Aku suka menulis sejak
kecil. Majalah Bobo adalah salah satu bacaanku kala itu. Kebetulan seorang
tetangga berlangganan untuk anaknya. Jadi aku bisa nebeng baca kalau main sama
si anak. Aku juga suka baca tabloid emak-emak, tabloid Nova. Saat SMP aku mulai
rajin menulis buku harian, meski isinya cuma cinta-cintaan. Sayang, buku harian
itu habis kubakar karena sakit hati kepada seorang cowok. Ah, aku sering
tertawa geli mengenang ini.
Kebiasaan menulis buku
harian berlanjut hingga SMA. Kali ini isinya tidak melulu soal cinta. Buku
harian itu pun tersimpan rapi hingga hari ini, tidak terbakar seperti
pendahulunya.
Ketika SMA, aku mengenal sebuah majalah remaja yang isinya cerita-cerita Islami. Awalnya aku mengira majalah tersebut hanya berisi tentang dakwah. Semakin membacanya semakin aku mengenalnya. Dari majalah itu, aku menemukan sesuatu: ternyata menulis itu keren!
Majalah itu menyadarkanku, bahwa cerita-cerita di buku harian bisa dijadikan cerita fiksi; cerita fiksi yang dikirim ke media dan dimuat bisa mendatangkan uang; cerita fiksi berupa novel yang diterbitkan bisa menggemukkan isi tabungan ^_^.
Saat itu juga aku berusaha untuk mengeksplorasi diri, belajar terus menerus untuk menghasilkan tulisan yang bagus seperti para penulis yang karyanya sering dimuat di media dan diterbitkan menjadi buku. Apalagi di majalah tersebut sering diulas tips menulis dan bagaimana perjalanan sukses seorang penulis beken. Perlahan aku mulai termotivasi sosok-sosok berprestasi itu.
Keberanianku mengirim cerita fiksi ke media muncul ketika cerpen seorang teman sekelasku muncul di media lokal daerah. Saat itu aku berpikir, betapa kerennya dia. Aku pun mencoba mengikuti jejaknya. Tak dinyana, usahaku berbuah! Dua cerpen yang lahir dari tanganku dimuat oleh media tersebut. Ternyata aku bisa!
Peristiwa itu membuat kepercayaan diriku mulai tumbuh. Aku pun mulai yakin, aku punya bakat dan potensi menjadi penulis. Ini menjadi titik balik perubahan besar dalam hidupku.
-----
Setelah dua cerpenku dimuat media dan mendapat honor yang lumayan, aku mulai merasa bahwa aku ‘berguna’. Setidaknya, bakat yang kupunya bisa kugunakan untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah, he he. Tidak semua orang bisa menulis, juga tidak semua orang yang menulis bisa menembus media.
Dengan meminjam mesin ketik sepupuku yang bekerja di balai desa, aku mulai produktif menulis cerpen. Kukirim cerpen-cerpen itu ke berbagai majalah remaja berskala nasional. Sayang, semua mengalami penolakan. Ternyata menembus majalah-majalah itu tidak gampang. Aku menduga, mungkin karena tulisanku bukan hasil ketikan komputer, jadi tertolak. Aku pun patah arang. Hingga suatu hari aku mengalami peristiwa yang membuat mataku terbuka lebar.
Aku bertemu seorang penulis perempuan yang sangat inspiratif di sebuah acara budaya. Kondisi fisiknya jauh dari sempurna, kedua tangan dan kakinya tidak berfungsi, sehari-hari didorong kursi roda, tetapi beliau bisa jadi penulis hebat. Aku sangat tertampar.
Penulis itu adalah Mbak Ratna Indraswari Ibrahim, peraih berbagai penghargaan sastra berskala nasional dan internasional. Selama ini dia menulis dengan mulutnya. Mbak Ratna bercerita, asistennya yang mengetik. Luar biasa!
“Lihat, dia yang seperti itu saja bisa, kenapa kamu yang punya fisik sempurna nggak bisa? Malah bermental tempe, keinjek sekali langsung penyet!” kumaki diriku sendiri.
Pertemuan itu begitu
berkesan, membuatku sangat bersyukur. Semangatku kembali membara.
-----
Aku seperti menemukan diriku kembali. Begitu bertemu Mbak Ratna, pemikiranku tentang hidup berubah seketika. Seperti Mbak Ratna, aku ingin kelak hidupku berarti bagi banyak orang, minimal keluargaku.
Aku tidak mau menjadi
manusia yang hidupnya sia-sia. Setiap saat aku berusaha meningkatkan kualitas
diri. Hingga jalan kecil menuju impianku menjadi penulis mulai terbuka: aku
diterima di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang (UM) tanpa tes,
NEM-ku tertinggi sekabupaten untuk jurusan IPS, serta mendapat beasiswa dari
bupati dan sebuah lembaga amil zakat. Tak henti kuucap syukur. Ini lebih dari
apa yang kuminta. Tetapi ada satu hal yang membuatku sedih, pendidikanku kurang
mendapat dukungan orangtua dan beberapa saudara. Mereka beranggapan jurusan
yang kuambil tidak bonafit, tidak menjanjikan masa depan yang cerah. “Belajar
Bahasa Indonesia itu nggak pake kuliah juga bisa, kali,” cemooh mereka. Aku
berusaha tersenyum menanggapi hal itu, sambil bertekad dalam hati, “Lihat saja
nanti!”
