Setelah delapan tahun berlalu, tahun ini saya kembali
merasakan nikmatnya punya bayi. Ya, 13 April kemarin, saya dan suami dikaruniai bayi
laki-laki yang sangat ganteng (kayak ayahnya, hohoho...*_^). Alhamdulillah, kata
orang-orang, komplit, sudah sepasang sekarang.
Kelahiran jagoan kami ini cukup istimewa. Pertama, karena
selisih dua hari saja dengan ulang tahun suami saya (kata suami, kado terindah
sepanjang hidup, hehe..). Jadi ultah si adik nanti bisa digabung sama ultah
ayahnya, lumayan… ngirit… :D. Kedua, proses persalinan si kecil ini meleset
dari perkiraan. Saat melahirkan Raya dulu, saya melalui proses persalinan
normal/alami. Orang bilang, kalau anak pertama lahir melalui proses alami, maka
biasanya anak kedua pun demikian. Nyatanya, itu nggak berlaku buat saya. Lho,
kok bisa?
Begini ceritanya…
Hari perkiraan lahir (HPL) yang disebutkan bidan dan dokter
yang mengontrol kehamilan saya adalah 11 April. Saat USG bulan Maret, dokter
mengatakan bahwa kondisi janin saya sehat dan ketuban cukup. Seminggu sebelum
HPL, saya kembali USG, tapi ke dokter lain, karena dokter langganan saya
sebelumnya sedang ke luar kota. Dokter ini (sebut saja Dokter A) mengatakan
hal-hal yang membuat saya yang semula santai menjadi agak parno. Hasil USG yang
dia beritahukan dari awal sampai akhir menakutkan. Dia bilang, berat bayi saya
3,7 kg, ketuban sudah sedikit (istilah medisnya oligohydramnion) dan mulai keruh, kelamin terlilit tali pusat.
Dengan keadaan seperti itu, ujug-ujug
Dokter A menyarankan saya bersalin malam itu juga di rumah sakit tempatnya
praktik. Saya yang dari awal sudah ilfil,
cuma manggut-manggut aja mendengarnya. Saya sampai lupa selanjutnya dia ngomong
apa, hahaha…
Setelah mengetahui itu, saya berusaha tetap santai.
Terpengaruh juga sih sebenarnya, tapi sedikit. Suami juga tetap berpikir
positif. Selang dua hari (tepatnya 9 April), saya kembali USG untuk second opinion, kali ini ke dokter
langganan. Tentu saja saya nggak cerita apa pun tentang hasil USG dari Dokter
A. Hasilnya ternyata beda tipis dengan yang dikatakan Dokter A. Dokter
langganan bilang, berat badan bayi saya 3,1 kg, ketuban tinggal 6,2 cm dari
bayi (kalau Dokter A bilang 3,2 cm), mulai keruh juga. Dengan kondisi seperti
itu, dokter langganan menyarankan saya menunggu sampai tanggal 11 April. Jika
lewat tanggal tersebut belum ada tanda-tanda juga, dia menyarankan saya ke
rumah sakit agar diberi tindakan. Dia bilang, kalau si bayi dibiarkan terlalu
lama di dalam rahim dengan kondisi air ketuban sedikit dan mulai keruh,
dikhawatirkan nanti tidak bisa lahir secara alami dan si bayi bisa meminum air
ketuban kotor. Akibat air ketuban kotor ini yang bikin saya ngeri sebenarnya,
karena bisa menyebabkan paru-paru bayi mengalami gangguan. Bayi teman saya yang
lahir dengan ketuban keruh berwarna kehijauan sempat kritis dan koma selama
beberapa hari di rumah sakit, Alhamdulillah si bayi tertolong. Tentu saja saya
nggak mau bayi saya mengalami hal yang sama.
Dengan dua hasil USG yang hampir sama itu, saya konsultasi
ke bu bidan langganan. Sekedar info, sejak awal kehamilan, saya ingin kelak
bisa melahirkan dengan bantuan bu bidan langganan. Saya tidak mau melahirkan di
RS, rasanya nggak nyaman. Nah, setelah saya ceritakan hasil USG dari dua
dokter, bu bidan bilang lebih baik saya mengikuti saran dokter langganan. Rupanya
beliau nggak berani mengambil resiko. Tetapi bu bidan janji, kalau sebelum hari
Minggu sudah ada tanda-tanda akan melahirkan, beliau masih bersedia membantu.
