Translate

Selasa, 13 Januari 2009

Ende Dalam Kenanganku (part.1)

Ende, aku datang…
8 Februari 2007.
Pesawat Cassa 212 yang kutumpangi hendak mendarat. Aku melongok ke bawah. Wow, pemandangannya indah…, hijau dimana-mana. Kota Ende yang menjadi tujuanku tampak diapit oleh beberapa gunung, perbukitan kecil dan dikelilingi pantai berair biru jernih. Perasaan haru menghampiriku ketika baru saja mendarat di bandara H. Aroeboesman. Inilah Ende, kota kecil di timur Indonesia. Kulihat sekeliling, bandara ini sepi sekali. Luasnya pun tak ada setengah dari bandara Juanda atau bandara internasional lainnya. Tak ada pesawat-pesawat besar yang singgah. Setelah menurunkan penumpang, pesawat kecil jenis Cassa 212 (yang cuma muat sekitar 25-an orang), jenis fokker, atau jenis ATR 42, biasanya langsung terbang lagi dengan penumpang baru. Nggak pakai parkir dulu.

Di pintu keluar bandara, segerombolan tukang ojek menghadangku dan suami. Ya, tukang ojek, tidak ada taksi seperti di bandara lain. Kami menggeleng menolak tawaran mereka, karena sudah ada dua orang penjemput kami, teman sekantor suamiku. Masing-masing membawa motor sendiri-sendiri. Kata suamiku, jarak antara bandara dengan calon rumah kontrakanku nanti tidak terlalu jauh, bisa ditempuh selama tiga menit saja. Hmm.. seperti apa ya, rumah yang akan aku tempati itu?


Dengan seabrek barang bawaan (seperti orang yang baru digusur gitu ;) ), kami menuju rumah kontrakan. Sesampainya disana, hmm.. suamiku pinter milih juga. Rumah itu lumayan nyaman ditempati keluarga kecil seperti kami. Ada tiga kamar (satu buat kamar tidur, satu buat musola, dan satunya lagi buat gudang), satu kamar mandi, ruang keluarga, ruang tamu, dapur, garasi motor, dan loteng tempat jemuran. Rumah belum bersih benar, karena itu kami memutuskan menumpang dulu semalam dua malam di mess kantor. Kami akan beres-beres dulu sampai rumah itu layak huni.
Ende adalah sebuah kota kecil di pulau Flores, propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibanding kota-kota lain di Flores, Ende menjadi satu-satunya kota dengan penduduk mayoritas muslim. Aku mengenal kota ini pertama kali waktu kuliah. Setiap ada tugas dari dosen, buku-buku terbitan Nusa Indah Ende (seperti buku-buku kebahasaan karangan Pak Gorys Keraf), sering kujadikan rujukan. Kala itu aku tak menyangka, suatu saat aku bisa sampai ke kota kecil yang ‘lumayan terpencil’ ini. Bayangkan, disini tidak ada mall, swalayan cuma sebiji (ssst.., aku sering menemukan barang-barang dan bahan makanan rusak atau kadaluarsa di swalayan itu—perjalanan pengirimannya dari Jawa kelamaan kali ;), tidak ada toko buku (baru bisa beli buku kalau ke Kupang—ibukota NTT—ada Gramedia disana), dermaganya mati (setelah ada peristiwa kapal tenggelam dan bangkainya belum diangkat ke permukaan, pelabuhan mangkrak, nggak ada lalu lintas kapal-kapal raksasa antar propinsi), koran-koran nasional—kayak kompas dkk—nggak sampai (praktis, satu-satunya akses info tercepat cuma bisa di update dari televisi dan internet), radio yang pemancarnya bisa ditangkap dengan jelas cuma pro 1 dan pro 2 RRI Ende (gelombang radio lainnya terdengar kemresek plus timbul tenggelam), dan lain sebagainya, sehingga membuat seseorang merasa bagai tinggal di pulau terisolir.
Satu ungkapan yang mungkin pantas untuk menggambarkan keadaan itu adalah: garing ;).

Disambut Badai George
Malam pertama di Ende, hujan deras mengguyur semalaman. Aku yang waktu itu menginap di mess ketakutan. Gara-garanya, suara hujan yang menimpa atap terdengar mengerikan. Meski cuma gerimis, suaranya terdengar sangat nyaring dan menggetarkan seperti saat hujan badai di Jawa. Hal ini karena kebanyakan atap rumah-rumah di Ende nggak pakai genteng seperti di Jawa, tapi pakai seng. Yang pakai genteng mungkin cuma beberapa. Ini untuk mengantisipasi datangnya gempa. Konon beberapa tahun lampau Ende pernah diguncang gempa dahsyat yang bikin trauma.

Selain ketakutan mendengar suara air hujan, aku juga gelisah oleh suara angin kencang yang membuat kelambu kamar mess bergerak-gerak seperti tanda datangnya hantu di film-film horor. Belum lagi tengah malam, suara lolongan anjing membuat bulu kudukku semakin merinding. Kejadian malam itu bagiku seperti kiamat kecil. Karena aku nggak pernah mengalami peristiwa itu sebelumnya. Walhasill, tidurku jadi tak nyenyak. Disampingku, suamiku malah tenang-tenang saja. Mungkin karena sudah sebulan dia disini, jadi sudah paham situasi dan kondisi. Tapi paginya dia ngakuin juga kalau semalam ‘hujan badai’.

