Translate

Jumat, 08 Mei 2015

Ende, Si Cantik di Timur Indonesia



Pesawat yang membawa saya dari Surabaya bersiap turun dari langit Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat itu jarum jam sudah menunjuk pukul 21.00 WITA. Sesaat sebelum mendarat di bandara Eltari Kupang, dari jendela pesawat saya melongokkan kepala sebentar ke bawah. Ibukota provinsi NTT ini tak sebenderang Surabaya di malam hari. Gemerlap lampu hanya terlihat menyala satu-satu.

Esoknya, dengan pesawat Cassa 212 yang hanya bisa memuat sekitar 25 orang saja, saya melanjutkan perjalanan ke Ende. Dari udara, kota kecil dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Pulau Flores itu memunyai pemandangan yang sangat menakjubkan. Gunung, perbukitan, dan bentangan pantai berair biru mampu menyejukkan mata saya yang kelelahan.
Tiba di bandara H. Aroeboesman Ende, beberapa tukang ojek menghampiri saya dan suami untuk menawarkan jasa.  Ya, bukan taksi, tapi ojek! Sambil menenteng tas dan barang bawaan lainnya, kami menggeleng halus.
Bandara ini sepi sekali. Luasnya pun tak ada setengah dari bandara Juanda atau bandara internasional lainnya. Tidak ada pesawat-pesawat besar yang singgah. Setelah menurunkan penumpang, pesawat kecil jenis Cassa 212, jenis fokker, atau jenis ATR 42, biasanya langsung terbang lagi dengan penumpang baru. Tidak perlu parkir terlebih dahulu. Di kejauhan, dua orang kawan menyambut kedatangan kami.

Jejak Bersejarah
Saya mengenal nama Ende dari buku-buku terbitan Nusa Indah, sebuah penerbit di kota Ende yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Pemandangan menarik pertama yang saya lihat disini adalah rumah makan yang pintunya bertirai, sehingga apa yang ada di dalam tidak terlihat dari luar. Bagi saya ini unik. Hal menarik lainnya adalah banyaknya rumah makan Padang yang bertebaran di sepanjang jalan raya. Bisa dibilang, rumah makan Padang berkuasa disini.
Menelusuri Ende adalah menapak tilas jejak Soekarno di pulau Flores. Sebuah rumah di kelurahan Kotaratu yang dulunya merupakan rumah pengasingan presiden pertama RI itu, masih terawat dengan baik. Saat bertandang kesana, kami berdua menjadi satu-satunya pengunjung. Ini sangat menguntungkan, karena kami bisa puas menanyakan banyak hal kepada penjaga museum.


Bangunan rumah pengasingan Bung Karno di Ende ini sekaligus menjadi museum. Di dalamnya tersimpan peninggalan-peninggalan beliau selama ‘dibuang’ ke Flores antara tahun 1934—1938. Bangunan rumah ini memang tak semegah museum Soekarno di Blitar. Bahkan dari depan tampak seperti rumah biasa. Kalau tidak ada plang papan nama, mungkin kami juga tidak tahu kalau bangunan itu adalah bangunan bersejarah. Meski demikian, koleksi barang-barang peninggalan Bung Karno di sini lumayan lengkap. Ada setrika arang, buku naskah drama karya Bung Karno yang ditulis tangan, foto-foto dokumentasi, barang pecah belah yang digunakan Bung Karno dan keluarga untuk makan sehari-hari, bahkan ada pena dan tempat tintanya. Melihat benda-benda kuno itu, pikiran saya seolah terbang ke masa lampau.
Rumah pengasingan itu berusia lebih dari setengah abad. Penjaga tempat itu bercerita, rumah tersebut sebenarnya sudah beberapa kali direnovasi, namun tidak sampai mengubah aslinya. Ditemani si penjaga, kami berkeliling melihat dapur, tempat ‘semedi’ Bung Karno, sumur yang digali oleh beliau sendiri, juga ke kamar utama. Sebuah ranjang kuno masih berdiri kokoh di dalamnya.
Setelah dari rumah pengasingan, kami melanjutkan kunjungan ke situs sejarah Bung Karno lainnya. Tepat di samping lapangan Perse Ende, sebuah pohon sukun berdiri di area taman. Dulu setiap sore selepas solat Ashar atau di tengah malam sampai subuh, Bung Karno sering duduk merenung di bawah pohon itu sambil memandang pantai di hadapannya. Hasil renungannya adalah Pancasila yang menjadi dasar NKRI hingga kini. 




