danesh bisa menemukan lagi seorang model yang dapat mewakili tema foto yang akan diikutkan lomba, pasti sudah sejak awal ia meninggalkan pemuda egois ini.
Sudah lama Danesh mengamati gerak-gerik Togar di bawah terik matahari, berkeringat peluh mengatur mobil-mobil yang parkir di pertokoan Betiri dengan gesitnya, dari pagi hingga larut. Tak jarang ia terpaksa tidur di emperan toko dengan wajah lelah. Tak jarang pula pemilik toko mengusirnya dengan kasar, memaki-makinya dengan kata-kata kotor sambil melemparinya sampah.
Awalnya Danesh tak menyangka bahwa Togar adalah seorang preman. Ia pikir, Togar hanya seorang tukang parkir biasa. Suatu malam, ia membuntuti pemuda itu. Malam berikutnya, kembali ia membuntuti Togar, seorang diri.
 “Aku mau pergi!” pamit Togar setengah berteriak, membuyarkan lamunan Danesh.
“Tunggu!” cegah Danesh. “Oke, aku turuti permintaanmu. Tapi nanti sore. Sekarang kau habiskan dulu ini.”
Secepat kilat Togar merampas bungkusan itu dari tangan Danesh. Detik berikutnya, seperti orang yang tak pernah makan, nasi ayam itu pun tandas tanpa sisa.
Danesh menatap Togar lekat-lekat. Meskipun lusuh, wajah itu tak mampu menyembunyikan garis-garis ketampanannya. Sungguh, jika bukan takdir menjadi preman yang diterima Togar, mungkin ia menjelma jadi sosok yang diidolakan banyak gadis. Andai yang dipakainya saat ini sebuah kemeja kotak-kotak biru dipadu jins cargo, pasti….
“Heh, kenapa kau menatapku seperti itu?” Danesh terkejut. Tak menyangka Togar mengetahui perhatiannya. “Aku sudah bilang, aku tidak mau dikasihani!” ujar Togar sambil menghentakkan kakinya. Oh, syukurlah. Rupanya ia menangkap makna lain dari perhatian Danesh tadi, bukan makna kekaguman.
“Ee…aku…,” Danesh tergagap.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Togar dengan mulut terisi penuh.
“Gar, seandainya aku memenangkan lomba ini, kau senang apa tidak?”
“Hmm, coba aku lihat hasilnya..,” Danesh mengangsurkan lembaran foto-foto Togar yang meringis kepanasan ketika ia sedang bekerja, memarkir mobil-mobil mewah yang kata togar, pemiliknya hendak menghabiskan uang kecil di Betiri Mall.
Togar memperhatikannya satu persatu. Serius sekali rupanya. Seperti seorang pencari bakat yang menyeleksi foto para model yang akan diorbitkan.
“Tidak,” jawab Togar pendek sambil menyerahkan kembali foto-foto tadi ke tangan Danesh.
“Kenapa?” kejar Danesh.
“Jika fotoku dilihat banyak orang, maka aku akan terkenal seperti artis dalam majalah-majalah itu,” ucap Togar sambil menoleh ke kios penjual majalah yang berada tak jauh darinya. “Aku akan disukai banyak gadis, kebebasanku melakukan kejahatan semakin terbatasi, dan kau…akan semakin kaya. Orang-orang sepertimu hanya memperalat orang-orang miskin seperti aku untuk kemakmuran sendiri, ya kan?!”
“Berhentilah berpikiran seperti itu! Aku tak bermaksud apa-apa….”
“Ya, selain untuk menyebarkan propaganda tentang kemiskinan, lalu menyuruh orang lain untuk beramal. Kau kumpulkan pundi-pundi amal itu, lalu kau masukkan ke kantong pribadimu…”
“Cukup, Gar!” potong Danesh marah. Suasana hening sejenak. Seolah mengerti, mobil-mobil pun tak ada yang berani melintas di depan mereka.
“Oke…oke… .” Togar berdiri hendak melangkahkan kakinya.
“Kemana?” tanya Danesh.
“Untuk apa?” balas Togar angkuh.
“Nanti sore, ke KFC.”
“Lupakan. Belikan saja kemeja kotak-kotak biru dan jins cargo untukku,” pinta Togar santai sambil berjalan menjauhi Danesh.
