Translate

Jumat, 28 November 2014

Menjelajahi Bromo, Ijen, dan G-land dalam 3 Hari (4--Tamat) *




Tulisan ini adalah episode terakhir (cieh) dari kisah petualangan saya menjelajahi Bromo, Ijen, dan G-land. Tulisan terakhir ini kebetulan dimuat di rubrik Jalan-jalan Leisure Koran Republika dengan judul Sehari Bertualang di Alas Purwo. Jadi sekalian deh, saya post disini. Karena lokasi G-land termasuk dalam kawasan Alas Purwo, saya nggak secara khusus membahas si G-land aja, tetapi Alas Purwo secara keseluruhan.  Oiya, episode sebelumnya bisa dibaca disini, disini, dan disini. Selamat membaca! ^^

Day 3: Alas Purwo plus G-Land


 Penampakan tulisan yang dimuat di Republika
Mei lalu, saya berkesempatan jalan-jalan gratis ke Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Saya dan rombongan masuk melalui Pos Bedul Grajagan. Disini terdapat segara anak dan hutan mangrove terbesar se-Asia. Kami menyeberang dengan perahu kayu yang disebut gondang-gandung menuju daratan di seberang pintu masuk Pos Bedul. 

pose sebentar di depan plakat Pos Bedul ^^

Sesampainya di seberang, beberapa ekor monyet menyambut kedatangan kami. Berhati-hatilah jika membawa tentengan seperti kantong keresek berisi makanan atau kamera. Monyet-monyet yang berkeliaran di sekitar kawasan itu sangat agresif menyambar apapun yang ditenteng pengunjung. Demi keamanan, sebelum turun dari perahu, sebaiknya segera masukkan segala bentuk tentengan ke dalam tas ransel.

Sebuah land cruiser tua yang kondisinya rusak berat sudah menunggu kami. Mobil inilah yang akan membawa kami bertualang menyusuri  Alas Purwo. Setelah sopir menata ransel-ransel kami di kap mobil, petualangan pun dimulai. 

Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan hutan tropis alami tertua di Pulau Jawa. Luas taman nasional yang berlokasi di ujung selatan Provinsi Jawa Timur ini mencapai 43.420 hektar. Ada sekitar 580 jenis tanaman yang berhasil diidentifikasi di hutan ini. Diantaranya pohon jati, sawo kecik, dan bambu. Selain itu, terdapat pula aneka satwa liar seperti rusa, burung merak, monyet, dll. Mobil yang kami tumpangi beberapa kali berhenti mendadak karena ada burung merak melintas. Seru!

Sopir land cruiser tua mengemudi dengan kecepatan penuh. Di sisi kanan dan kiri, aneka pepohonan tumbuh menjulang. Jalanan yang membelah hutan lebat itu masih makadam. Alhasil, tubuh kami pun terguncang-guncang, terpelanting kesana-kemari sepanjang perjalanan. Tiba-tiba saya membayangkan perjalanan di malam hari. Keadaan sekitar yang masih gelap serta cerita-cerita mistis seputar Alas Purwo, pasti akan membuat perjalanan terasa sangat menegangkan.

Mampir ke Penangkaran Ngagelan dan Sadengan
Rangkaian petualangan kami diawali dengan kunjungan singkat ke penangkaran penyu di Ngagelan. Disini kami menyaksikan tukik-tukik lucu yang siap dilepas ke pantai. 

Penyu yang ada di penangkaran ini adalah jenis penyu lekang/abu-abu, penyu sisik, penyu belimbing, dan penyu hijau. Telur-telur penyu yang ditemukan di area yang mudah diketahui predator akan dipindahkan ke area penangkaran oleh petugas. Begitu telur menetas, sebagian tukik langsung dilepas, sebagian lagi diletakkan di kolam penampungan untuk keperluan riset dan atraksi pelepasan tukik oleh wisatawan yang berkunjung. Sayang, karena terbatasnya waktu, kami urung melepas tukik.

Selanjutnya, kami beranjak ke Penangkaran Sadengan. Kawasan ini berupa padang rumput seluas 80 hektar. Antara padang rumput dan area pengunjung diberi pagar pembatas. Tempat penggembalaan buatan ini dilengkapi dengan menara pandang untuk melihat banteng, rusa, atau babi hutan yang ada di kejauhan. Saat itu, saya sempat melihat gerombolan banteng. Seorang petugas setempat meminjamkan teropong agar saya bisa mengamati banteng dengan jelas. Wah, bantengnya besar-besar!

Pasir Gotri di Parang Ireng
Perjalanan berlanjut ke Pantai Parang Ireng di daerah Resor Pancur. Resor Pancur merupakan akses lain menuju Taman Nasional Alas Purwo. Ketika menuju Pancur, kami melewati Pura Luhur Giri Salaka, pura yang berada di tengah hutan Alas Purwo. Pura ini termasuk salah satu situs peninggalan Kerajaan Majapahit. Ada banyak cerita yang beredar seputar pura suci ini. Salah satunya adalah cerita saat pertama kali pura ini ditemukan warga. Ketika itu, warga yang mengambil batu bata di sekitar pura mendadak jatuh sakit. Warga pun mengembalikannya ke tempat semula. Sejak itulah masyarakat meyakini bahwa pura tersebut adalah pura suci yang harus dijaga dan dirawat. Sayang, kami tidak sempat berhenti sejenak disana. 

