Translate

Minggu, 19 April 2015

Welcome, Umar...

Setelah delapan tahun berlalu, tahun ini saya kembali merasakan nikmatnya punya bayi. Ya, 13 April kemarin, saya dan suami dikaruniai bayi laki-laki yang sangat ganteng (kayak ayahnya, hohoho...*_^). Alhamdulillah, kata orang-orang, komplit, sudah sepasang sekarang. 


Kelahiran jagoan kami ini cukup istimewa. Pertama, karena selisih dua hari saja dengan ulang tahun suami saya (kata suami, kado terindah sepanjang hidup, hehe..). Jadi ultah si adik nanti bisa digabung sama ultah ayahnya, lumayan… ngirit… :D. Kedua, proses persalinan si kecil ini meleset dari perkiraan. Saat melahirkan Raya dulu, saya melalui proses persalinan normal/alami. Orang bilang, kalau anak pertama lahir melalui proses alami, maka biasanya anak kedua pun demikian. Nyatanya, itu nggak berlaku buat saya. Lho, kok bisa?

Begini ceritanya…
Hari perkiraan lahir (HPL) yang disebutkan bidan dan dokter yang mengontrol kehamilan saya adalah 11 April. Saat USG bulan Maret, dokter mengatakan bahwa kondisi janin saya sehat dan ketuban cukup. Seminggu sebelum HPL, saya kembali USG, tapi ke dokter lain, karena dokter langganan saya sebelumnya sedang ke luar kota. Dokter ini (sebut saja Dokter A) mengatakan hal-hal yang membuat saya yang semula santai menjadi agak parno. Hasil USG yang dia beritahukan dari awal sampai akhir menakutkan. Dia bilang, berat bayi saya 3,7 kg, ketuban sudah sedikit (istilah medisnya oligohydramnion) dan mulai keruh, kelamin terlilit tali pusat. Dengan keadaan seperti itu, ujug-ujug Dokter A menyarankan saya bersalin malam itu juga di rumah sakit tempatnya praktik. Saya yang dari awal sudah ilfil, cuma manggut-manggut aja mendengarnya. Saya sampai lupa selanjutnya dia ngomong apa, hahaha…

Setelah mengetahui itu, saya berusaha tetap santai. Terpengaruh juga sih sebenarnya, tapi sedikit. Suami juga tetap berpikir positif. Selang dua hari (tepatnya 9 April), saya kembali USG untuk second opinion, kali ini ke dokter langganan. Tentu saja saya nggak cerita apa pun tentang hasil USG dari Dokter A. Hasilnya ternyata beda tipis dengan yang dikatakan Dokter A. Dokter langganan bilang, berat badan bayi saya 3,1 kg, ketuban tinggal 6,2 cm dari bayi (kalau Dokter A bilang 3,2 cm), mulai keruh juga. Dengan kondisi seperti itu, dokter langganan menyarankan saya menunggu sampai tanggal 11 April. Jika lewat tanggal tersebut belum ada tanda-tanda juga, dia menyarankan saya ke rumah sakit agar diberi tindakan. Dia bilang, kalau si bayi dibiarkan terlalu lama di dalam rahim dengan kondisi air ketuban sedikit dan mulai keruh, dikhawatirkan nanti tidak bisa lahir secara alami dan si bayi bisa meminum air ketuban kotor. Akibat air ketuban kotor ini yang bikin saya ngeri sebenarnya, karena bisa menyebabkan paru-paru bayi mengalami gangguan. Bayi teman saya yang lahir dengan ketuban keruh berwarna kehijauan sempat kritis dan koma selama beberapa hari di rumah sakit, Alhamdulillah si bayi tertolong. Tentu saja saya nggak mau bayi saya mengalami hal yang sama. 

Dengan dua hasil USG yang hampir sama itu, saya konsultasi ke bu bidan langganan. Sekedar info, sejak awal kehamilan, saya ingin kelak bisa melahirkan dengan bantuan bu bidan langganan. Saya tidak mau melahirkan di RS, rasanya nggak nyaman. Nah, setelah saya ceritakan hasil USG dari dua dokter, bu bidan bilang lebih baik saya mengikuti saran dokter langganan. Rupanya beliau nggak berani mengambil resiko. Tetapi bu bidan janji, kalau sebelum hari Minggu sudah ada tanda-tanda akan melahirkan, beliau masih bersedia membantu. Kenyataannya, sampai hari yang dimaksud, saya belum melihat satu pun tanda. Pupus sudah rencana melahirkan di tempat praktik bidan, hiks…

