Fira
Mataku masih terpaku menatap layar laptop.
Sejam lebih aku duduk di kafe ini. Muffin
yang kupesan hangat-hangat tadi berangsur mendingin. Tak secuil pun bagiannya
kusentuh. Demikian pula dengan secangkir coklat panas favoritku.
Aku sering ke kafe ini. Duduk berjam-jam di
kursi paling pojok untuk menulis. Tapi apa yang tak
sengaja kutemukan ketika membuka facebook
mengalihkan konsentrasiku. Niat menulis perlahan menguap, berganti
penasaran yang tak berujung.
Hatiku berdenyar. Foto hasil tag di wall seorang teman mengajak jari-jariku menjelajah, dan berhenti di
facebook seseorang yang amat kukenal.
Foto keluarga besar itu melempar ingatanku ke
sepuluh tahun lampau. Aku pernah mengenal wajah-wajah yang terpampang di foto
itu: Mbak Tisha, Mbak Nita, Mas Ari, dan… Deni. Tapi, ada satu wajah yang tak
pernah kukenal, seorang wanita berkebaya putih yang berpose di sebelah Deni.
Oh, seharusnya aku yang berdiri di antara
mereka, bukan dia! Tiba-tiba
kemarahan menggelegak di dadaku. Hey, kenapa aku cemburu begini? Bukannya
kehidupanku saat ini sudah demikian sempurna? Aku bukan lagi Fira yang dulu,
yang tidak punya apa pun yang bisa dibanggakan. Sekarang aku punya semua:
popularitas, limpahan materi, rumah, mobil, apalagi?
Liana
“Fira itu mantannya Deni. Nggak nyangka,
sekarang dia bisa jadi penulis tenar. Buku-bukunya best seller lagi. Keren banget. Padahal dulu dia pemalu lho. nggak
ada tampang penulis sama sekali.” Mbak Tisha tak henti memuji Fira, mantan
calon adik iparnya yang sekarang jadi penulis itu. Pujian itu membuat telingaku
serasa terpanggang di atas bara. Tak hanya sekali ini aku mendengarnya. Bahkan
tanpa segan-segan ia membicarakan si Fira itu dengan kakak iparku yang lain
saat berkumpul di rumah mertua.
“Novel Fira yang terbaru sangat inspiratif.
Sudah baca belum?” Mbak Tisha menanyai Mas Ari yang memang seorang penggila
buku.
“Nyesel deh, kenapa dulu nggak mati-matian
membela dia ya, biar nggak jadi putus sama Deni?” Mbak Nita menimpali.
Lain waktu Mbak Tisha mengolok-olok suamiku.
“Bodoh kamu, Den. Wanita seperti Fira kamu
lepas. Coba nggak kamu lepas, pasti kita sekeluarga kecipratan jadi seleb juga
sekarang,” ujarnya enteng, seperti anak kecil yang mengolok temannya. Aku tahu
maksud Mbak Tisha hanya bercanda. Tapi menurutku ini sudah keterlaluan.
Aarrrgggh! rasanya ingin sekali meremas-remas
mulutnya! Kalau tak ingat sedang hamil, mungkin kemarahanku sudah meluap-luap!
Fira
Aku mengintip facebook wanita itu, mengamati foto-fotonya. Parasnya
cantik, kulitnya putih, tubuhnya tinggi semampai, dan pernah jadi model. Ah,
pasti Deni bangga memilikinya.
Aku termangu memandangi sebuah foto yang baru
saja diunggah. Deni bersanding dengan wanita itu di pelaminan.
Senyum keduanya merekah dalam balutan busana pengantin. Melihat tanggal
penerbitan foto itu, sepertinya mereka baru menikah.
Perasaan emosional kembali menyusupi hatiku. Memoriku
melayang pada peristiwa itu, saat tiba-tiba Deni memutuskan untuk mengakhiri
pertunangan kami tanpa alasan jelas.
Hatiku luar biasa sakit. Bukan oleh sosoknya,
tetapi karena sikapnya.
Setelah kejadian itu, hubungan kami hancur
tak bersisa. Kuputuskan untuk menutup semua akses yang bisa menghubungkan
kembali komunikasi diantara kami. Semua nomor handphone yang berkaitan dengannya, seperti nomor keluarga besar
dan teman-temannya, kuhapus dari daftar kontak selulerku.
