Saya anak sulung dalam keluarga saya. Saat hidup seatap
dengan orangtua dan adik-adik, saya tidak pernah menyangka kelak akan terpisah
ribuan kilometer dari mereka.
Semua berawal ketika seorang lelaki—abdi negara yang
tugasnya berpindah-pindah kerja dari satu pulau ke pulau lain di seluruh
Indonesia—menikahi saya. Sebelum menikah, saya sudah memikirkan segala
konsekuensi yang akan saya hadapi. Saya HARUS SIAP mendampingi suami dimana pun
ia ditugaskan oleh negara. Itu artinya, mau tidak mau, saya HARUS SIAP
berjauhan dengan keluarga besar.
Sebenarnya saat kuliah saya sudah meninggalkan rumah dengan
segala kenyamanannya, tetapi saat itu jarak ke kampung halaman masih bisa
dijangkau dalam hitungan jam. Jadi saat tiba-tiba ingin pulang, saya bisa
langsung pergi ke terminal naik bis
antar kota.
Nah, ketika sudah bersuami, pertama kalinya saya harus rela
terdampar ke sebuah ‘pulau antah berantah’—pulau dengan penduduk, suku, adat,
dan budaya yang sama sekali asing bagi saya. Saat itu saya sedang hamil muda
dan suami saya dimutasi ke Ende, Flores. Hanya berdua saja dengan suami di
pulau seberang, jangan dikira saya nggak sedih. Saya luar biasa sedih, bahkan
stres. Setiap kali homesick melanda,
saya hanya bisa melepas rindu kepada keluarga di Lumajang melalui telepon. Maklum,
tiket pesawat Ende-Surabaya mahal.
Saat ini suami saya ditempatkan di Samarinda, Kalimantan
Timur. Pengalaman demi pengalaman, suka dan duka yang saya alami bersama suami,
menempa saya menjadi pribadi yang kuat. Ikatan suami istri pun jadi semakin
kokoh. Dibandingkan ketika di Ende, sekarang saya merasa lebih nyaman meski
berjauhan dengan orang-orang tercinta. Istilahnya, sudah nggak galau lagi ^^.
Jauh dari keluarga secara tidak langsung telah melatih saya untuk
hidup mandiri. Contohnya saat kehadiran anak pertama dan kedua. Mereka lahir
tanpa dampingan kakek neneknya. Saya dan suami juga tidak menyewa jasa pengasuh
bayi untuk merawat anak-anak, semua kami lakukan berdua. Rasanya ada kepuasan
tersendiri saat tidak merepotkan orang lain.
Jauh dari keluarga juga membuat saya dan suami memiliki
keluarga baru. Ya, perasaan senasib membuat teman-teman sesama keluarga
perantau menganggap kami seperti saudara sendiri. Misalnya saat belanja
peralatan dapur di pasar, ternyata penjualnya orang Lumajang. Karena berasal
dari daerah yang sama, saya diberi diskon hingga 50%. Setelah itu, hubungan
antar keluarga pun menjadi akrab.
Hidup berjauhan dengan keluarga besar telah memperkaya
batin saya, membuat saya belajar dan mengalami banyak hal baru. So, jauh dari keluarga?
No problem!
Semoga menang. :)
BalasHapusaamiiin...suwun mbak. ayo melu meramaikan pisan :)
HapusSaya juga baru masuk bulan ke-lima di samarinda. Awal2nya bukan kangen keluarga yg bikin ga tenang, tapi karena kurang pelesir. Maklum karena di P.Jawa mau ke pantai-gunung-laut lebih mudah dan murah ��
BalasHapusSalam kenal ya mba,
-nde