Saya sempat ingin menunggu sampai 6 hari lagi (Raya dulu telat 6 hari dari HPL, dan tidak ada masalah) tetapi kok ya was-was. Akhirnya, daripada was-was, berbekal rujukan dari dokter langganan, hari Minggu saya putuskan ke RS. Sebenarnya bu dokter ngasih rujukan ke RSU. Tetapi karena ada seorang teman yang pernah melahirkan di sana mengalami kejadian yang kurang menyenangkan, saya memilih ke RSIA. Sampai di RSIA pilihan, saya harus menunggu dokter yang akan menangani saya selama lima jam. Selama itu, tangan saya sudah dipasang selang infus. Setelah dokter datang, saya diobservasi ulang. Selanjutnya, mulai diinduksi melalui infus. Sehari semalam saya terus dipantau oleh perawat jaga. Keesokan harinya, setelah menghabiskan 1,5 botol infus, saya tidak merasakan reaksi apa pun. Tidak ada kontraksi, tidak juga ada pembukaan jalan lahir. Sementara itu, efek induksi mulai memengaruhi detak jantung bayi. Dokter bilang, jantung si bayi tidak stabil. Saya mulai dag-dig-dug.

Senin siang, dokter mengatakan sesuatu yang sangat saya takutkan.

“Maaf, Ibu, karena tidak ada reaksi, induksi tidak bisa dilanjutkan, kasihan dedeknya kalau dipaksa lahir normal. Jadi, lebih baik operasi.”

Doengggg *shock!

“Terserah Ibu mau operasi kapan, tetapi lebih cepat lebih baik,” lanjut si dokter.

Aduh, saya langsung blank, nggak siap jiwa dan raga. Seumur-umur nggak pernah dirawat di RS, eh, sekali masuk RS langsung operasi ‘besar’.

Setelah agak tenang, akhirnya saya dan suami memutuskan: oke bu dokter, lakukan bedah sesar sekarang juga!

Tepat pukul 13.00 WITA saya dimasukkan ruang operasi. Sebelum masuk, ketuban pecah dan mengalir dua kali. Rasanya seperti pipis biasa, tapi baunya nggak pesing. Saat saya melihat air ketuban, menurut saya sih penampakannya masih bening. Trus, kenapa 3 dokter yang meng-USG kandungan saya mengatakan air ketuban bayi saya mulai keruh ya? Hm, mungkin memang beda ya mata awam dengan mata dokter? Ah, sudahlah.

Begitu masuk ruang operasi, saya pasrah banget, mau diapain sama dokternya terserah. Saya berdoa dan terus berdzikir, semoga semua lancar. Deg-deg plas, pertama kali operasi euy!

Beberapa dokter pendamping dan perawat mengelilingi saya. Pembiusan dilakukan setengah badan, jadi daerah dada ke atas nggak mati rasa. Setelah dokter menyuntikkan obat bius di daerah punggung, perlahan saya mulai merasa kesemutan dari perut hingga kaki. Saya melihat suami di samping saya berusaha tenang (aslinya gugup banget, sampai lupa nggak mengabadikan proses pembedahan, hihihi). Sambil mengedel-edel perut saya, saya mendengar para dokter dan perawat nggosipin Ahok, Jokowi, Awang Faruk, dan Syahari Ja’ang. Tentang apa? Rahasia, hehehe… 

Sepanjang pembedahan, saya seperti lumpuh. Sempat ada keinginan untuk ngangkat kaki sebentar karena capek, eh tapi kok berat banget rasanya *ya iya lah, dibius. 30 menit kemudian, bayi saya lahir. Subhanallah, tangisnya kuenceeeng, beda sama kakaknya yang pas keluar cuma bunyi oek pendek ^^. Setelah didekatkan sebentar ke wajah saya, ayahnya adzan dan iqomat di telinga si kecil. Tiba-tiba saya merasa sangat capek. Dokter pun menyuntikkan obat tidur agar saya bisa istirahat sebentar. Jadilah saya tertidur. Begitu bangun, tahu-tahu proses penjahitan perut sudah selesai. Setengah tiga  saya keluar ruangan, tapi bius masih belum hilang. 

Jam tujuh malam, bius hilang total daaan ‘penderitaan’ pun dimulai. Bagian perut rasanya sakit luar biasa. Dipakai miring kanan kiri untuk belajar menyusui sakitnya bikin saya bercucuran air mata. Demi bisa menyusui, saya harus kuat. Bersyukur sekali keesokan harinya ASI saya keluar meski sedikit. 