Aku pergi dari kotaku. Aku ingin melupakan
semua dan memulai hidup baru di Jakarta.
Sesekali aku masih pulang kampung.
Sebuah kejutan datang disaat aku telah
benar-benar melupakannya. Satu malam ketika aku sedang libur panjang di rumah,
tiba-tiba Deni muncul di hadapanku. Tersenyum manis. Seolah tak pernah ada
masalah diantara kami. Oh, dunia seketika berubah. Seberkas pengharapan kembali
hadir.
Malam itu kami ngobrol panjang lebar di teras
rumah. Saat kuceritakan tentang ayah yang terkena diabetes, Deni menyatakan
simpatinya. Ia berjanji akan membantu.
Tak dinyana, ucapannya itu bukan sekedar
basa-basi. Malam
minggu setelah kunjungan sebelumnya, ia datang kembali menenteng bibit tanaman
mengkudu yang memang berkhasiat untuk menyembuhkan diabetes.
Aku melambung, dia begitu perhatian pada ayah.
“Tanam ini di depan rumah. Gampang kok
tumbuhnya,” katanya waktu itu.
Esoknya kutanam bibit itu seperti anjurannya.
Hari-hari selanjutnya, kutunggu lagi
kedatangannya. Ternyata yang kutunggu tak pernah datang lagi. Lelaki misterius
itu berhasil mengaduk-aduk perasaanku, menarik ulur hatiku seperti
layang-layang.
Aku kembali menelan kekecewaan. Benih cinta
yang kembali tumbuh terpaksa kubenamkan lagi. Tapi tidak dengan benih mengkudu
pemberiannya. Tiap hari kurawat, kusiram, hingga aku kembali lagi ke Jakarta.
Tanaman itu terus tumbuh, subur, hingga
menjadi pohon yang rimbun dan berbuah lebat. Meski
berkali-kali ditebang pohon itu tetap tumbuh menjulang.
Hingga saat ini aku masih penasaran, kenapa
sikap Deni seperti itu padaku?
Bertahun-tahun tak kudengar kabar tentangnya.
Dan hari ini aku menemukannya di dunia maya.
Liana
Aku harus segera membuka facebook suamiku. Jangan-jangan dia sudah berteman dengan Fira
disana. Pembicaraan kedua kakak iparku tempo hari membuat
hatiku kebat-kebit.
“Aku inbox
si Fira, langsung dibalas. Dia masih Fira yang dulu. Popularitas tidak
membuatnya sombong,” tukas Mbak Tisha.
“Eh, aku juga lho. Dia malah titip salam buat Deni. Ya, aku bilang, add aja si Deni-nya langsung,” komentar
Mbak Nita.
Kuketik password
suamiku. Aku bisa leluasa mengaksesnya karena dia
tidak pernah merahasiakan password akunnya
dariku. Begitu lamannya terbuka, kutemukan ada tiga permintaan pertemanan yang
belum dikonfirmasi dan tiga pesan yang belum dibuka. Sial! loading-nya sangat lambat!
Cepat-cepat kuraih handphone, mencoba mengaksesnya dari sana. Huufth…lega, ternyata semua itu
bukan dari Fira.
Fira
Siang tadi nyaris bersamaan Mbak Tisha dan Mbak
Nita mengirimiku pesan. Keduanya mengaku senang bisa bertemu lagi denganku,
meski hanya melalui facebook. Yang
membuat hatiku membuncah, keduanya pembaca setia novel-novelku! Ah,
aku merasakan kembali kehangatan yang pernah tercipta di antara kami, kehangatan
antara calon adik dan kakak ipar.
Sebaris pesan kutulis untuk Deni.
Gerakan tanganku kembali ragu-ragu, klik
kirim atau tidak? Sebenarnya isi pesan itu bukan hal penting,
hanya say hello. Tapi bukankah dari sekedar
sapaan bisa berlanjut ke hal lain, bahkan perselingkuhan?
Ah, aku terlalu membayangkan hal yang
tidak-tidak. Toh, aku tak hendak menjalin kembali hubungan spesial yang pernah
terajut. Aku hanya ingin berteman dengannya.
