Pesawat yang membawa saya
dari Surabaya bersiap turun dari langit Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saat itu jarum jam sudah menunjuk pukul 21.00 WITA. Sesaat sebelum mendarat di
bandara Eltari Kupang, dari jendela pesawat saya melongokkan kepala sebentar ke
bawah. Ibukota provinsi NTT ini tak sebenderang Surabaya di malam hari.
Gemerlap lampu hanya terlihat menyala satu-satu.
Esoknya, dengan pesawat Cassa 212 yang hanya bisa memuat sekitar
25 orang saja, saya melanjutkan perjalanan ke Ende. Dari udara, kota kecil
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Pulau Flores itu memunyai pemandangan
yang sangat menakjubkan. Gunung, perbukitan, dan bentangan pantai berair biru mampu
menyejukkan mata saya yang kelelahan.
Tiba di bandara H.
Aroeboesman Ende, beberapa tukang ojek menghampiri saya dan suami untuk
menawarkan jasa. Ya, bukan taksi, tapi
ojek! Sambil menenteng tas dan barang bawaan lainnya, kami menggeleng halus.
Bandara ini sepi sekali.
Luasnya pun tak ada setengah dari bandara Juanda atau bandara internasional
lainnya. Tidak ada pesawat-pesawat besar yang singgah. Setelah menurunkan
penumpang, pesawat kecil jenis Cassa 212, jenis fokker, atau
jenis ATR 42, biasanya langsung terbang lagi dengan penumpang baru.
Tidak perlu parkir terlebih dahulu. Di kejauhan, dua orang kawan menyambut
kedatangan kami.
Jejak
Bersejarah
Saya mengenal nama Ende dari
buku-buku terbitan Nusa Indah, sebuah penerbit di kota Ende yang sudah ada
sebelum Indonesia merdeka. Pemandangan menarik pertama yang saya lihat disini
adalah rumah makan yang pintunya bertirai, sehingga apa yang ada di dalam tidak
terlihat dari luar. Bagi saya ini unik. Hal menarik lainnya adalah banyaknya
rumah makan Padang yang bertebaran di sepanjang jalan raya. Bisa dibilang,
rumah makan Padang berkuasa disini.
Menelusuri Ende adalah
menapak tilas jejak Soekarno di pulau Flores. Sebuah rumah di kelurahan
Kotaratu yang dulunya merupakan rumah pengasingan presiden pertama RI itu, masih
terawat dengan baik. Saat bertandang kesana, kami berdua menjadi satu-satunya
pengunjung. Ini sangat menguntungkan, karena kami bisa puas menanyakan banyak
hal kepada penjaga museum.
Bangunan rumah pengasingan
Bung Karno di Ende ini sekaligus menjadi museum. Di dalamnya tersimpan peninggalan-peninggalan
beliau selama ‘dibuang’ ke Flores antara tahun 1934—1938. Bangunan rumah ini
memang tak semegah museum Soekarno di Blitar. Bahkan dari depan tampak seperti
rumah biasa. Kalau tidak ada plang papan nama, mungkin kami juga tidak tahu kalau
bangunan itu adalah bangunan bersejarah. Meski demikian, koleksi barang-barang
peninggalan Bung Karno di sini lumayan lengkap. Ada setrika arang, buku naskah
drama karya Bung Karno yang ditulis tangan, foto-foto dokumentasi, barang pecah
belah yang digunakan Bung Karno dan keluarga untuk makan sehari-hari, bahkan
ada pena dan tempat tintanya. Melihat benda-benda kuno itu, pikiran saya seolah
terbang ke masa lampau.
Rumah pengasingan itu
berusia lebih dari setengah abad. Penjaga tempat itu bercerita, rumah tersebut
sebenarnya sudah beberapa kali direnovasi, namun tidak sampai mengubah aslinya.
Ditemani si penjaga, kami berkeliling melihat dapur, tempat ‘semedi’ Bung Karno,
sumur yang digali oleh beliau sendiri, juga ke kamar utama. Sebuah ranjang kuno
masih berdiri kokoh di dalamnya.