Kenyataannya, sampai hari yang dimaksud, saya belum melihat satu pun tanda. Pupus
sudah rencana melahirkan di tempat praktik bidan, hiks…
Saya sempat ingin menunggu sampai 6 hari lagi (Raya dulu
telat 6 hari dari HPL, dan tidak ada masalah) tetapi kok ya was-was. Akhirnya,
daripada was-was, berbekal rujukan dari dokter langganan, hari Minggu saya putuskan
ke RS. Sebenarnya bu dokter ngasih rujukan ke RSU. Tetapi karena ada seorang
teman yang pernah melahirkan di sana mengalami kejadian yang kurang
menyenangkan, saya memilih ke RSIA. Sampai di RSIA pilihan, saya harus menunggu
dokter yang akan menangani saya selama lima jam. Selama itu, tangan saya sudah
dipasang selang infus. Setelah dokter datang, saya diobservasi ulang.
Selanjutnya, mulai diinduksi melalui infus. Sehari semalam saya terus dipantau
oleh perawat jaga. Keesokan harinya, setelah menghabiskan 1,5 botol infus, saya
tidak merasakan reaksi apa pun. Tidak ada kontraksi, tidak juga ada pembukaan
jalan lahir. Sementara itu, efek induksi mulai memengaruhi detak jantung bayi.
Dokter bilang, jantung si bayi tidak stabil. Saya mulai dag-dig-dug.
Senin siang, dokter mengatakan sesuatu yang sangat saya
takutkan.
“Maaf, Ibu, karena tidak ada reaksi, induksi tidak bisa
dilanjutkan, kasihan dedeknya kalau dipaksa lahir normal. Jadi, lebih baik
operasi.”
Doengggg *shock!
“Terserah Ibu mau operasi kapan, tetapi lebih cepat lebih
baik,” lanjut si dokter.
Aduh, saya langsung blank,
nggak siap jiwa dan raga. Seumur-umur nggak pernah dirawat di RS, eh, sekali
masuk RS langsung operasi ‘besar’.
Setelah agak tenang, akhirnya saya dan suami memutuskan: oke bu dokter, lakukan bedah sesar sekarang
juga!
Tepat pukul 13.00 WITA saya dimasukkan ruang operasi.
Sebelum masuk, ketuban pecah dan mengalir dua kali. Rasanya seperti pipis
biasa, tapi baunya nggak pesing. Saat saya melihat air ketuban, menurut saya
sih penampakannya masih bening. Trus, kenapa 3 dokter yang meng-USG kandungan
saya mengatakan air ketuban bayi saya mulai keruh ya? Hm, mungkin memang beda
ya mata awam dengan mata dokter? Ah, sudahlah.
Begitu masuk ruang operasi, saya pasrah banget, mau diapain
sama dokternya terserah. Saya berdoa dan terus berdzikir, semoga semua lancar. Deg-deg plas, pertama kali operasi euy!
Beberapa dokter pendamping dan perawat mengelilingi saya.
Pembiusan dilakukan setengah badan, jadi daerah dada ke atas nggak mati rasa.
Setelah dokter menyuntikkan obat bius di daerah punggung, perlahan saya mulai
merasa kesemutan dari perut hingga kaki. Saya melihat suami di samping saya
berusaha tenang (aslinya gugup banget, sampai lupa nggak mengabadikan proses
pembedahan, hihihi). Sambil mengedel-edel
perut saya, saya mendengar para dokter dan perawat nggosipin Ahok, Jokowi, Awang Faruk, dan Syahari Ja’ang. Tentang
apa? Rahasia, hehehe…
Sepanjang pembedahan, saya seperti lumpuh. Sempat ada
keinginan untuk ngangkat kaki sebentar karena capek, eh tapi kok berat banget
rasanya *ya iya lah, dibius. 30 menit
kemudian, bayi saya lahir. Subhanallah, tangisnya kuenceeeng, beda sama
kakaknya yang pas keluar cuma bunyi oek
pendek ^^. Setelah didekatkan sebentar ke wajah saya, ayahnya adzan dan iqomat
di telinga si kecil. Tiba-tiba saya merasa sangat capek. Dokter pun menyuntikkan
obat tidur agar saya bisa istirahat sebentar. Jadilah saya tertidur. Begitu
bangun, tahu-tahu proses penjahitan perut sudah selesai. Setengah tiga saya keluar ruangan, tapi bius masih belum
hilang.
Jam tujuh malam, bius hilang total daaan ‘penderitaan’ pun
dimulai. Bagian perut rasanya sakit luar biasa. Dipakai miring kanan kiri untuk
belajar menyusui sakitnya bikin saya bercucuran air mata. Demi bisa menyusui,
saya harus kuat. Bersyukur sekali keesokan harinya ASI saya keluar meski
sedikit.
Perkembangan lain yang terjadi, saya mulai bisa duduk dengan bantuan
penopang tempat tidur. Besoknya lagi, saya sudah bisa berdiri dan berjalan
pelan-pelan. Saya langsung meminta dokter mengijinkan saya pulang. Bukannya apa-apa,
biaya nginep di RS kan jalan terus, hehehe…
Tiga malam saya di RS. Hingga hari ini saya masih menjalani
proses pemulihan pasca operasi. Perut masih cenut-cenut bin sengkring-sengkring setiap dipakai
bangun dari tempat tidur, berdiri dari duduk, dan berjalan. Pengen batuk nggak bisa, bahkan saya terpaksa libur ngakak dulu kalau pengen ketawa, nyeriiii. Rasanya kapok. Semoga
nggak lagi mengalami kejadian seperti ini.
