Ada
satu tempat yang sangat ingin saya datangi setiap pulang kampung, yaitu
sebuah kolam pemandian alam yang dikenal dengan nama Selokambang. Jika
tidak mampir kesana, rasanya ada yang kurang. Ya, meski di kota
kelahiran saya saat ini banyak dibuka pemandian baru yang lebih modern,
tempat-tempat itu tak mampu mengalihkan pesona Selokambang dari daftar kunjungan saya.
Saya lahir dan besar di Lumajang, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang mungkin tidak terbaca dalam peta. Empat tahun lalu saya menetap di Samarinda, Kalimantan Timur. Sebagai seorang perantau, saya selalu merindukan banyak hal ketika pulang kampung, salah satunya berendam sepuasnya di Selokambang.
Nama Selokambang terbentuk dari dua kata, yaitu selo yang berarti batu dan kambang atau kumambang yang
berarti apung. Konon pemandian ini terbentuk dari peristiwa ajaib yang
terjadi pada jaman Majapahit. Alkisah, Mpu Teposono yang sakti berniat
membantu seorang abdi Demang Ploso untuk menyelamatkan harta benda Sang
Demang yang berhasil melarikan diri saat peperangan. Abdi itu hendak
menyembunyikan harta sang majikan di bawah sebongkah batu besar. Karena
sangat berat, dengan kesaktiannya Mpu Teposono melempar batu itu ke
tengah danau. Anehnya, batu itu tidak tenggelam, tetapi mengapung. Sejak
saat itulah tempat itu dinamakan Selokambang.
Pemandian
alam Selokambang terletak di Desa Purwosono, 7 km dari pusat kota. Ada
banyak pilihan kendaraan untuk menuju kesana, seperti kendaraan pribadi,
angkot, ojek, atau kereta sewaan yang bisa mengangkut puluhan orang.
Hari
itu berkendara motor saya ke Selokambang. Hampir setahun saya tidak
berkunjung. Jalanan yang mulus membuat saya berani agak ngebut.
Setelah
gerbang ‘Selamat Datang’, jalanan menuju pemandian melandai.
Pemandangan eksotis Selokambang mulai terlihat dari sini. Kanan kiri
jalan dipenuhi sawah yang di tepiannya mengalir sungai berair bersih.
Tak jarang penduduk setempat menggunakannya untuk memandikan ternak
mereka.
Aura
kesejukan mulai terasa ketika dari jalan landai itu juga mata saya
menangkap danau kecil di samping kolam Selokambang. Danau ini seperti
telaga. Berair tenang. Di tengahnya tumbuh beberapa pohon yang menaungi
permukaan danau dari sengatan matahari. Tampak pula
beberapa sepeda air aneka bentuk yang diparkir di tepian danau. Ada
bentuk bebek, katak, dan naga. Biasanya sepeda air itu beroperasi saat
libur hari-hari besar. Dengan merogoh lima ribu rupiah, pengunjung bisa
berkeliling danau dengan sepeda air itu. Saya pernah bertanya kepada
petugasnya, kenapa hari-hari biasa tidak dijalankan? “Rugi mbak, kalau
pengunjungnya cuma sedikit,” kilah petugas tersebut.
Saya
segera memarkir motor di tempat parkir yang diteduhi banyak pohon
besar. Kemudian membeli tiket masuk seharga tiga ribu rupiah saja. Tiket
ini nominalnya berubah menjadi lima ribu rupiah jika hari libur.
Selokambang adalah pemandian alam biasa. Tidak ada waterboom atau aneka fasilitas meriah ala waterpark
di kota-kota besar. Hanya ada dua papan luncur di kolam dewasa, dan
satu di kolam anak. Tempat bilasnya pun sederhana, masih ada tempat
bilas yang dilengkapi bak air dan wc. Beda dengan kolam modern, yang
kebanyakan memakai shower untuk berbilas. Dasar kolam utama juga
tidak berkeramik. Ketika kita menyelam, akan terlihat batu-batu kecil
yang memenuhi dasar kolam. Waktu saya kecil, kolam anak juga seperti
itu. Tetapi sekarang sudah dirombak total.
Namanya
pemandian alam, tentu saja airnya alami. Ya, air kolam Selokambang
bukan dari PDAM, melainkan dari mata air yang memancar di bawah pohon
beringin yang terdapat di kawasan itu. Airnya dibiarkan mengalir
sepanjang waktu, jernih tanpa kaporit. Terbayang kan segarnya?
Hari
itu tak sampai satu jam saya di kolam. Bukannya apa, berendam di
Selokambang rasanya seperti berendam di air es, lama-lama bisa beku, ha
ha ha.
Untuk
menghalau dingin, saya membeli sepiring tahu petis panas lengkap dengan
sejumput garam, cabe rawit, dan sambal petisnya. Makanan ringan yang
dijual lima ratus rupiah per biji ini terasa sangat nikmat saat disantap
di pinggir kolam. Atau dengan cara separuh badan terendam di kolam. Nyam nyam nyam,
rasa pedas panas tahu petis membuat saya berani nyebur lagi ke kolam!
Momen seperti inilah yang tidak bisa dijumpai di pemandian lain. Kalau
di pemandian lain, mana boleh makan-makan di pinggir kolam? Boro-boro
boleh, ketahuan mau bawa makanan ke dalam saja langsung distop sama
petugas.
Meski
warung apung yang menjual berbagai makanan berjejer di tepi kolam, saya
tetap memilih tahu petis sebagai pengganjal perut. Entahlah, tahu dan
petisnya seperti bercita rasa khas, beda dengan yang dijual di tempat
lain. Terselip sensasi yang ngangenin di setiap gigitannya. Ya,
tahu petis ini sudah terlanjur lekat dengan Selokambang. Keduanya
merupakan perpaduan yang tak terpisahkan. Saya berpendapat, tidak afdol
berkunjung ke Selokambang tanpa makan tahu petis.
Selokambang
merupakan ikon kota Lumajang selain pisang agung. Kalau berkunjung ke
Lumajang, jangan lupa mampir ke pemandian Selokambang ya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