Pohon sukun yang asli sebenarnya sudah tumbang pada tahun 1960-an. Lalu pemerintah setempat melakukan penanaman ulang sebanyak dua kali karena tanam ulang yang pertama mati. Hasil tanam ulang yang kedua—yang hidup hingga saat ini—tumbuh subur dan bercabang lima. Cabang tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai perwujudan lima sila Pancasila. Sekeliling pohon sukun itu diberi pagar. Di sampingnya berdiri tegak patung Soekarno yang dilapisi warna emas. Tingginya sekitar 3 meter. Sama seperti saat memandang foto atau lukisan Bung Karno, saya pun menangkap aura kharismatik beliau pada patung itu.

Pantai dan Wisata Bahari
Pantai-pantai di Ende nyaris terdapat di setiap sudut kota. Salah satu yang terjangkau dari jantung kota adalah Bita Beach. Sebagai pengagum pantai, menyaksikan matahari terbit atau tenggelam bagi saya sudah biasa. Di Bita Beach, di sela waktu menanti sunrise atau sunset, berkali-kali pesawat melintas di atas kepala saya dengan jarak dekat. Ini luar biasa. Kebetulan letak pantai ini bersebelahan dengan bandara.


Saya menyusuri tepian pantai berpasir lembut itu sembari mengumpulkan kerang-kerang cantik dan batu karang kecil yang antik, melihat perahu nelayan yang mengapung di tengah laut, dan bermain air di sela ombak yang mengalir tenang. Sesekali sampah dari tengah laut terbawa`ke tepi. Di sisi Bita Beach yang lain tampak beberapa pemuda bermain bola. Ada pula yang asyik berenang.
“Ikan ko?” seorang nelayan setempat menyodori saya ikan barbara segar berukuran besar.
“Tidak, terima kasih,” saya menggeleng cepat. Di pantai ini memang sering dijumpai para nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya sesaat setelah mereka merapatkan perahu. Bukan hanya di sekitar pantai, di jalan-jalan pun demikian. Dengan menenteng timba atau memanggul bambu yang digantungi beberapa ikat ikan di ujung-ujungnya, mereka menjajakan hasil laut mereka dari rumah ke rumah sambil berteriak, “Ikan…ikan…!!!”

  pasar ikan Ende
Ende memang surganya ikan laut segar. Di pasar ikan yang langsung menghadap ke laut, puluhan lapak ikan berebut pembeli. Semua jenis ikan ada disana. Satu yang tidak saya jumpai, yaitu udang. Ternyata untuk membeli udang harus memesan dari Kupang. Harganya pun cukup mahal. Pedagang udang biasanya seminggu sekali datang.
Salah satu pantai yang dikomersilkan (untuk masuk ke pantai harus membeli karcis dulu) adalah Pantai Ende Ceria. Dibanding pantai lain, pantai itu memang lebih terawat, ada fasilitas tempat duduk berpayung, serta dilengkapi kafe dan taman kecil.
Di jantung kota Ende terdapat museum bahari yang dikelola seorang pendeta. Di museum itu kita bisa melihat ratusan koleksi ‘rumah’ kerang, binatang-binatang laut yang diawetkan, terumbu karang, tulang ikan paus dan ikan-ikan lain. Semua yang berhubungan dengan kehidupan laut ada di sini. Tempatnya kecil sih, tapi koleksinya lumayan lengkap.