Dari peristiwa ini, saya belajar banyak hal. Diantaranya, pemeriksaan
USG di satu sisi—jika hasilnya positif—membuat kita tenang, tetapi di sisi lain—jika
hasilnya negatif, ditambah kalau dokternya tipe dokter yang suka nakut-nakutin
seperti Dokter A—bisa membuat para bumil gelisah dan stres. Itulah mengapa saya
lebih suka periksa di bidan daripada
dokter. Sebenarnya saya sempat berpikir, mungkinkah jika saya memilih menunggu
6 hari setelah HPL dan mengabaikan rujukan dari dokter langganan, saya bisa
melahirkan secara alami dan bayi saya bisa lahir dengan sehat-selamat? *jadi pengen punya mesin waktu deh, puter
ulang, hihihi…
tidur ditemani Kak Raya ^^
Saya dan suami memberi nama bayi laki-laki kami Umar Achmad Baihaqi. Mengenai arti nama tersebut, kami ingin kelak dia bisa sekeren Umar Bin Khattab dan Imam Baihaqi. Orangtua punya harapan tinggi kepada anaknya boleh kan? ^^
Oiya, tentang oligohydramnion, ada banyak faktor yang
menyebabkan masalah ini. Beberapa yang saya tahu dari hasil googling adalah karena (1) air ketuban
merembes sedikit-sedikit karena membran bocor (2) kelainan plasenta/janin, dan (3)
sedang mengandung bayi kembar. Salah satu upaya untuk mencegah ini, ibu hamil
harus cukup minum air putih dan rajin minum air kelapa selama hamil. Nah, ini
juga yang saya lakukan selama 9 bulan. Lalu, kenapa masih mengalami oligohydramnion? Wallahua’lam, karena
waktu saya tanya, dokter tidak menjelaskan apa-apa. Hanya saja selama hamil
saya memang sering keputihan. Katanya sih, kadang tanpa sadar air ketuban ikut merembes
saat keputihan. Lalu, tentang air ketuban keruh, penyebabnya bisa karena (1) bayi stres--karena
tidak juga menemukan jalan lahir, karena terlalu aktif bergerak sehingga
terlilit tali pusat, atau karena kekurangan pasokan oksigen—sehingga dia BAB di
dalam. Nah, feses bayi inilah yang membuat air ketuban keruh, (2) usia janin
sudah lewat waktu (untuk kasus saya, kandungan saya malah belum lewat waktu),
dan (3) infeksi.
Eh, ternyata sudah panjang ya, cerita saya? hehe…
Semoga bermanfaat dan mohon doanya agar Umar selalu sehat,
jadi anak soleh dan cerdas. Aamiiin…
Selamat atas kelahiran dedenya ya Ibu..
BalasHapusSemoga dedenya sehat selalu dan jadi anak soleh yang cerdas akalnya...
aminn... :)
Semoga Ibu lekas sehat yaaa...
Amiiin, terimakasih Yeny :)
HapusSelamat datang ke dunia adek Umar. Semoga menjadi distributor kemanfaatan dan berkah :)
BalasHapusselamat buat abi dan ummi nya juga
Amiiin, maturnuwun mas Yudhis. lek iso gak distributor tok, tapi sekalian produsen, hihihi
HapusMbak Fiiiiiiiiiiiiiiiiir, aku kok malian ketar-ketir ya mbak? hwaaa.. maneh ra ngerti rasane kontraksi koyok opo. aku juga lebih milih lahiran di bidan saja, di RS kok prosoku horor, RS is last option-lah :(
BalasHapusojok terpengaruh ceritaku yo say, iki special condition, hehe... tetep berpikir positif plus banyak doa yo... semoga dimudahkan. aamiin... Cemungudh! ^^
HapusEmang beda-beda ya mbak kasusnya... lha aku maju 10 hari dari HPL, sempat kontraksi juga... sampai sekarang aku nggak tahu penyebabnya... kok bisa maju gitu...padahal semua normal... mulai tekanan darah sampai kondisi bayi... aku malah pingin nunggu bayiku muter ke jalan lahir (dokter e juga nunggu)...eh malah dia pingin keluar sebelum HPL...ha..ha...
BalasHapusGimana sekarang dedek Umar? Dah bisa pa aja mbak?
hihihi...wes bosen nang njero kuwi, pengen cepet2 metu. Alhamdulillah Umar wes miring-miring, tante, hehehe...
Hapus