Akhirnya Kerawing dan Batu Kecubung Biru terbit!
Meskipun novel ini hasil duet dengan mbak Inni Indarpuri, rasanya excited
banget, karena ini adalah novel pertama saya. Perjalanan novel ini sampai bisa terbit saaaaaaaaangaaaat panjang dan
berliku (hehe, saking lamanya). Baiklah, akan saya ceritakan dari awal ^_^
Pertengahan 2011, sebuah penerbit buku anak ternama akan mengadakan workshop kepenulisan di Surabaya. Penulis
yang ingin mengikuti workshop wajib
mengirimkan sinopsis naskah first novel
untuk diaudisi. Proses audisinya ada tiga tahap. Tahap pertama seleksi
sinopsis, tahap kedua seleksi dua bab pertama, dan tahap ketiga seleksi
setengah isi novel.
Saya sudah lama sekali ingin menulis tentang anak Dayak. Pemicunya,
pertama, setelah membaca novel Diantara
Dua Cinta karya sahabat saya Inni Indarpuri yang bercerita tentang seorang guru muda yang mengajar di pedalaman Kalimantan Timur, saya jadi tahu
kearifan-kearifan lokal masyarakat Dayak. Di novel itu juga diceritakan,
mengapa anak-anak Dayak pedalaman banyak yang enggan sekolah.
Kedua, tanpa sengaja saya menemukan artikel di harian Kaltim
Post yang mengulas tentang seorang peneliti asing yang diberi nama Dayak oleh
pemangku adat Dayak. Namanya sangat cantik, yaitu Kerawing, yang artinya
bintang kejora. Entahlah, ketika membaca nama itu, saya merasakan semacam aura
magis. Bagi saya, nama itu sangat unik. Hm, sepertinya menarik nih, dijadikan
judul cerita.
Sebab ketiga, suatu hari saya diajak suami jalan-jalan ke
Pampang. Pampang adalah sebuah desa budaya yang terletak di utara Kota
Samarinda, Kalimantan Timur. Mayoritas penghuni desa tersebut adalah
orang-orang Dayak.
Pertama kali berkunjung kesana, beberapa anak Dayak
menawarkan diri kepada saya dan rombongan untuk menari. Sebelum menari, seorang
anak perempuan bermata sipit dan berkulit putih berhasil saya tawan untuk saya
tanya-tanya. Saya taksir usianya sekitar delapan tahun. Anak itu bercerita
banyak tentang kesehariannya, bahwa dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri
dari hobi menarinya, bahwa dia terbiasa berkomunikasi dengan para turis asing
yang berkunjung ke Pampang, dsb. Saya jadi semakin terkesan dengan kehidupan
anak Dayak. Dalam kepala saya menari-nari sebuah ide cerita tentang Pampang
yang menurut saya sangat eksotis, dan bertekad suatu saat harus bisa
mengeksekusinya menjadi novel.
kunjungan pertama ke Pampang
Anak-anak Pampang hasil jepretan suami saya :)
Nah, ketika ada peluang mengikuti workshop menulis first novel, saya yang aslinya sulit menulis panjang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya pun menulis dan mengirim sinopsis bakal novel yang saya beri judul Kerawing dan Batu Kecubung Biru. Dengan harapan, sinopsis yang saya tulis itu nantinya bisa lolos hingga seleksi akhir.
Alhamdulillah, tahap pertama dan kedua berhasil saya lewati.
Sayang, novel saya gagal di tahap ketiga
(hiks!)
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