Oleh: RF.Dhonna
Keindahan pantai memang tidak
pernah membosankan untuk dinikmati. Di daerah Jember, pantai yang terkenal dan
sering dikunjungi adalah Watu Ulo. Ternyata tak jauh dari Pantai Watu Ulo ada
lagi pantai yang tak kalah memesona, yaitu Tanjung Papuma.
Antara Watu Ulo dan Tanjung Papuma
Watu Ulo dan Papuma memiliki
jalur yang sama, karena lokasinya bersebelahan. Keduanya hanya dipisahkan oleh
bangunan loket masuk. Perbedaan kedua pantai itu adalah pengelolanya. Pantai Watu
Ulo dikelola oleh pemkab, sedang Papuma dikelola oleh Perhutani. Dari segi
pengunjung, Papuma relatif lebih sepi. Karena itu bagi pelancong yang
menginginkan suasana tenang, saya sarankan untuk mengunjungi Papuma.
Nama
Papuma merupakan singkatan dari Pasir Putih Malikan. Kata ‘tanjung’ ditambahkan
untuk menunjukkan posisi pantai tersebut yang berbentuk menjorok ke laut
mengarah barat daya sehingga membentuk tanjung.
Seharusnya saya dan rombongan
sampai disana sebelum tengah hari. Tetapi karena mobil yang akan dipinjam masih
terpakai untuk suatu urusan, maka kami harus rela molor beberapa jam dari waktu
keberangkatan yang sudah ditentukan.
Perjalanan ke Papuma dari kota
kelahiran saya, Lumajang, bisa ditempuh sekitar tiga jam. Pantai ini terletak
di desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember. Kalau berangkat dari
pusat kota Jember, jarak yang ditempuh sekitar 37 km ke arah selatan. Tak perlu
khawatir terganggu jalan rusak, karena sepanjang jalan menuju pantai sudah
diaspal mulus. Jadi sarana transportasi apa pun bisa digunakan untuk kesana.
Memasuki kawasan Papuma yang
memiliki luas sekitar 50 hektare, jalanan menanjak dan menurun tajam menjadi
pemandangan awal yang mengasyikkan. Hampir di setiap sudut terdapat peringatan
pada semua pengendara agar selalu berhati-hati.
Panorama yang Tak Biasa
Begitu mobil berhenti, tanpa alas
kaki saya segera meloncat turun. Tetapi, aww,
kaki saya serasa terpanggang bara! Pasir Papuma saat matahari terik seolah
mampu membuat telapak kaki melepuh. Bahkan mungkin bisa mematangkan telur
mentah.
Saya pun lari menepi ke bawah
pohon, sembari menanti pertolongan suami yang membawakan sepasang sandal untuk
saya. Hm, rupanya kami benar-benar datang di saat yang kurang tepat.
Meski demikian, kondisi tersebut
tidak menyurutkan minat suami saya untuk memotret Papuma dari segala sudut.
Sementara suami hunting objek foto
dari ujung ke ujung, saya menemani si kecil bermain pasir di tepian pantai yang
terlewati ombak. Saya tidak berani terlalu jauh ke bibir pantai. Karena ombak
pada tengah hari bagi saya yang tidak mahir berenang tampak sangat menakutkan.
Keindahan alam Tanjung Papuma
adalah perpaduan antara laut, hutan, gugusan batu karang di tengah laut, dan
pasir putih di sepanjang pantai. Diantara panorama yang tersaji di hadapan saya,
ada satu yang paling menarik. Dari kejauhan saya melihat batu-batu raksasa
menyerupai pulau setengah tebing yang terletak di tengah deburan ombak. Itulah
gugusan pulau karang yang belum pernah saya temukan di pantai lain. Beberapa
diberi nama seperti nama para dewa, yaitu Krisna, Bathara Guru, dan Narada.
Nama pulau lainnya yaitu Kajang dan Nusa Barong. Ada pula pulau karang yang
dinamakan Pulau Kodok, karena bentuknya memang mirip kodok.
Diantara gugusan pulau karang
itu, Pulau Kajang dan Narada-lah yang bentuknya paling khas. Konon jika kita
mengamati latar foto-foto pantai pasir putih yang ada di seluruh dunia, jika
tampak pulau Kajang atau Narada, dengan mudah orang bisa mengenali bahwa latar
belakang foto diambil di Papuma.
Jika berminat berlayar mengelilingi
pulau-pulau karang yang berjarak dua mil dari pantai itu, pengunjung bisa
menyewa perahu-perahu nelayan yang berjejer rapi di tepi pantai. Sayang, karena
keterbatasan waktu, saya gagal mendekati pulau-pulau yang tak berpenghuni itu.
Hm, mungkin lain waktu, kalau saya punya kesempatan lagi berkunjung ke pantai
eksotis ini.
Berenang dan Berpetualang
Semakin siang, ombak kian
mengganas. Meski demikian, beberapa wisatawan tetap asyik berenang. Diantara
mereka tampak pula wisatawan asing. Papan peringatan dilarang berenang yang
terdapat di beberapa titik pun tak mampu menyiutkan nyali mereka untuk
menantang ombak. Ya, permukaan pantai yang biru jernih seolah menjadi magnet
yang akan menarik siapa pun untuk menyelaminya.
