Saya menikah dengan seorang pegawai yang bekerja di bawah
naungan Kementerian Keuangan. Sejak awal menikah, saya sudah menyiapkan mental
untuk hidup berpindah-pindah keliling Indonesia mengikuti tugas suami yang
menurut peraturan akan dimutasi setiap lima tahun sekali. Ternyata praktiknya
tidak ada kepastian baku tentang ini. Seringkali gosip mutasi membuat kami para
istri pegawai deg-degan, karena
kemunculan SK mutasi ini seperti siluman, serba mendadak dan tiba-tiba. Karena
itulah, meski siap mental, tak urung saya panik juga saat SK mutasi sudah di
genggaman tangan.
Seperti tujuh tahun lalu, ketika pertama kali ikut suami
mutasi, dari Jakarta kami ‘dibuang’ ke Ende, kota kecil di Pulau Flores. Selama
menetap di Jakarta, barang berharga yang kami punya hanya televisi dan kipas
angin. Kami menjualnya ke teman dengan harga super miring. Barang remeh temeh yang tidak memungkinkan
untuk dibawa pindah seperti ember cucian dan pecah belah, saya kasihkan
cuma-cuma. Sedangkan yang bisa dibawa, saya packing.
Suami sudah terbang duluan ke Ende. Dalam keadaan hamil muda, seorang diri saya
menyiapkan apa saja yang perlu dibawa. Total ada tujuh kardus dan satu koper
besar. Saking paniknya, saya sampai enggak kepikiran memakai jasa ekspedisi!
Setahun di Flores, perkakas rumah tangga mulai lengkap,
eh, mutasi lagi ke pulau lain. Kali ini ke Kalimantan. Kelimpungan deh menjual
kasur, kulkas, lemari, dan televisi yang baru kami beli, dengan harga bantingan. Jangan tanya berapa
kerugiannya.
Hal lain yang bikin mumet
adalah memikirkan hunian baru. Seandainya semua pegawai (tanpa memandang
jabatan) disediakan rumah dinas (rumdin) oleh kantor pusat, mungkin saya bisa
sedikit tenang. Karena tidak ada fasilitas ini, kebanyakan rekan sejawat suami
beserta keluarganya terpaksa mengontrak rumah. Ya kalau harga sewa rumah per tahunnya
murah, lah kalau 10 juta ke atas dan
tiap tahun dinaikkan oleh pemilik rumah, jumlahkan saja berapa juta yang harus kami
keluarkan selama lima tahun, bisa dipakai untuk DP beli rumah!
Memang sih, saat pindah dapat uang pesangon, tetapi
biasanya langsung ludes untuk tiket pesawat, ngontrak rumah, dan beli perabot.
Eits, jangan bayangkan yang kami beli itu perabot lengkap ya. Standar isi rumah
keluarga pegawai seperti kami umumnya hanya yang penting-penting saja seperti
kasur, tikar (untuk ruang tamu), kulkas, lemari baju, alat masak, dan televisi.
Itu pun kualitasnya yang nomor dua dan kebanyakan portable alias mudah diangkut kemana-mana. Buat apa beli yang
mahal, toh sebentar saja sudah
dipindah lagi (kecuali yang portable
tentunya, enggak masalah beli yang mahal, he he..).
Masalah kepindahan sekolah anak juga tak kalah membuat puyeng. Kadang, anak sedang menjalani
ujian semester, duengg, tiba-tiba
ayahnya kena mutasi. Kalau sudah begini, mau enggak mau harus long distance relationship sementara
waktu deh sama suami, nunggu anak kelar ujian baru nyusul. Belum lagi urusan
minta ijin pindah yang makan waktu, tenaga, dan biaya, trus hunting sekolah baru di tempat baru. Hadeuuuuh, capeeek…
Berada semakin jauh dari kampung halaman, semakin besar
pula ongkos mudiknya. Itulah yang kami rasakan selama ini. Mudik wajibnya sih setahun
sekali, tapiiii, ongkosnya menguras isi tabungan tanpa sisa bok! Bisa dibilang, selama ini kami
menabung hanya untuk biaya mudik.
Enggak melulu ‘penderitaan’ saja sih yang kami dapatkan
dari hidup berpindah-pindah ini. Beberapa berkah yang kami rasakan diantaranya
bisa mengenal Indonesia dan ragam suku budayanya dari Sabang sampai Merauke,
‘wisata gratis’, mengenal dan belajar kuliner khas dari tiap daerah, nambah
teman dan saudara, juga nambah pengalaman hidup.
Nomaden membuat kami para ‘keluarga petualang’ terbiasa
hidup sederhana, tidak bermewah-mewah dalam membeli perabotan rumah. Istilah
teman-teman senasib sih, belajar zuhud,
he he.. Coba kalau hidup menetap, perabot-perabot
aneh macam guci antik sampai mobil mewah pasti kebeli deh.
Gara-gara nomaden pula, dua tahun lalu saya dan suami
berkesempatan menjadi kontributor sebuah buku ensiklopedi tentang pantai-pantai
di Indonesia. Suami yang kebetulan hobi fotografi dapat bagian nyumbang
foto-fotonya, saya yang nulis artikelnya.
Pengalaman mengesankan lainnya yang enggak akan pernah
saya lupakan sampai kapan pun adalah putri pertama saya lahir di Flores. Saya
melahirkan di kamar tidur rumah kontrakan, dibantu bidan dan dari keluarga
hanya suami yang menemani. Saat proses lahiran, beberapa teman kantor suami
beserta istrinya berkumpul di teras. Mereka ikut begadang sampai pagi,
menunggui saya melahirkan! Padahal besoknya pada kerja. Duh, mengingat ini, selalu ada haru yang terselip di hati. Betapa
indahnya persaudaraan di perantauan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