Tiga bulan pertama menikah
Sehari setelah menikah, lelaki itu memboyong istrinya ke Jakarta . Pegawai negeri sipil seperti dia tidak bisa berlama-lama mengambil cuti. Di Jakarta, mereka tinggal di sepetak kamar berukuran tak lebih dari 3x4 meter, sebuah kamar kos-kosan di daerah stasiun Juanda-Gambir yang memang disewakan untuk para pekerja yang berkantor di sekitar kawasan itu.
Begitu turun dari kereta Gajayana, belum sempat merasakan indahnya bulan madu, lelaki itu pun langsung ngantor. Barulah ketika weekend tiba, ia bisa mengajak istrinya keliling kota , jalan-jalan ke Pekan Raya Jakarta, melihat keramaian di Pasar Baru, berkunjung ke Istiqlal, Monas, dan tempat-tempat lain yang belum pernah dikunjungi sang istri. Maklum, itulah pertama kali istrinya menginjakkan kaki di ibu kota .
Seminggu menikmati kebersamaan, sang istri harus meninggalkannya sendiri lagi di rimba Jakarta , untuk menyelesaikan studinya di sebuah universitas negeri di Malang . Skripsi sang istri yang baru berjalan 25% harus segera dirampungkan agar tak menjadi beban berkepanjangan.
Demi tanggung jawab sang istri kepada kedua orangtuanya, lelaki itu rela sering hidup terpisah dengan pujaan hatinya itu. Selama beberapa waktu sang istri terpaksa harus bolak balik Jakarta-Malang.
Lelaki itu mendukung penuh sang istri untuk segera merampungkan kuliah yang selama empat tahun ini ditempuhnya dengan penuh perjuangan. Kesepian demi kesepian menemaninya setiap malam tatkala sang istri tak berada di sisinya. Ketika istrinya mulai menyerah dengan keadaan, merasa pesimis lulus dalam waktu dekat, ia pun tak henti menyemangati. Ia tak ingin melihat istrinya gagal. Kata-kata seperti Konsen ke skripsi, jangan pikirkan aku; make me proud of you; u’re the best thing for me, love you, yang sering ia sms-kan ke sang istri, menjadi energi baru yang mampu membangkitkan kembali semangat wanita itu.
Lelaki itu rela mengalami masa-masa yang kurang menyenangkan ini sementara waktu. Toh, nanti kalau istrinya berhasil lulus empat tahun seperti yang ia harapkan, ia juga ikut lega. Saat itu mereka dituntut harus berkorban, demi masa depan yang lebih membahagiakan.
Perjuangan dan pengorbanan pasangan suami istri itu pun membuahkan hasil yang manis. Tiga bulan kemudian, sang istri lulus. Meski saat acara seremonial wisuda lelaki itu berhalangan hadir (karena pekerjaan), binar-binar kebanggaan di wajahnya tak dapat ia sembunyikan. Ia bersyukur, doa-doanya selama ini dikabulkan olehNya. Setelah semua urusan di Malang selesai, istrinya kembali menyusulnya ke Jakarta . Mereka seatap lagi. Proses adaptasi sebagai pasangan suami istri yang sebenarnya pun baru terjadi. Mereka mulai saling mengenal pribadi masing-masing lebih jauh, berusaha menyelaraskan perbedaan-perbedaan yang ada, belajar memahami satu sama lain, serta saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan.
Semua terasa indah, apalagi saat Ramadan tiba. Inilah Ramadan pertama yang mereka lalui bersama. Saat-saat paling seru adalah ketika berburu makanan untuk berbuka dan sahur. Karena di kamar kos tak ada dapur, otomatis mereka harus hunting makanan di jalan setiap hari. Selain itu, tarawih setiap malam di masjid Istiqlal juga menjadi momen istimewa buat mereka berdua, karena sama-sama pengalaman pertama.
Idul Fitri tiba, mereka pun mudik ke kampong halaman. Lelaki itu hanya bisa sepuluh hari saja berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Sedangkan sang istri memilih tinggal beberapa hari lagi.
