Translate

Minggu, 30 Maret 2014

Samarinda, Pertambangan, dan Banjir







Samarinda dan banjir, adalah dua hal yang seolah tak terpisahkan lagi. Dari waktu ke waktu, dari penguasa lama hingga ganti penguasa, permasalahan banjir tetap tidak teratasi. Entah sejak kapan ibukota Kalimantan Timur ini langganan banjir. Yang pasti sejak saya menginjakkan kaki di kota ini pada 2008 silam, sejak itu pula saya berkenalan dengan banjir. Rumah kontrakan saya pernah terendam air bah akibat hujan deras dan polder jebol pada Juni 2008. Saya pernah menulis ceritanya di blog ini. Seumur-umur, baru kali itu saya menjadi korban banjir. Peristiwa itu membuat saya sangat trauma. Saya sekeluarga pun cepat-cepat pindah dari sana dan mencari rumah kontrakan yang aman dari jangkauan banjir.

Saya melihat, sebagai ibukota provinsi, penataan Kota Samarinda sangat semrawut. Berbeda jauh dengan kota tetangga, Balikpapan, yang lebih tertata rapi. Tak heran jika di Balikpapan nyaris tidak pernah banjir.
Cuaca di Samarinda juga tidak jelas. Tidak ada musim hujan atau kemarau, karena hujan selalu turun sepanjang tahun. Kadang pagi hingga siang sangat terik, tiba-tiba sorenya hujan. Parahnya, hujan sebentar saja pasti langsung banjir. Kedalaman banjirnya pun tidak tanggung-tanggung, bisa sampai sedada orang dewasa di beberapa lokasi tertentu. Kondisi ini sangat meresahkan. Seperti di perempatan Sempaja dan perempatan Mall Lembuswana yang termasuk kawasan tengah kota, ketika kedua titik itu banjir, sedikit banyak aktivitas warga pasti ikut terganggu. Saya sering tiba-tiba stres kalau hujan. Karena tempat kerja saya melewati salah satu perempatan itu. Jadi mau tidak mau saya harus menerobos banjir.

 
 
 sumber foto: http://www.tribunnews.com/images/regional/view/6372/samarinda-langganan-banjir#.Uzf8aM5sTIU


Penyebab Banjir
Pusat Studi Pembangunan Kalimantan Timur (PSPKT) menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan Samarinda sering banjir. Pertama, sistem drainase yang tidak memadai. Pembangunan gedung-gedung yang tidak pada tempatnya dan menutup parit-parit menyebabkan terjadinya genangan air dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan banjir. Kedua, menipisnya hutan kota yang menyebabkan kurangnya resapan air. Ketiga, pertambangan. Nah, faktor penyebab ketiga inilah yang menjadi penyebab utamanya. 

Ada puluhan aktivitas pertambangan yang beroperasi di Samarinda. Dampak dari aktivitas pertambangan ini sangat serius. Limbah perusahaan yang dialirkan ke sungai menyebabkan Samarinda kekurangan air bersih. Air yang  mengalir ke sumur-sumur rumah warga tidak hanya berwarna keruh, tetapi juga bau, sangat tidak layak untuk dikonsumsi. Air tersebut juga ditengarai mengandung zat-zat berbahaya yang bisa menimbulkan berbagai penyakit.

 sumber foto: http://ekbis.sindonews.com/read/2014/02/10/34/834299/26-perusahaan-tambang-di-samarinda-terancam-ditutup

Di rumah kontrakan saya yang sekarang saja, sebenarnya saya sudah jijik ketika harus memakainya untuk mandi dll. Tetapi saya terpaksa memakainya dalam keadaan darurat, karena air PDAM seriiiiiiiiiiiing sekali mati. Kecuali untuk memasak, minum, dan gosok gigi, saya biasa pakai air galon. Saya menyesal kebiasaan kumur pakai air galon baru saya lakukan, karena sudah terlambat, gigi anak saya sudah keropos karena terbiasa berkumur dengan air sumur. 

Karena air PDAM sering tidak mengalir, jangan heran melihat bisnis jual beli air di Samarinda sangat marak. Beli setangki air ukuran 300 liter bisa menghabiskan uang Rp 100.000,00. Bayangkan kalau dalam seminggu air PDAM tidak mengalir, sudah berapa ratus rupiah yang terbuang hanya untuk membeli air bersih? Yah, begitulah keadaan di kota berjuluk Kota Tepian ini, bahkan air untuk MCK saja harus beli ketika air PDAM libur. Sekali lagi, air galian sumur disini sudah sangat tidak layak, karena sudah tercemar limbah tambang.