Setelah dari rumah
pengasingan, kami melanjutkan kunjungan ke situs sejarah Bung Karno lainnya.
Tepat di samping lapangan Perse Ende, sebuah pohon sukun berdiri di area taman.
Dulu setiap sore selepas solat Ashar atau di tengah malam sampai subuh, Bung
Karno sering duduk merenung di bawah pohon itu sambil memandang pantai di
hadapannya. Hasil renungannya adalah Pancasila yang menjadi dasar NKRI hingga
kini.
Pohon sukun yang asli
sebenarnya sudah tumbang pada tahun 1960-an. Lalu pemerintah setempat melakukan
penanaman ulang sebanyak dua kali karena tanam ulang yang pertama mati. Hasil
tanam ulang yang kedua—yang hidup hingga saat ini—tumbuh subur dan bercabang
lima. Cabang tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai perwujudan lima sila
Pancasila. Sekeliling pohon sukun itu diberi pagar. Di sampingnya berdiri tegak
patung Soekarno yang dilapisi warna emas. Tingginya sekitar 3 meter. Sama
seperti saat memandang foto atau lukisan Bung Karno, saya pun menangkap aura
kharismatik beliau pada patung itu.
Pantai
dan Wisata Bahari
Pantai-pantai di Ende nyaris
terdapat di setiap sudut kota. Salah satu yang terjangkau dari jantung kota
adalah Bita Beach. Sebagai pengagum
pantai, menyaksikan matahari terbit atau tenggelam bagi saya sudah biasa. Di Bita Beach, di sela waktu menanti sunrise atau sunset, berkali-kali pesawat melintas di atas kepala saya dengan
jarak dekat. Ini luar biasa. Kebetulan letak pantai ini bersebelahan dengan
bandara.
Saya menyusuri tepian pantai
berpasir lembut itu sembari mengumpulkan kerang-kerang cantik dan batu karang
kecil yang antik, melihat perahu nelayan yang mengapung di tengah laut, dan
bermain air di sela ombak yang mengalir tenang. Sesekali sampah dari tengah
laut terbawa`ke tepi. Di sisi Bita Beach
yang lain tampak beberapa pemuda bermain bola. Ada pula yang asyik berenang.
“Ikan ko?” seorang nelayan setempat menyodori saya ikan barbara segar
berukuran besar.
“Tidak, terima kasih,” saya
menggeleng cepat. Di pantai ini memang sering dijumpai para nelayan yang
menjual ikan hasil tangkapannya sesaat setelah mereka merapatkan perahu. Bukan
hanya di sekitar pantai, di jalan-jalan pun demikian. Dengan menenteng timba
atau memanggul bambu yang digantungi beberapa ikat ikan di ujung-ujungnya,
mereka menjajakan hasil laut mereka dari rumah ke rumah sambil berteriak,
“Ikan…ikan…!!!”
pasar ikan Ende |
Ende memang surganya ikan
laut segar. Di pasar ikan yang langsung menghadap ke laut, puluhan lapak ikan
berebut pembeli. Semua jenis ikan ada disana. Satu yang tidak saya jumpai,
yaitu udang. Ternyata untuk membeli udang harus memesan dari Kupang. Harganya
pun cukup mahal. Pedagang udang biasanya seminggu sekali datang.
Salah satu pantai yang
dikomersilkan (untuk masuk ke pantai harus membeli karcis dulu) adalah Pantai
Ende Ceria. Dibanding pantai lain, pantai itu memang lebih terawat, ada
fasilitas tempat duduk berpayung, serta dilengkapi kafe dan taman kecil.
Di jantung kota Ende
terdapat museum bahari yang dikelola seorang pendeta. Di museum itu kita bisa
melihat ratusan koleksi ‘rumah’ kerang, binatang-binatang laut yang diawetkan,
terumbu karang, tulang ikan paus dan ikan-ikan lain. Semua yang berhubungan
dengan kehidupan laut ada di sini. Tempatnya kecil sih, tapi koleksinya lumayan lengkap.