“Sayang, aku telat datang bulan nih. Jangan2, dah isi…,” tulis sang istri d isms untuknya suatu pagi.
“Coba di tespek ya, mudah-mudahan isi,” balas lelaki itu. Ia memang sangat mengharapkan bisa dikaruniai momongan secepatnya.
“Positif..,” sms sang istri keesokan harinya.
“Alhamdulillah, akhirnya aku akan jadi ayah. Kita akan jadi orangtua, sayang! Tolong jaga diri baik-baik ya, makan bergizi, minum vitamin, istirahat cukup, jangan terlalu capek. Kita sudah dipercaya olehNya untuk memegang amanah ini. Jangan sia-siakan ya…,” balasnya bahagia.
“Tapi kan belum tentu hasil itu valid,” sms sang istri lagi.
“Ke dokter aja biar jelas. Jangan mikir biaya. Semahal apa pun, lakukan demi calon anak kita,” balas lelaki itu.
Setelah USG, dokter memastikan bahwa di rahim istrinya telah terlihat tanda-tanda kehamilan. Sang istri tampak tak terlalu bahagia dengan berita itu, karena merasa belum siap hamil.
Lelaki itu pun meyakinkan sang istri, bahwa apa pun yang terjadi, itulah yang terbaik dariNya untuk kehidupan rumah tangga mereka. Demi kesehatan janin, lelaki itu melarang istrinya kembali ke Jakarta . Perjalanan dengan kereta selama 9—10 jam cukup rentan menyebabkan keguguran. Ia juga tak tega membiarkan istrinya dalam keadaan hamil tinggal di kamar sempit, pengap, dan panas seperti di kos-kosan. Sementara waktu sang istri menetap di kampung halaman, sampai datang kejelasan ia akan ditugaskan dimana, karena dalam waktu dekat ada penempatan kerja.
Begitulah, tiga bulan menikah, lelaki itu merasa mendapat dua karunia yang sangat indah: istrinya lulus S1 empat tahun, dan tak lama kemudian positif hamil.
Tiga bulan pertama hamil
Wanita itu mulai mual-mual, bahkan muntah. Makan apa pun rasanya tak enak, inginnya tidur sepanjang hari. Badan tak bisa diajak kompromi, lemas dan mudah capek. Wanita itu sedih, karena ‘penderitaan’ itu dialaminya sendirian tanpa dampingan suami.
Mengetahui hal ini, sang suami jadi merasa bersalah. Lelaki itu ingin sekali pulang kampung, berada di samping sang istri, selalu ada jika istrinya membutuhkan kehadirannya. Apa daya, pekerjaan mengikatnya. Lelaki itu sering menangis dalam hening, sesak memikirkan kondisi istrinya yang kian memburuk.
“Jangan terlalu stres, Bunda, biar calon anak kita tumbuh sempurna fisik dan mentalnya. Teruslah usaha untuk tetap sehat. Ayah cinta Bunda. Bunda harus kuat, harus tegar. Ayah kenal Bunda sebagai sosok yang nggak mudah nyerah pada cobaan.
Ayah selalu berdoa buat Bunda. Maafin Ayah yang belum bisa ada kalo Bunda butuh sewaktu-waktu. Sabar ya, Bunda. Kita pasti bisa kumpul secepatnya.
Ayah sayang Bunda. Terlalu kecil perhatian Ayah dibandingkan pengorbanan Bunda.” Hanya sms-sms seperti inilah yang bisa ia kirimkan untuk menghibur dan meneguhkan hati sang istri. Di saat suami-suami lain mungkin bisa mendampingi istrinya selama hamil, mencarikan makanan atau apa pun yang diinginkan istri ketika ngidam di awal-awal kehamilan, menyediakan buku-buku tentang kemilan dan persiapan-persiapan persalinan, dll., ia justru tak bisa. Hatinya pedih membayangkan ketakberdayaannya.
