Translate

Sabtu, 30 Juni 2012

Beras Basah, Serasa di Pulau Pribadi







Aroma sedap ikan bakar menyambut kedatangan saya dan rombongan. Sekelompok anak muda tengah berpesta ikan segar yang dibeli dari nelayan yang kebetulan singgah. Perut saya yang diaduk-aduk selama perjalanan kontan minta segera diisi.

Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Bontang, Kalimantan Timur. Bontang adalah kota kecil yang terkenal sebagai penghasil gas alam terbesar di dunia. Banyak yang tidak tahu, jika disana ada sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Pulau ini dikenal dengan nama Beras Basah. Nama ini juga dipakai untuk menyebut pantai yang ada di pulau tersebut.

Jernihnya air dan lembutnya pasir putih Beras Basah menarik kaki saya menyisir tepiannya. Rasanya menyesal tidak membawa baju ganti. Saya pun harus puas dengan hanya mengelilingi pulau yang luasnya sekitar 1 hektare itu sambil mengabadikan tiap sudutnya.


Asal Nama Beras Basah



Penamaan pulau yang terletak di selat Sulawesi ini tergolong unik. Menurut cerita rakyat setempat, konon dahulu ada kapal yang berlayar dari Pulau Sulawesi membawa beras menuju Bontang, namun kapal tersebut karam. Akhirnya muatan kapal yang berisi beras tadi hanyut dan menutupi sebagian permukaan pulau tersebut. Maka warga sekitar menamakan pulau tersebut Beras Basah. Versi lain menyebutkan, nama itu mengadopsi nama sebuah pulau yang terletak di Semenanjung Melayu perbatasan antara Singapura, Thailand, dan Malaysia, tepatnya di daerah Langkawi.

Terlepas dari dua versi itu, pasir putih yang menutupi bibir pantai pulau itu memang tampak seperti butiran beras yang basah. Apalagi pantai Beras Basah berair sangat jernih, sehingga kita bisa leluasa melihat ikan-ikan yang berenang di dasar laut dengan jelas! Wow!

Penjaga Pulau

Ada dua keluarga yang tinggal di pulau tersebut, salah satunya keluarga Pak Jamaludin. Beliau berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Satu keluarga lain telah meninggal dan digantikan oleh keponakannya.

Pak Jamaludin adalah nelayan yang sering singgah di Beras Basah. Pada 1977 ada tim survey dari PT Badak Natural Gas Liquefaction (NGL) yang akan menjadikan pulau tersebut sebagai pangkalan. Diangkatlah Pak Jamaludin sebagai penjaga pulau tersebut.

Awalnya pulau ini di kembangkan oleh PT Badak NGL sebagai tempat istirahat karyawannya jika sedang bermain perahu layar. Sekarang, pulau yang pernah digunakan sebagai tempat latihan tim PON Kalimantan Timur cabang perahu layar ini telah menjadi salah satu tujuan wisata Kota Bontang.

Rute Menuju Beras Basah


Untuk mencapai lokasi Beras Basah, pengunjung dari luar Kaltim bisa memulai perjalanan dari bandara Sepinggan, Balikpapan. Perjalanan dari Balikpapan ke Bontang bisa ditempuh selama enam jam dengan pilihan sarana transportasi yang harganya bervariasi. 125 ribu untuk travel, 500 ribu untuk taksi atau mobil carteran, dan 50—85 ribu untuk bus umum.

Beras Basah berjarak sekitar 7 km dari pusat kota. Wisatawan bisa menyewa speed boat/kapal motor dan perahu ketinting/klotok seharga 200—400 ribu. Keduanya bisa mengangkut 10—15 orang. Rute keberangkatan bisa memilih salah satu dari tiga pelabuhan, yaitu pelabuhan Tanjung Laut, pelabuhan Bontang Kuala, atau dari pelabuhan PT Badak NGL (pelabuhan ini khusus untuk keluarga karyawan perusahaan). Dengan waktu tempuh sekitar 15—40 menit, pengunjung akan sampai di pulau cantik itu. Pengemudi kapal/perahu akan dengan senang hati menunggu sampai pengunjung puas.