Pesona
Danau Tiga Warna
Ke Ende ‘belum sah’ kalau
tidak menjejakkan kaki ke Danau Kelimutu. Danau yang memiliki tiga warna yang
bisa berubah-ubah itu terletak di puncak gunung Kelimutu. Dari pusat kota,
danau ini berjarak sekitar 62 kilometer. Sebaiknya kesana pada pagi hari,
karena menjelang siang biasanya kabut mulai menutupi puncak gunung yang
tingginya 1.639 meter itu.
Dalam keadaan hamil besar,
saya nekat mendaki gunung yang terletak di desa Pemo itu. Tanjakan demi
tanjakan, tangga demi tangga, terasa seperti jalan lurus bagi saya. Meski agak
khawatir, akhirnya saya berhasil sampai sana tanpa terjadi apa-apa. Rasa haru
dan takjub tiba-tiba menyergap ketika dengan mata kepala sendiri saya bisa
melihat danau yang termasuk salah satu keajaiban dunia itu. Subhanallah,
spektakuler!
jalan menuju ke kelimutu |
Danau Kelimutu terdiri dari
tiga danau yang berbeda warna. Di sekitar danau, saya membaca beberapa papan
yang menuliskan legenda dan mitos danau yang dianggap keramat oleh masyarakat
Ende ini. Danau yang berwarna merah bernama Tiwu
Ata Polo, tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan
selama hidup selalu melakukan kejahatan/tenung; danau yang berwarna putih
bernama Tiwu Ata Mbupu, tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang
telah meninggal; dan danau yang berwarna
biru bernama Tiwu Nuwa Muri Koo Fai,
tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi yang telah meninggal.
Saat berkunjung kesana, dua
diantara tiga danau tampak hitam dan kecoklatan. Dua tahun lalu Kelimutu pernah
berubah menjadi satu warna. Masyarakat setempat meyakini, jika Kelimutu berubah
warna, maka itu adalah pertanda buruk. Percaya atau tidak, setelah kejadian itu
beberapa daerah di Indonesia mengalami gempa.
Objek wisata lain di
sekitar Kelimutu diantaranya air terjun Kedebodu, belut sakti Wolotolo, kebun
contoh Detu Bapa, air panas Ae Oka Detusoko, gua Maria Lourdes Detusoko,
kampung adat Wologai, mumi kaki More Wolondopo, sawah bertingkat Waturaka,
Perikonde, rumah adat dan tenun ikat Pemo, serta masih banyak lagi objek wisata
menarik lainnya yang bisa dikunjungi jika Anda melancong ke Ende.
Kunjungan saya ke Kelimutu
mengakhiri petualangan saya di pulau Flores. Sebelum meninggalkan Ende, saya
membeli beberapa lembar kain tenun ikat Ende yang khas dari daerah itu. Kain
ini handmade, ditenun manual tanpa mesin, memakai pewarna alami, coraknya
pun berlainan. Tak heran jika harganya sangat mahal. Kain yang berbentuk syal
saja dijual antara 15—30 ribu, lalu yang seukuran taplak meja dijual antara
25—35 ribu. Kalau beli meteran, harganya disesuaikan dengan kualitas kain dan
motifnya, berkisar antara 200—500 ribu per meternya. Kalau bisa menawar, pasti
bisa dapat murah.
Mencuci kain ini tidak boleh
sembarangan, agar warnanya tidak cepat pudar. Sebaiknya cuci kain ini dengan
sampo, jangan memakai deterjen. Sebaiknya lagi, kain ini jangan sering-sering
dicuci. Cukup sebulan sekali biar kainnya awet [RF. Dhonna]
*Tulisan ini dimuat di Majalah Sekar edisi 110/13, 29 Mei-12 Juni 2013
Sayang Majalah Sekar sekarang sudah almarhum.
BalasHapusAlhamdulillah Indonesia sungguh Indah.Mupeng ke Ende. :)
hiyo mbak, mangkane iki takaplot, kenang-kenangan teko Majalah
HapusSekar, hehe... Alhamdulillah, meski usiane pendek banget, sempat menorehkan jejak nang kunu, hehehe