Di sisi lain, lelaki itu dilanda kecemasan menanti kabar dimana kelak ia dipindahtugaskan oleh pemerintah. Beberapa bulan menunggu, kabar mengejutkan itu tiba: ia ditempatkan di Ende-Flores, NTT! Lelaki itu tak menyangka ia akan ditugaskan jauh ke kota kecil di Indonesia timur itu. Masalah baru muncul, mungkinkah ia membawa serta istrinya terbang ke Ende, sementara sang istri sedang hamil muda? Pertanyaan ini membuatnya tak bisa tenang selama berhari-hari.
Setelah perdebatan panjang dengan keluarga, mempertimbangkan baik buruknya, sang istri pun setuju ikut ke Ende. Alhamdulillah, semua kekhawatiran yang sempat menghantui pikiran mereka masing-masing tak terjadi. Mereka berkumpul kembali sejak Februari 2007, merajut hari-hari sebagai keluarga baru yang mandiri.
Tiga bulan pertama setelah kelahiran si kecil
Malam itu, lelaki itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana proses kelahiran sang buah hati. Pikirannya diliputi ketegangan melampaui detik-detik ketika sang istri mempertaruhkan nyawa, berjuang dengan darah, demi menghadirkan sesosok jiwa ke dunia. Ia takjub, hingga tanpa sadar airmatanya menitik satu-satu tatkala proses itu berakhir. Sebuah peristiwa yang tak pernah terlintas di kepalanya.
Jauh-jauh hari, lelaki itu menyatakan tak bersedia menemani sang istri melahirkan, karena ia merasa takut dan tak siap. Mendekati hari-H, akhirnya ia memberanikan diri menyaksikan peristiwa itu, demi membantu kelancaran proses melahirkan. Ia sadar, keberadaannya nanti juga bisa mendatangkan spirit dan kekuatan ekstra bagi sang istri.
Begitu putrinya lahir, lelaki itu tak canggung membersihkan ari-ari si kecil yang mungkin tampak sangat menjijikkan, lalu menguburkannya di halaman rumah. Malam-malam setelah kehadiran si kecil, ia rela begadang menemani sang istri menyusui. Ketika si kecil terjaga di tengah malam karena popoknya basah—sementara sang istri tertidur karena kelelahan—ia pun sigap menggantinya dengan yang bersih. Hampir seluruh pekerjaan rumah dihandelnya. Ia sama sekali tak mengijinkan istrinya melakukan apapun sampai stamina sang istri benar-benar pulih.
Usia tujuh hari—setelah si kecil diakikahkan, rambutnya dicukur habis, serta diberi nama—lelaki itu turut membantu memandikan si kecil. Sementara sang istri memegang tubuh mungil si kecil, ia yang membasuhkan air ke seluruh tubuhnya. Ia sering membantu sang istri melakukan ritual sebelum memandikan si kecil di pagi hari, yaitu menjemur si kecil di loteng. Sinar matahari pagi sebelum jam delapan baik untuk kesehatan bayi.
Tiga bulan saja lelaki itu mengalami ‘kerepotan-kerepotan’ sebagai orangtua baru bersama sang istri, karena sewaktu usia si kecil menginjak empat bulan, kembali ia terpisah dengan keluarga kecilnya. Setelah mudik lebaran (waktu itu si kecil genap tiga bulan), lelaki itu akan dipindahtugaskan kembali ke kota lain. Daripada menyengsarakan si kecil karena harus bolak-balik naik pesawat, ia sepakat dengan sang istri untuk berkumpul kembali setelah SK penempatan kerja yang baru diumumkan. Kesabaran keluarga kecil itu kembali diuji. Awal 2008, SK itu diumumkan. Lelaki itu ditempatkan di Samarinda. Akhirnya sejak Februari 2008, ia bisa berkumpul kembali dengan istri dan buah hatinya.
Untuk suamiku yts ytc, yang super baik dan penuh pengertian, makasih atas hari-hari cinta yang kau persembahkan selama dua tahun ini. Met ultah pernikahan yang ke-2, mudah-mudahan Allah menjaga keutuhan keluarga kita, melindungi kita semua di bawah naungan ridhoNya, menyatukan kita selamanya di dunia, dan kelak mempertemukan kita kembali di kehidupan selanjutnya. Amiiiin….
Amien.......
BalasHapusSenengnyaaaaa udah sama2 lagi yaa.......