Baru menjadi mahasiswa, saat kesulitan membayar uang kos, aku iseng ikut lomba menulis cerpen di kampus. Hadiahnya lumayan. Selain dapat uang tunai, juga mendapat piagam penghargaan. Saat itu aku sedang getol-getolnya mengumpulkan piagam, karena dengan itu aku bisa mengajukan beasiswa di kampus. Alhamdulillah, cerpenku juara dua! Rejeki yang tak terduga di awal kuliah.
Saat itu aku baru bergabung dengan sebuah organisasi kepenulisan di kampus. Banyak ilmu baru yang kudapatkan disana, aku juga digembleng secara mental oleh senior-seniorku. Kepercayaan diriku pun semakin tumbuh.
Satu persatu tulisanku dimuat media cetak lagi, mulai media lokal Malang hingga media nasional. Kala itu bukan hanya cerpen yang kutulis, tetapi juga artikel, resensi buku, dan esai. Uniknya, setiap aku sedang kepepet, selalu ada tulisanku yang dimuat media. Sampai sekarang pun, ketika mengalami kesulitan keuangan, selalu ada kejutan manis dari tulisan-tulisanku. Entah itu dimuat media, menang lomba menulis tingkat nasional, diundang jadi pemateri pendidikan dan latihan kepenulisan, diminta jadi juri lomba menulis, dsb.
Menulis juga membawaku bergabung dengan pers kampus. Ceritanya, saat itu aku ingin sekali kuliah sambil kerja. Awalnya aku dapat side job di lembaga pendidikan sebagai guru privat. Lalu seorang teman memberitahuku kalau majalah kampus sedang butuh reporter. Karena merasa bisa menulis, aku pun mengajukan diri melamar kesana. Dan, rejeki tak terduga, aku diterima! Penghasilanku sebagai reporter di majalah kampus membuat kondisi keuanganku membaik. Rasanya bangga bisa kuliah dari hasil keringat sendiri.
-----
Sebenarnya rejeki tak terduga yang kudapatkan dari menulis bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga kepuasan batin. Setiap ada pembaca karyaku yang bilang suka dan mendapatkan sesuatu dari apa yang kutulis, rasanya sangat bahagia. Berarti tulisanku bermanfaat.
Aku juga mendapat
banyak pengalaman berharga dari menulis. Salah satunya saat menjadi reporter
kampus, aku bisa bertemu, mengenal, dan mewawancarai orang-orang hebat. Atau
ketika liputan sebuah kegiatan di luar kota, aku mendapat jatah kursi gratis
dari panitia kegiatan. Seperti ketika liputan di kampus UGM, setelah liputan
dapat bonus jalan-jalan ke Parangtritis dan Malioboro. Kesempatan ini sangat
mewah bagiku.
Kini menulis bagiku
bukan sekedar hobi. Lebih dari itu—mengutip ungkapan penulis Fira Basuki—writing is my passion! Menulis adalah
nafas dan semangatku. Aku hidup untuk menulis. Sehari tanpa menulis, rasanya
rugi, seperti ada waktu yang terbuang.
Tanpa kusadari, ternyata menulis buku harian yang kulakukan sejak belia membawa banyak dampak positif bagi perkembangan kepribadianku. Dari yang semula minder, perlahan menjadi percaya diri; semula tidak tahu siapa dirinya, perlahan berhasil menemukan jati diri.
Menulis memperkaya lahir dan batinku. Tidak ada yang instan di dunia ini. Melalui menulis aku berproses. Menulis mengajarkanku tentang kesabaran, bagaimana lelahnya selama berbulan-bulan menunggu keputusan naskah dimuat atau ditolak. Menulis menempaku menjadi seorang pekerja keras. Kadang berhari-hari aku harus rela mengorbankan sebagian besar waktuku untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dan yang tak kalah penting, menulis telah mengajarkan kepadaku arti sebuah perjuangan. Misalnya ketika ingin menerbitkan buku, ternyata itu tidak mudah, butuh perjuangan dan kesabaran ekstra.
Menulis membuatku berarti. Dengan menulis, ide dan gagasanku sampai ke orang lain. Ketika mereka menerimanya, ada sebuah rasa yang tak bisa dinilai atau diukur dengan materi.
Menulis menguatkan eksistensiku di dunia ini, bahwa aku benar-benar ada. Ada satu ungkapan menarik dari penulis Pramudya Ananta Toer yang menginspirasi kepenulisanku. Menurut beliau, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Seorang penulis yang sudah mati jasadnya boleh saja lenyap ditelan bumi, tetapi karya dan namanya akan tetap hidup abadi. Aku berharap kelak bisa seperti itu. Aku ingin tetap menulis hingga akhir hayatku.
Beberapa tahun terakhir ini hari-hariku disibukkan dengan mengajar di satu-satunya universitas negeri di Kalimantan Timur, sekaligus menempuh studi lagi di Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Meski cita-citaku menjadi penulis profesional yang benar-benar total menulis meleset, di sela waktu studi dan mengajar aku selalu meluangkan waktu untuk menulis, apapun. Kadang menulis cerpen, resensi buku, puisi, dan artikel. Kelak saat aku pensiun nanti, aku ingin total menulis ^_^.
Saya juga salut dengan almarhumah Ibu Ratna. Semoga semangat beliau tetap menyala dalam diri kita walaupun beliau telah tiada. Nice.:)
BalasHapusIya mbak Haya. amin. tetap semangat, apapun yang terjadi :)
BalasHapus