Translate

Selasa, 27 Januari 2009

Mimpi Evan

              
Cerpen: R.F.Dhonna*
Pagi-pagi sekali Evan sudah berangkat ke sekolah. Sebelum bel masuk berbunyi, dia harus sampai kelas. Evan berusaha untuk tidak terlambat lagi seperti biasanya. Dia kapok disuruh meringkas buku. Meski demikian, ternyata hari itu Evan tetap menerima hukuman. Kali ini bukan karena terlambat, tetapi karena tidak mengerjakan pe-er!
”Kamu kok senang sih, dihukum?” tanya Ali, teman sebangkunya.
”Aku lupa, Al,” jawab Evan.
”Lupa atau malas?” tanya Ali sekali lagi. Evan merengut kesal. Ia tak terima jika ada yang mengatainya pelupa atau pemalas. Karena itu, Evan memilih tak menjawabnya. Ia segera pergi ke kebun belakang sekolah, melaksanakan hukuman dari Bu Ratri: mencabuti rumput liar yang tumbuh subur di sela-sela tanaman jahe.
”Huh, kayak tukang kebun saja! Mending disuruh meringkas buku daripada kotor-kotor begini!” rutuk Evan seraya memegang jijik rumput-rumput yang bertanah tebal. ”Ada-ada saja Bu Ratri, bikin peraturan seenaknya!”
 Sambil membersihkan rumput yang panjang-panjang itu, Evan terus mengomel. Tanpa disadarinya, berpasang-pasang mata tengah memperhatikannya.
Kenapa sih, harus ada peraturan di sekolah? Yang nggak boleh memakai sepatu selain hitam-lah, nggak boleh telat masuk kelas-lah, harus memakai atribut lengkap, harus mengerjakan pe-er sesuai perintah, harus ini.. harus itu..., ah, aku pusing! Evan merutuk dalam hati. Di saat teman-temannya asyik menikmati jam istirahat di kantin, ia malah harus berpanas-panas di tengah kebun. Parahnya, ia langganan melakukan pelanggaran! Evan lalu membayangkan ia sekolah di SD lain, bukan SD favorit tempatnya belajar sekarang, yang menurut Evan terlalu ketat menerapkan peraturan. Atau, memang dirinya ya, yang bandel?
Tanpa terasa, Evan telah menjalankan hukumannya dengan baik. Mungkin karena capek, pada jam terakhir, ia pun tertidur di bangkunya. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar. Dipandanginya sekeliling. Teman-teman yang tadi bersamanya tidak ada.  Dimana ia sekarang? Yang tampak cuma pepohonan dan tumbuh-tumbuhan liar. Evan melihat ke atas, banyak burung beterbangan. Lalu ia mendengar auman serigala di kejauhan. Sontak bulu romanya berdiri. Evan baru menyadari kalau dirinya tersesat di tengah hutan sendirian.
Terdorong rasa lapar, Evan memberanikan diri untuk berjalan. Aha, dia menemukan sebatang pohon pisang yang berbuah sangat lebat! Baru saja Evan akan memetiknya, tiba-tiba secepat kilat seekor kera menyambarnya.
”Hey, itu pisangku, aku yang lebih dulu menemukannya!” teriak Evan.
”Enak saja. Memangnya hutan ini punya ayah-ibumu?” Evan tertegun. Kera ini bisa memahami bahasa manusia, bahkan bisa bicara!
”Tapi kau mengambilnya tanpa permisi,” sahut Evan.
”Ho-ho-ho... anak kecil, ini hutan. Siapa cepat, dialah yang dapat.”
”Apakah seperti itu peraturan di sini?” kening Evan berkerut.
”Kau ini aneh. Penghuni hutan itu tidak pernah mengenal kata peraturan. Bagi kami, yang kuat pasti menang dan yang lemah pasti kalah,” jelas kera itu sambil melahap satu-persatu pisang di tangannya.
”O, begitu. Baiklah. Sekarang biar adil, berikan padaku setangkup,” pinta Evan memelas.
”Enak saja, cari sendiri dong.”
”Tapi... hey, hey, aku lapar!” teriak Evan. Kera itu berlari meninggalkannya.
            Evan berjalan lagi. Tapi ia tak menemukan sama sekali buah-buahan yang bisa dimakan. Sementara itu, perutnya semakin melilit. Ia berhenti sejenak, lalu duduk di dekat semak-semak.
”Auw, kau menduduki tubuhku!” teriak sebuah suara dari balik semak-semak itu. Rupanya seekor kelinci. ”Sedang apa kau di sini? Ini tempatku, pergi! Kau sudah memasuki wilayah kekuasaanku.” kata kelinci dengan angkuh.
”Apa, enak saja, ini wilayah kekuasaanku!” tiba-tiba muncul kelinci lain.
”Apa buktinya kalau ini wilayah kekuasaanmu?”
”Raja hutan baru saja memberikannya padaku.”
”Apa kau bilang? Aku sudah bertahun-tahun tinggal di sini.”
”Kau berani menentang raja? Baiklah, sekarang juga aku akan mengadukan kau!”
            ”Hey, jangan curang. Ini masalah kita berdua, tak perlu melibatkan raja!”
            Evan bingung melihat kedua kelinci itu bertengkar. Akhirnya ia tinggalkan mereka. Aneh, sesama kelinci berebut wilayah yang tak tampak garis batasnya.
            Evan berjalan lagi. Tap-tap-tap..., tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Sesosok bayangan mengikutinya. Evan menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Tap-tap-tap..., suara itu terdengar lagi. Dengan sigap Evan menoleh lagi. Astaga, seekor rubah hitam yang terlihat sangat lapar menatapnya tajam!
            Evan mundur beberapa langkah, bersiaga untuk lari. Satu...dua.., UPS, ternyata di belakangnya ada satu rubah lagi! Tubuh Evan bergetar hebat. Kakinya seperti terpaku di tanah. Kedua rubah itu siap menerkam.
            ”TIDAAAAK!!!” Evan terjaga. Ternyata Evan hanya bermimpi. Untung tidak ada pelajaran.
            ”Kamu mimpi apa, Van?” tanya Ali yang sejak tadi duduk di sampingnya.
            Evan menggaruk-garuk kepalanya sambil menguap lebar. ”Menurut kamu, penting nggak, di hutan diberi peraturan?”
            ”Maksud kamu, untuk para perambah hutan, biar nggak berburu binatang dan menebang pohon sembarangan?” Ali menatap Evan heran.
            ”Bukan, tapi untuk penghuni hutan, biar nggak memperebutkan apa pun yaang ada di hutan dan bisa tercipta keadilan.” jawab Evan asal. Tubuhnya menyelonjor lagi di atas meja. ”Untung ya, sekolah kita bukan hutan.” sambungnya.
            Ali geleng-geleng kepala tak mengerti lalu meninggalkan Evan yang sepertinya bersiap tidur lagi. Evan cuma melantur, pikir Ali.
*Cerpen ini dimuat di Majalah Girls no.22 edisi tahun I/Juni 2006 dengan beberapa revisi

6 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