Saya dan rombongan memilih berangkat dari pelabuhan Tanjung Laut dengan speed boat. Beberapa saat setelah naik, dari speed boat yang saya tumpangi saya menyaksikan tiruan patung kepala singa seperti yang ada di Singapura. Ternyata patung itu bagian dari sebuah restoran yang ada di sekitar pelabuhan, yaitu Café Singapur. Selain patung singa, beberapa pulau tanpa penghuni yang dipenuhi tanaman bakau dan kilang gas PT Badak NGL juga terlihat dari kejauhan.

Bak Pulau Pribadi 



Untuk mengelilingi pulau yang luasnya setara dengan luas lapangan bola itu saya membutuhkan waktu tak lebih dari 30 menit. Lalu saat saya berkunjung, jumlah wisatawan yang saya jumpai bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki. Benar-benar seperti pulau pribadi!

Ada empat bangunan yang ada disana. Satu bangunan rumah tinggal penjaga pulau, satu warung kecil, dan dua bangunan lain yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung. Warung di pulau ini hanya menjual aneka minuman. Jadi sebaiknya membawa bekal makanan dari rumah.

Selain empat bangunan tersebut, ada juga mercusuar setinggi 15 meter yang digunakan untuk kepentingan navigasi kapal. Mercusuar yang dibangun tahun 1977 ini sifatnya otomatis. Pada suhu tertentu akan menyala dengan sendirinya, biarpun belum malam, misalnya dalam keadaan mendung. Mercusuar ini memakai daya tenaga matahari dari panel surya yang disimpan di baterai.

Seperti mercusuar, sumber listrik untuk beberapa bangunan di pulau ini juga berasal dari tenaga matahari. Terdapat panel surya di samping bangunan dan sebuah alat atau baterai untuk menyimpan daya listrik. Baterai tersebut mampu memberikan daya selama dua hari nonstop.

Panorama alam di tempat ini sangat indah. Selain bisa menikmati hamparan pasir putih yang lembut, mata kita akan dimanjakan oleh hijau dan rimbunnya pepohonan. Lalu jika cuaca cerah, kita bisa menyaksikan birunya langit yang berpadu dengan jernihnya air. Kabarnya, luas pulau ini dari tahun ke tahun semakin berkurang karena abrasi. Wah, jangan sampai pulau cantik ini tenggelam ya.

Selain menikmati pemandangan, pengunjung juga bisa berenang, menyelam, atau bermain voli. Setelah itu bisa berbilas dengan air bersih seharga lima ribu rupiah per jerigennya. Untuk pengunjung muslim, tidak perlu khawatir tidak bisa melaksanakan solat. Pak Jamaludin menyediakan satu ruangan di rumahnya yang bisa dipakai untuk solat.

Hari beranjak sore. Air laut mulai pasang. Pengunjung lain satu persatu telah meninggalkan pulau. Yang tersisa tinggal saya dan rombongan. Teringat bahaya ombak besar yang menghadang ketika air pasang, kami pun cepat-cepat berkemas, memungut sampah sisa bekal kami karena tidak ada tempat sampah di pulau ini.

Andai berangkat lebih pagi, mungkin kami masih bisa berlama-lama di pulau cantik ini. Sebenarnya ada penginapan di tengah kota untuk bermalam, tetapi kami memilih langsung menuju ke Samarinda, tiga jam dari Bontang.

Perlahan speed boat yang kami sewa meninggalkan pulau eksotis itu. Hm, saya merasa seperti baru saja terdampar di tengah laut ala film Hollywood… ^^ [RF. Dhonna]


2 komentar:

  1. Pantainya bagus... En yg terpenting, 'sepi'. Gutlak ya Donna, smg menang:-) *eh, baru inget, di Singapura ada juga tempat yg namanya Bras Basah, kalo ga salah tempat jualan buku klasik/ second.

    BalasHapus
  2. yup, bener, heran juga, kenapa namanya sama ya? hehe.
    amin...trims mbak... :)

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