Alarm weker disampingku
berteriak membangunkanku. Kulirik jarumnya dengan malas, pukul tiga tepat.
Pertanyaan pertama yang selalu muncul setiap dini hari selama Ramadhan melintas
di kepalaku, sahur apa hari ini?
Kulihat suamiku masih
terlelap. Tetangga kiri kanan kamar mulai terdengar ribut. Ya, setelah menikah,
kamar berukuran tak lebih dari 4x4 meter inilah yang kami tinggali. Berdua belajar
mandiri di tengah belantara Jakarta. Pekerjaan suami sebagai abdi negara dengan
gaji pas-pasan memaksa kami tinggal di ruangan sempit ini, hidup terpisah dari
orangtua dan keluarga besar di kampung halaman.
Ramadhan tahun 2006 adalah
Ramadhan pertama yang kulalui setelah resmi menjadi pasangannya. Setiap hari
kami selalu berburu makanan sahur dan berbuka di warung-warung sekitar tempat
kos.
Bagiku, memasak untuk
pasangan adalah salah satu bentuk perhatian yang tak ternilai. Sedih rasanya
belum bisa memasak menu sahur dan berbuka untuk suami tercinta. Hhh, andai ada
dapur, akan kubuatkan ia sambal terong dan tempe penyet kesukaannya.
Beberapa minggu lalu,
gaji suami sudah terpotong untuk tiket mudik yang harganya selangit. Kami baru
tiga bulan berumah tangga, belum sempat menabung, karena masih kebingungan
mengatur keuangan. Di Jakarta nggak ada
yang murah.
Bulan sebelumnya kami
sempat hampir kehabisan uang. Bulan ini harus ekstra hemat dalam pengeluaran.
Keluarga besar kami punya kebiasaan bagi-bagi angpau saat lebaran. Uang
belanjaku pun mau tidak mau tersedot untuk keperluan khusus itu.
Kuhitung sisa uang di
dompet. Kuingat-ingat juga sisa di ATM. Cukup
nggak ya, sampai bulan depan?
“Kenapa?” suamiku sudah
terbangun rupanya. Aku menggeleng. “Sahur apa nih?” lanjutnya. Hari itu aku
sedang malas sahur. Rasanya tak ada satu pun makanan yang mampu membangkitkan
selera makanku selain masakan di Warung Padang langganan kami. Tapi mengingat
harus berhemat, kuurungkan niatku untuk makan di sana. Sekali duduk lebih dari
30 ribu dua orang.
“Terserah mas mau sahur
apa, aku nemenin aja. Lagi males
sahur,” tukasku.
“Kok nggak sahur lagi?
Kenapa?” tanya suamiku lagi. Ya, dua hari sebelumnya aku cuma minum teh hangat
untuk sahur.
“Kita ke Warung Padang,
yuk, pengen sambal terong nih,” ajak suamiku. Wah, kok bisa ya, dia punya keinginan
yang sama denganku? Apa dia bisa membaca pikiranku? “Kalau makan disana, pasti
nggak males sahur deh,” sambungnya.
“Nggak ah, mas. Lupa
ya, kalau harus hemat?”
“Hemat bukan berarti
harus menyengsarakan diri. Hemat tapi bikin
sakit, sama saja bohong, to?”
Aku terdiam meresapi
kata-katanya. Benar juga.
“Kita bisa makan di
sana tanpa harus mengeluarkan uang banyak, kok.
Ayo berangkat!” ajaknya setengah memaksa.
Sesampainya di warung,
kubiarkan suami memesan makanan. Sambil terkantuk-kantuk aku menunggu pesanan
datang. Tak lama, pelayan warung mengantar pesanan ke meja kami. Dua piring
nasi putih, sepiring kecil sambal terong yang merah menyala, sepotong telur
dadar yang diiris cukup besar, dan dua gelas air putih.
“Ini semua cuma dua
puluh ribu. Hemat kan?” kata suamiku. Aku ternganga tak percaya.
Segera kulahap makanan
yang terhidang di meja. Sepiring sambal terong kami nikmati berdua, begitu juga
dengan sepotong telur dadar yang jadi lauknya. Laki-laki di hadapanku pun
tersenyum penuh kemenangan, karena berhasil membuatku semangat makan sahur.
*
* *
Hari-hari selanjutnya
di sisa Ramadhan itu, kami tetap bisa makan di Warung Padang langganan kami.
Tentu saja dengan lauk sepotong berdua. Alhamdulillah, Ramadhan yang sangat
berkesan.
Enam tahun sudah pernikahan
kami. Putri semata wayang kami pun sudah berusia lima tahun. Kini kami
sekeluarga tinggal di rumah kecil yang lebih nyaman dan lapang dibanding kamar
kos sempit kami dulu.
Mengingat Ramadhan
pertama dengan suami tercinta, selalu ada rasa haru dan takjub, ternyata
masa-masa susah yang dilalui bersama mampu menghadirkan kenangan yang tak
terlukiskan indahnya.
Cerita itu semakin
merekatkan ikatan suci kami. Saat badai hendak menerjang biduk rumah tangga ini,
ada saat-saat manis yang mampu menguatkannya untuk tak goyah.
Mengenang sepotong lauk
berdua adalah mengenang kesempurnaan cinta diantara kami.
Terharu bu saya bacanya..
BalasHapusSampai menitikan air mata saya :')
Makasih Yenny... :) puk puk puk... jangan sedih *sodorin tisu
Hapus