Pesona Danau Tiga Warna
Ke Ende ‘belum sah’ kalau tidak menjejakkan kaki ke Danau Kelimutu. Danau yang memiliki tiga warna yang bisa berubah-ubah itu terletak di puncak gunung Kelimutu. Dari pusat kota, danau ini berjarak sekitar 62 kilometer. Sebaiknya kesana pada pagi hari, karena menjelang siang biasanya kabut mulai menutupi puncak gunung yang tingginya 1.639 meter itu.
Dalam keadaan hamil besar, saya nekat mendaki gunung yang terletak di desa Pemo itu. Tanjakan demi tanjakan, tangga demi tangga, terasa seperti jalan lurus bagi saya. Meski agak khawatir, akhirnya saya berhasil sampai sana tanpa terjadi apa-apa. Rasa haru dan takjub tiba-tiba menyergap ketika dengan mata kepala sendiri saya bisa melihat danau yang termasuk salah satu keajaiban dunia itu. Subhanallah,  spektakuler!


 jalan menuju ke kelimutu
Danau Kelimutu terdiri dari tiga danau yang berbeda warna. Di sekitar danau, saya membaca beberapa papan yang menuliskan legenda dan mitos danau yang dianggap keramat oleh masyarakat Ende ini. Danau yang berwarna merah bernama Tiwu Ata Polo, tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama hidup selalu melakukan kejahatan/tenung; danau yang berwarna putih bernama Tiwu Ata Mbupu,  tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal;  dan danau yang berwarna biru bernama Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi yang telah meninggal.
Saat berkunjung kesana, dua diantara tiga danau tampak hitam dan kecoklatan. Dua tahun lalu Kelimutu pernah berubah menjadi satu warna. Masyarakat setempat meyakini, jika Kelimutu berubah warna, maka itu adalah pertanda buruk. Percaya atau tidak, setelah kejadian itu beberapa daerah di Indonesia mengalami gempa.
Objek wisata lain  di sekitar Kelimutu diantaranya air terjun Kedebodu, belut sakti Wolotolo, kebun contoh Detu Bapa, air panas Ae Oka Detusoko, gua Maria Lourdes Detusoko, kampung adat Wologai, mumi kaki More Wolondopo, sawah bertingkat Waturaka, Perikonde, rumah adat dan tenun ikat Pemo, serta masih banyak lagi objek wisata menarik lainnya yang bisa dikunjungi jika Anda melancong ke Ende.
Kunjungan saya ke Kelimutu mengakhiri petualangan saya di pulau Flores. Sebelum meninggalkan Ende, saya membeli beberapa lembar kain tenun ikat Ende yang khas dari daerah itu. Kain ini handmade, ditenun manual tanpa mesin, memakai pewarna alami, coraknya pun berlainan. Tak heran jika harganya sangat mahal. Kain yang berbentuk syal saja dijual antara 15—30 ribu, lalu yang seukuran taplak meja dijual antara 25—35 ribu. Kalau beli meteran, harganya disesuaikan dengan kualitas kain dan motifnya, berkisar antara 200—500 ribu per meternya. Kalau bisa menawar, pasti bisa dapat murah.


Mencuci kain ini tidak boleh sembarangan, agar warnanya tidak cepat pudar. Sebaiknya cuci kain ini dengan sampo, jangan memakai deterjen. Sebaiknya lagi, kain ini jangan sering-sering dicuci. Cukup sebulan sekali biar kainnya awet [RF. Dhonna]

*Tulisan ini dimuat di Majalah Sekar edisi 110/13, 29 Mei-12 Juni 2013

2 komentar:

  1. Sayang Majalah Sekar sekarang sudah almarhum.
    Alhamdulillah Indonesia sungguh Indah.Mupeng ke Ende. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hiyo mbak, mangkane iki takaplot, kenang-kenangan teko Majalah
      Sekar, hehe... Alhamdulillah, meski usiane pendek banget, sempat menorehkan jejak nang kunu, hehehe

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