Selain limbahnya yang mencemari air, pertambangan juga mencemari lingkungan hidup lainnya. Seperti berkurangnya tanah resapan air. Untuk melakukan pertambangan, langkah pertama yang dilakukan adalah membuka lahan. Tak jarang lahan yang akan digali adalah lahan hijau seperti hutan dan perbukitan, yang notabene merupakan habitat beraneka makhluk hidup. Lahan itu dibabat habis, lalu digali. Kebanyakan, setelah aktivitas pertambangan berakhir, lahan tersebut tidak direklamasi. Banyak yang ditinggal begitu saja oleh perusahaan-perusahaan tambang. Mereka tidak hanya telah merusak ekosistem, tetapi juga meninggalkan permasalahan baru, yaitu banjir. Apalagi Samarinda adalah dataran rendah. Tidak heran kalau hujan sebentar langsung banjir.

sumber foto: http://kaltim.tribunnews.com/2013/12/02/berita-foto-atur-lalu-lintas-saat-banjir-di-samarinda

Let’s Go Green!
Meski 2,5 tahun ini sementara waktu saya bermukim di Malang untuk studi, sesekali saya masih berkunjung ke Samarinda. Dan saya sedih setiap kesana selalu disuguhi banjir. Maaf saja, saya suka spontan membandingkan Samarinda dengan Malang. Di Malang, air bersih melimpah, masih lebih adem, hutan kota masih banyak, taman-taman bermain bukan tempat langka, lha di Samarinda? Panasnya minta ampun, sulit air bersih, taman bermain adanya di mall, ruang terbuka hijau cuma di dekat balai kota. Hhh, kadang sumpek juga saat membayangkan dalam waktu dekat harus kembali lagi ke Samarinda. 

Sebagai masyarakat biasa, tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk Samarinda. Kebetulan saya suka menulis fiksi. Suatu hari, saking gemes dan geregetannya menyaksikan kerusakan alam di Samarinda, tiba-tiba saya ingiiin sekali menulis tentang kota ini. Saya mengajak seorang novelis untuk menggarap novel anak yang mengangkat tema pelestarian lingkungan bersetting budaya Dayak. Permasalahan utama yang kami tulis adalah tentang pertambangan di Samarinda. Alhamdulillah, novel fantasi itu berhasil terbit. Kami tidak bermaksud apa-apa dengan novel ini, hanya ingin sedikit berkontribusi dalam usaha penyelamatan ekosistem dan pelestarian lingkungan melalui tulisan. Mudah-mudahan usaha kami yang tidak seberapa ini bisa sedikit membawa perubahan kepada keadaan yang lebih baik. Amin.

 novel anak bertema pelestarian lingkungan yang saya tulis duet dengan teman saya

Selain menulis novel tentang pelestarian lingkungan, saya juga berusaha menerapkan kebiasaan-kebiasaan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mengajak anak berkebun di rumah, saya ajarkan kepada anak saya bagaimana menanam bunga serta merawatnya. Untuk kebersihan lingkungan, saya dan suami mengajarkan kepada anak untuk tidak membuang sampah sembarangan. Sampah dapur di rumah saya pisahkan antara sampah kering dan basah.

Kebiasaan kecil lainnya, saya suka mengumpulkan kantong keresek. Setiap belanja apapun, pasti dapat bonus kantong keresek. Kadang sudah sangu tas kain pun, si penjual keukeuh ngasih kantong keresek. Mau dibuang, kok sayang, nggak ramah lingkungan juga sampahnya. Akhirnya saya simpan rapi di dapur. Kalau sudah menggunung, langkah pertama agar si kantong keresek itu bermanfaat adalah menyedekahkannya ke tukang sayur. Jangan salah, tukang sayur biasanya seneng banget loh dikasih hibahan kantong keresek bekas. Kantong keresek juga berguna saat hujan, terutama bagi orang-orang seperti saya yang tiap hari mengandalkan sepeda motor saat beraktivitas. Sediakan selalu kantong keresek di jok motor. Kalau hujan, bisa dipakai untuk mantel sepatu dan sandal kesayangan. Biar dikata kurang kerjaan mantelin kaki pakai keresek, cuek aja, yang penting sandal/sepatu selamat^^. Memang sih, sekarang ada mantel khusus untuk sepatu/sandal. Tapi kan nggak semua orang bisa beli. Selain mantel sepatu/sandal, bisa juga digunakan sebagai mantel tas anak saat pulang sekolah. Sayang sama buku-buku pelajarannya kalau kebasahan.  Nggak punya amplop untuk mengirim paket? Manfaatkan kantong keresek. Saya sering menggunakan kantong keresek untuk membungkus paket buku pesanan para pembeli buku saya ^^


kantong keresek untuk amplop paket

Harapan untuk Calon Pemimpin
Harapan untuk calon pemimpin, khususnya di Samarinda, semoga para wakil rakyat yang terpilih nanti tidak egois dan lebih bijak. Bukan rahasia lagi kalau sektor pertambangan di Samarinda mendatangkan keuntungan yang melimpah. Orang kaya karena batubara di Samarinda sangat banyak. Semoga para wakil rakyat terpilih nanti tidak sembrono dalam memberi Ijin Usaha Pertambangan (IUP), tidak rakus, tidak menumpuk kekayaan dari proyek-proyek pertambangan. Kalau boleh berharap lebih sih, harus lebih tegas menolak aktivitas pertambangan. Jujur, kadang saya sering membayangkan, kalau Samarinda terus-menerus jadi langganan banjir, dua puluh tahun ke depan nanti, apakah Samarinda masih ada?

referensi:
http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=12306
https://id.berita.yahoo.com/limbah-tambang-rusak-lingkungan-warga-desak-pemkot-samarinda-022752531.html
http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=107915

Tulisan ini menjadi 5 tulisan terbaik kedua lomba menulis #IngatLingkungan yang diselenggarakan oleh WWF Indonesia dan BlogDetik tahun 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