Tapi, benarkah? Bukankah di hatiku masih tertimbun setitik dendam yang menunggu
terlampiaskan? Bukankah tujuan akhirku ingin laki-laki itu minta maaf padaku
atas sikapnya yang pernah memporak-porandakan hidupku?
Hingga larut, hatiku masih bergulat gelisah.
Laki-laki di sebelahku sudah terlelap lama. Begitu juga dengan bidadari kecil
di sampingnya.
Kupandangi orang-orang terkasihku itu
lekat-lekat. Kedamaian terpancar dari wajah keduanya. Apakah aku tega menukar
kebahagiaan yang mereka hadirkan dengan penghianatan? Meski hanya sebersit perasaan
yang terbangun dari nostalgia masa lalu, apakah itu dibenarkan?
Tiba-tiba aku merasa tak tahu diri! Suami
yang baik, anak yang lucu dan pintar, rumah tangga yang tentram dan
berkecukupan, karir yang cemerlang, harusnya aku bersyukur memiliki semua ini!
Rasa bersalah seketika menyeruak, mendesak
turun bulir-bulir bening yang tertahan di pelupuk mata. Aku berdosa beberapa
hari ini membiarkan rasa itu menyelinap dalam egoku. Aku harus mengenyahkannya
malam ini!
Liana
“Dia sudah menjadi masa laluku, Lia. Sekarang
masa depanku adalah kamu. Kumohon, percayalah!” Deni berlutut di hadapanku.
Aku bergeming. Kuusap lelehan air mata yang
membasahi pipiku.
Orang bilang, wanita hamil itu sensitif, mudah
meledak-ledak karena hal sepele. Ya, mungkin ini karena kehamilanku.
Kugenggam tangan Deni. “Semoga aku bisa
mempercayaimu selamanya,” harapku.
Fira
Kumasuki gedung mewah itu dengan tergesa. Dari
bandara tadi aku langsung menuju tempat ini. Sepatu hak tinggi yang kukenakan
membuatku tak leluasa berlari. Aku nyaris terlambat datang ke pernikahan Luki, karibku
semasa sekolah.
BRUK! tubuhku menabrak seseorang. “Maaf,”
spontan kulontarkan kata itu tanpa melihat siapa yang
kutabrak. Tetapi, ups, dia menarik pergelangan tanganku.
“Fira?” refleks aku menoleh ke asal suara.
Sesosok laki-laki yang beberapa hari ini
menghantui benakku, kini berdiri di hadapanku. “Deni?”
Mata kami bertumbukan. Dan seperti adegan
sinetron, sejenak kami sama-sama mematung.
Deni tak berubah. Hanya, tubuhnya yang
setegap tentara itu kini tampak sedikit menggemuk.
“Sendirian?” tanyanya kemudian.
“Ya,” jawabku tergagap. Tak menyangka akan
bertemu dengannya di tempat ini. “Kamu?”
“Itu istriku,” telunjuknya mengarah ke
seorang wanita hamil yang tengah duduk di kursi. Mulutku mengatup rapat. Diakah
wanita beruntung itu?
“Aku mendengar banyak hal tentangmu. Selamat
ya,” Deni menukas kembali. Aku mengangguk terharu. “Aku juga…minta maaf pernah
menyakitimu.”
Aliran darahku seketika seolah membeku.
Pernyataan inilah yang kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun!
“Aku juga heran, kenapa saat itu aku begitu
gegabah dan tidak berperasaan,” lanjutnya.
Aku tersenyum. Perlahan kutarik tanganku dari
genggamannya. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya.
“Fira, kamu luar biasa. Aku bangga pernah
menjadi seseorang di hatimu,” ungkapnya lirih. Aku menunduk menghindari tatapan
mata elangnya. Susah payah kutahan genangan air di mataku. Cukup! aku harus
segera berlalu dari hadapannya.
“Terima kasih. Salam ke istri ya,” balasku
terburu. Begitu membalikkan badan, genangan air itu pun tumpah.[RF.Dhonna]
*Cerpen ini meraih juara 3 dalam lomba menulis cerpen yang diadakan Majalah Sekar tahun 2012 dan dimuat di Majalah Sekar edisi 31 Oktober-14 November 2012.
Cerpennya bagus bu :)
BalasHapusTerima kasih :)
Hapus