Beberapa waktu lalu Papuma mencoba
menyurvei potensi wisata selam bekerjasama dengan komunitas penyelam Universitas
Gajah Mada. Hasil dari survei menyatakan bahwa ekosistem Papuma masih sangat
terjaga dan alami. Ini ditandai dengan kemunculan ikan-ikan langka yang
berfungsi sebagai indikator keutuhan ekosistem dan habitat laut. Namun karena
secara fisik perairan laut selatan tergolong berbahaya bagi penyelaman, maka
rekomendasi sementara untuk melakukan penyelaman di Tanjung Papuma haruslah
penyelam yang profesional, mengingat arus gelombang cukup deras dan banyak
putaran arus bawah.
Fasilitas
di Papuma cukup lengkap. Selain, areal parkir yang luas, tersedia pula jalan
lintas dan pendakian, tempat Istirahat/balairung, rumah makan yang menyediakan
menu ikan bakar khas Papuma, kios souvenir, shelter,
gazebo, playground, MCK, listrik/air,
musholla, perahu, dan bumi perkemahan. Saat saya berkunjung, tampak beberapa
pelajar berseragam pramuka beramai-ramai menggulung tenda. Rupanya kegiatan
perkemahan mereka baru saja usai.
Ada dua wahana wisata yang baru
dikembangkan di Papuma, yaitu Papuma Tree Canopy Rail
dan sirkuit ATV. Papuma Tree Canopy Rail
adalah sebuah wahana petualangan berupa beberapa rumah pohon yang saling
terhubung oleh jembatan gantung di atas ketinggian 12 meter dari tanah. Keunikan
wahana petualangan ini, untuk mencapai kanopi atau tajuk pengunjung akan
menaiki tangga berkelok, tetapi pada saat turun pengunjung harus melalui flying fox sepanjang 50 meter. Dengan
membayar Rp 25.000 per orang, pengunjung bisa menikmati wahana ini. Sedang
untuk fasilitas ATF, tarif yang dikenakan berkisar Rp 15.000 hingga Rp 500.000,
tergantung waktu sewa. Fasilitas ini pun tak kalah seru dengan Papuma Tree Canopy Rail. Rintangan-rintangan buatan
seperti genangan air, tanjakan, tikungan dan turunan tajam, akan menimbulkan
sensasi ber-ATV seperti di alam bebas.
Lanskap Papuma dari Siti Hinggil
Menjelang pulang, saya dan
rombongan berpiknik di sisi Papuma yang lain. Dengan menggelar tikar di bawah
naungan pepohonan, kami menikmati keasrian Papuma sambil melahap bekal makanan
dari rumah. Deretan tanaman pandan laut yang memagari tepian pantai menyembunyikan
keberadaan kami. Tak heran jika banyak pasangan menjadikan sudut-sudut Papuma
yang tersembunyi dan sepi ini sebagai tempat favorit untuk memadu kasih. Karena
itulah pihak pengelola memasang papan berisi himbauan dilarang berbuat asusila
di beberapa tempat serupa.
Tak jauh dari lokasi piknik saya
dan rombongan, berdiri sebuah menara di atas bukit yang dinamakan Siti Hinggil.
Sayang, lagi-lagi saya tidak punya kesempatan untuk naik kesana. Konon
pemandangan seluruh Tanjung Papuma dari Siti Hinggil tampak lebih menawan.
Pulau karang terjauh yang dinamakan Nusa Barong pun terlihat jelas dari tempat
ini.
Hari beranjak sore. Saya melepaskan pandangan ke barisan
perahu nelayan di ujung lain Papuma. Biasanya Beberapa jam menjelang matahari
terbenam, puluhan nelayan tampak menepikan perahu dan jaringnya. Hasil
tangkapan mereka berupa ikan kerapu, putihan, kakap, tongkol, baronang, dan
tuna, dapat langsung dibeli dan dibakar di atas perapian alam dari
ranting-ranting kayu kering di tepi pantai.
Saya dan rombongan beranjak
pulang, tetapi masih ada rasa penasaran yang saya simpan untuk Papuma. Karena
itu saya bertekad, suatu saat saya harus kembali ke pantai ini lagi.
Naik Apa, Habis Berapa?
Bagi pelancong yang berangkat
dari Jakarta bisa memilih memanfaatkan transportasi udara atau darat. Untuk
jalur udara, pilih penerbangan menuju Surabaya. Sedangkan untuk jalur darat
bisa menggunakan kereta tujuan Surabaya.
Harga normal tiket pesawat dari Jakarta biasanya tidak lebih dari Rp 500 ribu.
Sedangkan kereta api, yang kelas eksekutif tidak lebih dari Rp 300 ribu.
Surabaya-Jember bisa ditempuh dengan menyewa mobil atau naik bis umum secara
estafet jika sendirian. Biaya transport dengan bis patas hanya Rp 50 ribu per
orang sampai terminal Jember. Jika berminat menginap, di kawasan Papuma
tersedia tempat penginapan dengan kisaran harga per malam sekitar Rp 250 ribu.
Mengenai makanan, sekali makan di rumah makan sekitar Papuma dengan menu ikan
bakar dibandrol dengan harga Rp 30—60 ribu per orang.
*Tulisan ini dimuat di Koran Republika Selasa, 2 Oktober 2012, dengan beberapa editan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