Danesh terlongo mendengarnya…
                                                   * * *
Danesh mematut-matut di depan kaca, mengepas baju-bajunya yang rata-rata jins dan kemeja. Maklum, dia agak tomboy. Bawaannya pun bukan tas jinjing seperti perempuan pada umumnya, tapi ransel.
Hari ini Danesh lain dari biasanya, lebih rapi dan feminin. Danesh ingin mempersembahkan kemenangannya untuk Togar. Ya, gelar foto terbaik berhasil diraihnya.
Sesuai permintaan Togar tempo hari, Danesh membawa satu stel kemeja kotak-kotak biru dan celana jins cargo sebagai ungkapan terima kasih. Danesh juga membawa sebuah bingkisan khusus sebagai hadiah, yaitu sebuah…kamera! Danesh ingin mewujudkan salah satu keinginan Togar yang ingin belajar fotografi padanya.
“Ini buat syuting ya?”
“Bukan. Ini buat motret.”
Gile, gede banget. Bisa dong, kapan-kapan ngajarin aku motret.”
“Boleh.”
Terngiang kembali kata-kata Togar yang mengungkapkan keinginannya. Ah, Togar pasti senang menerima pemberianku, yakin Danesh.
Danesh melirik casio di pergelangan tangannya. Tiga jam lagi ia harus bertemu dengan salah satu dosennya. Demi mendekati Togar, Danesh harus rela meninggalkan kuliah kalkulusnya selama delapan kali pertemuan. Akibatnya ia mendapat panggilan dari dosennya. Untung saja sang dosen masih memberinya toleransi. Kalau tidak, bisa-bisa ia mengulang kembali tahun depan.
Danesh sudah memperkirakan bahwa waktu dua jam pasti lebih dari cukup untuk bertemu Togar.
Sambil menunggu air masak untuk membuat kopi, Danesh menyalakan TV di ruang tamu. Diambilnya sebuah gelas dari lemari dapur. Sayup-sayup terdengar suara presenter acara berita…
“Seorang mayat laki-laki ditemukan tewas di kawasan Betiri Mall dini hari tadi,” spontan Danesh berlari kembali ke depan TV yang menampakkan gambar peristiwa tersebut. “Diperkirakan korban adalah salah satu dari preman jalanan yang kerap kali mengganggu ketertiban di kawasan itu. Menurut saksi mata, korban yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang parkir ini, semalam sempat terlihat adu mulut dengan seseorang yang tak dikenal. Setelah diidentifikasi, korban yang bernama Togar Sitomorung ini tewas akibat tertusuk pisau….”
PYAR!! Gelas di tangan Danesh terjatuh. Benarkah yang baru saja didengar dan dilihatnya? Togar yang dikenalnya-kah itu? Ah, tidak. Tidak mungkin!
Sekuat tenaga ia berlari ke luar rumah dan menghentikan angkutan umum yang kebetulan melintas di depannya.
Sepanjang perjalanan, Danesh mencoba menguatkan hatinya. Ia harus tabah apa pun kenyataan yang akan dihadapinya.
Danesh berhenti di mulut gang sempit yang kotor. Di sana terlihat berkerumun teman-teman Togar yang sebagian dikenalinya.
“Kau senang teman kami mati?” Sambut Narko dengan tatapan tajam yang menusuk ulu hati Danesh. “Gara-gara kau, lahan parkir Togar dikuasai preman lain. Seharusnya kau tahu, Togar harus kerja, bukan kau ajak jalan-jalan.” Danesh membisu. Sulit sekali menjelaskan kepada mereka. Mulutnya benar-benar terbungkam. Seolah-olah ada tangan yang menguncinya rapat-rapat.
Ini memang kesalahan Danesh. Tapi tidak sepenuhnya. “Tuhan, jika aku yang menyebabkan semua ini, hukumlah aku!” batin Danesh.
Danesh mulai kehilangan keseimbangan. Selanjutnya ia tidak tahu apa-apa lagi….


*Cerpen ini meraih juara 2 Lomba Menulis Cerpen Pekan Ilmiah dan Seni (PIS) Universitas Negeri Malang tahun 2002, dimuat di Majalah Siar edisi 1 tahun 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