Pantai Parang Ireng terletak tak jauh dari pintu masuk Pancur. Dinamakan Parang Ireng karena di kawasan tersebut terdapat batu karang yang berwarna hitam (karang mati). Keunikan lain dari pantai ini adalah pasir pantainya yang berukuran besar mirip merica. Inilah yang disebut pasir gotri. Pasir gotri ini tidak akan kita temukan di pantai lain. 


Tidak ada plang khusus yang menandai pantai ini. Setelah memarkir mobil di tepi jalan, sopir rombongan memandu kami memasuki kawasan pantai melalui semak belukar. Siapapun tak akan menyangka jika di balik semak belukar ini tersembunyi sebuah pantai dengan pemandangan yang sangat memikat.

Meski berbelok beberapa menit saja di Parang Ireng, tetapi pesonanya melekat kuat di benak saya. Suasananya yang sepi membuat saya serasa di pantai pribadi! 

G-land, Surganya Para Peselancar
Petualangan kami berakhir di G-land. Mungkin banyak diantara Anda yang asing dengan nama ini. Tetapi coba saja tanyakan kepada para turis mancanegara yang hobi berselancar, mereka pasti sudah tidak asing lagi dengan G-land. Ya, G-land memang sudah tersohor di kalangan para penggemar olahraga selancar. Ombak G-land adalah ombak terbaik kedua di dunia setelah Hawai. Panjang track surfing G-land mencapai 2 km.


Sebenarnya G-land adalah nama lain untuk Pantai Plengkung. Konon, para bule-lah yang pertama kali mencetuskan nama ini. Asal mula nama G-land ini ada beberapa versi. Pertama, jika dilihat dari ketinggian, teluk Pantai Plengkung bentuknya mirip huruf G. Kedua, nama G-land diambil dari rute masuk ke lokasi yang melewati Grajakan. Ketiga, huruf G di awal kata adalah singkatan dari Great yang menggambarkan ombak Plengkung yang besar. Terakhir, huruf G di awal kata adalah singkatan dari Green yang menggambarkan lokasinya yang tak jauh dari hamparan hutan Alas Purwo.

Sejak tahun 1990-an, G-land dikelola oleh PT. Plengkung Indah Wisata. G-land dilengkapi dengan resort yang letaknya tersembunyi di tengah hutan. Beberapa satwa dibiarkan hidup bebas di sekitarnya. Saat saya menginap disana, seekor lutung tampak bergelantungan di atas pohon. Jika beruntung, kita bisa bertemu macan tutul juga, lho!

Di G-land, wisatawan bisa mencoba belajar surfing kilat kepada para mentor yang ada disana. Seandainya tidak tertarik, wisatawan dapat menyaksikan dari dekat para surfer yang sedang berselancar di tengah laut. Untuk ke tengah laut, bisa menyewa jongkong seharga Rp 350.000,00 dengan durasi waktu 2 jam. Jongkong ini mampu mengangkut empat orang. Jangan lupa siapkan kamera untuk memotret aksi para surfer yang spektakuler.

Panorama alam G-land yang memukau bisa dinikmati dari berbagai sudut. Pengelola resort menyediakan sebuah menara yang tak jauh dari resort untuk melihat G-land dari ketinggian. Saat matahari terbenam juga sayang jika tidak diabadikan. 

View sunrise di G-land tidak tertalu bagus, karena tertutup gunung. Tetapi setidaknya kita bisa menyaksikan matahari terbit pertama di Pulau Jawa. Menjelang pukul sembilan pagi, pantai G-land mulai berombak. Kita akan melihat para peselancar berseliweran menenteng papan surfing masing-masing, bersiap menantang ombak G-land yang legendaris. 

Ada hal asyik lain yang saya temukan di G-land. Ketika menyusuri pantai, saya menemukan cangkang-cangkang binatang laut yang berserakan di bibir pantai. Bentuknya unik dan lucu.
Saat makan malam, saya dan rombongan dijamu dengan barbeque di pinggir pantai. Dua sajian ikan bakar raksasa terhidang di sebuah meja. Ada juga rendang dan jagung bakar bagi yang kurang menyukai ikan. Hm, menyantap ikan bakar di tepi pantai ditemani ribuan bintang di langit, rasanya sangat nikmat.

Menjelajahi Taman Nasional Alas Purwo ternyata tak cukup hanya sehari. Banyak objek wisata lain yang terpaksa kami lewatkan, seperti wisata gua dan air terjun. Setidaknya harus menginap dua malam untuk mengeksplor semua yang ada di Alas Purwo.

Tips
1.    Untuk berkunjung ke Taman Nasional Alas Purwo dengan destinasi terakhir Pantai G-land, tersedia paket perjalanan mulai Rp 400.000,00 per malam. Paket ini sudah termasuk penjemputan dari terminal/stasiun kereta Banyuwangi, penginapan, dan makan.
2.    Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman yang cukup. Menyusuri Taman Nasional Alas Purwo yang luas dengan kendaraan bisa menghabiskan waktu 4 jam lebih.
3.    Jaga ucapan dan tingkah laku selama di Alas Purwo dan sekitarnya. Jangan merusak apapun yang terdapat disana.

*tulisan ini dimuat di Leisure Republika edisi 8 Juli 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