Perkembangan lain yang terjadi, saya mulai bisa duduk dengan bantuan penopang tempat tidur. Besoknya lagi, saya sudah bisa berdiri dan berjalan pelan-pelan. Saya langsung meminta dokter mengijinkan saya pulang. Bukannya apa-apa, biaya nginep di RS kan jalan terus, hehehe…

Tiga malam saya di RS. Hingga hari ini saya masih menjalani proses pemulihan pasca operasi. Perut masih cenut-cenut bin sengkring-sengkring setiap dipakai bangun dari tempat tidur, berdiri dari duduk, dan berjalan. Pengen batuk nggak bisa, bahkan saya terpaksa libur ngakak dulu kalau pengen ketawa, nyeriiii. Rasanya kapok. Semoga nggak lagi mengalami kejadian seperti ini.

Dari peristiwa ini, saya belajar banyak hal. Diantaranya, pemeriksaan USG di satu sisi—jika hasilnya positif—membuat kita tenang, tetapi di sisi lain—jika hasilnya negatif, ditambah kalau dokternya tipe dokter yang suka nakut-nakutin seperti Dokter A—bisa membuat para bumil gelisah dan stres. Itulah mengapa saya lebih suka  periksa di bidan daripada dokter. Sebenarnya saya sempat berpikir, mungkinkah jika saya memilih menunggu 6 hari setelah HPL dan mengabaikan rujukan dari dokter langganan, saya bisa melahirkan secara alami dan bayi saya bisa lahir dengan sehat-selamat? *jadi pengen punya mesin waktu deh, puter ulang,  hihihi…

tidur ditemani Kak Raya ^^

Saya dan suami memberi nama bayi laki-laki kami Umar Achmad Baihaqi. Mengenai arti nama tersebut, kami ingin kelak dia bisa sekeren Umar Bin Khattab dan Imam Baihaqi. Orangtua punya harapan tinggi kepada anaknya boleh kan? ^^

 Oiya, tentang oligohydramnion, ada banyak faktor yang menyebabkan masalah ini. Beberapa yang saya tahu dari hasil googling adalah karena (1) air ketuban merembes sedikit-sedikit karena membran bocor (2) kelainan plasenta/janin, dan (3) sedang mengandung bayi kembar. Salah satu upaya untuk mencegah ini, ibu hamil harus cukup minum air putih dan rajin minum air kelapa selama hamil. Nah, ini juga yang saya lakukan selama 9 bulan. Lalu, kenapa masih mengalami oligohydramnion? Wallahua’lam, karena waktu saya tanya, dokter tidak menjelaskan apa-apa. Hanya saja selama hamil saya memang sering keputihan. Katanya sih, kadang tanpa sadar air ketuban ikut merembes saat keputihan. Lalu, tentang air ketuban keruh, penyebabnya bisa karena (1) bayi stres--karena tidak juga menemukan jalan lahir, karena terlalu aktif bergerak sehingga terlilit tali pusat, atau karena kekurangan pasokan oksigen—sehingga dia BAB di dalam. Nah, feses bayi inilah yang membuat air ketuban keruh, (2) usia janin sudah lewat waktu (untuk kasus saya, kandungan saya malah belum lewat waktu), dan (3) infeksi. 

Eh, ternyata sudah panjang ya, cerita saya? hehe…

Semoga bermanfaat dan mohon doanya agar Umar selalu sehat, jadi anak soleh dan cerdas. Aamiiin…









8 komentar:

  1. Selamat atas kelahiran dedenya ya Ibu..
    Semoga dedenya sehat selalu dan jadi anak soleh yang cerdas akalnya...
    aminn... :)
    Semoga Ibu lekas sehat yaaa...

    BalasHapus
  2. Selamat datang ke dunia adek Umar. Semoga menjadi distributor kemanfaatan dan berkah :)
    selamat buat abi dan ummi nya juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiin, maturnuwun mas Yudhis. lek iso gak distributor tok, tapi sekalian produsen, hihihi

      Hapus
  3. Mbak Fiiiiiiiiiiiiiiiiir, aku kok malian ketar-ketir ya mbak? hwaaa.. maneh ra ngerti rasane kontraksi koyok opo. aku juga lebih milih lahiran di bidan saja, di RS kok prosoku horor, RS is last option-lah :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. ojok terpengaruh ceritaku yo say, iki special condition, hehe... tetep berpikir positif plus banyak doa yo... semoga dimudahkan. aamiin... Cemungudh! ^^

      Hapus
  4. Emang beda-beda ya mbak kasusnya... lha aku maju 10 hari dari HPL, sempat kontraksi juga... sampai sekarang aku nggak tahu penyebabnya... kok bisa maju gitu...padahal semua normal... mulai tekanan darah sampai kondisi bayi... aku malah pingin nunggu bayiku muter ke jalan lahir (dokter e juga nunggu)...eh malah dia pingin keluar sebelum HPL...ha..ha...

    Gimana sekarang dedek Umar? Dah bisa pa aja mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi...wes bosen nang njero kuwi, pengen cepet2 metu. Alhamdulillah Umar wes miring-miring, tante, hehehe...

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