Hari-hari selanjutnya ketika sudah di kontrakan, kuperhatikan, kok setiap kali hujan datang (nggak pagi, nggak siang, nggak malam) selalu disertai angin kencang ya? Bahkan atap garasi yang terbuat dari triplek jadi rusak berat, paku-pakunya tercerabut, sehingga ketika tertiup angin triplek itu melambai-lambai seperti nyiur di pantai. Lalu atap seng berlomba mengeluarkan bunyi grombyang yang mampu membuat orang sehat jadi jantungan. Di luar rumah, pusaran angin tampak menerbangkan apapun yang tergeletak di jalan. Ngeriii.. banget.

Aku jadi nggak berani di rumah sendirian. Begitu pulang kantor jam lima sore, suamiku kularang pergi keluar rumah. Usut punya usut, ternyata beberapa hari ini Flores (termasuk Ende) terkena dampak amukan badai George di perairan Australia. Aku baru tahu ketika melihat siaran televisi di suatu pagi.

Semua Ibu dipanggil ‘Mama’
Kesan pertama bertegur sapa dengan penduduk setempat, meski orang Ende terkesan seram dan garang (karena efek dari pencitraan orang-orang berkulit legam), sebenarnya mereka ramah-ramah. Di komplek rumah kontrakanku, tidak semuanya penduduk asli. Ada juga pendatang dari Jawa sepertiku. Tepat di samping rumah, ada mbak satu anak asli Bali, suaminya dari Jombang. Dia bisa berbahasa Jawa sepertiku. Tak heran jika kami cepat akrab.

“Disini nyebut Ibu itu Mama mbak. Kalau anak pertamanya bernama Awang, dipanggilnya Mama Awang. Kalau si sulung namanya Ayu, dipanggilnya Mama Ayu. Kalau di Jawa kan, nama kita ikut suami. Kayak aku dulu, dipanggil Bu Taufik.” Nama suami si mbak Mas Taufik.

Aku mengangguk-angguk mengerti.

RM. Padang Bertebaran
Seminggu pertama, karena belum belanja perkakas rumah tangga seperti alat dapur dkk, setiap kelaparan, kami terpaksa beli di warung. Dengan motor pinjaman tetangga (teman kantor suami juga), kami berwisata kuliner mencari makanan yang enak dan murah. Sepanjang jalan, weleeh.. rumah makan Padang bertebaran dimana-mana bak jamur yang tumbuh subur. Agaknya RM. Padang jadi penguasa disini. Selain Padang, ada juga warteg, warung bakso yang seporsinya 10 ribuan, rujak cingur yang dijual enam ribu, warung soto, warung pecel, dll. Lumayan lengkap. Tapi, ssst.. belakangan aku merasakan kalau ternyata masakan Jawa yang bermigrasi ke luar Pulau Jawa itu sudah nggak otentik lagi, cita rasanya sudah lain, hehe..
Oiya, baru di Ende aku melihat banyak warung yang pintunya ditutup tirai. Nggak tahu tujuannya apa. Biar kalau makan nggak kelihatan dari luar kali ya…;)

Awas, Anjing Berkeliaran!
Meski mayoritas muslim, tetangga kanan kiri banyak juga yang non-muslim. Semua hidup berdampingan. Nggak pernah ribut sih, cuma ada satu hal yang bikin was-was, anjing-anjing milik penduduk non-muslim yang dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan, nggak peduli pagi siang sore atau malam. Bukannya apa-apa, bagi yang muslim kan, air liur anjing najis. Selain itu, kebetulan anjing-anjing disana rawan menyebarkan virus rabies. Kalau kena gigit, dampak terburuknya adalah kematian. Untung selama disana aku tidak pernah kena gigit (amit-amit.. selamanya jangan sampai deh..).

Tidak ada got dan pasukan kuning
Ende, meski sebuah kota kecil, tapi lingkungannya lumayan bersih. Udaranya belum begitu tercemar oleh polusi (maklum sih, bukan kota industri, jadi nggak ada pabrik-pabrik besar bercerobong asap yang limbahnya mengotori alam), hutan-hutannya masih terjaga, pokoknya masih asri dan sejuk. Sayang, drainase-nya semrawut. Di lingkungan kontrakanku saja, air limbah rumah tangga berhenti sampai di lubang penampungan alias peceren (istilah orang Jawa). Kalau itu penuh, ya meluber kemana-mana, bisa ke halaman rumah tetangga. Karena daerah sekitar tempat tinggalku tanahnya masih naik turun, yang sial tuh, rumah-rumah bagian bawah, selalu dapat limpahan air limbah dari rumah-rumah yang tanahnya lebih tinggi.

Satu lagi yang disayangkan, disini tidak ada ‘pasukan kuning’ pengangkut sampah dari rumah ke rumah seperti di Jawa. Yang ada, setiap pagi kita harus membuang sendiri sampah rumah kita di TPA depan komplek, di ujung gang. Sesuatu yang bagiku kurang sedap di pandang. Jadi, pekerjaan suamiku setiap pagi, sembari berangkat ke kantor, tidak lupa membawa tas plastik berisi sampah kemarin untuk dibuang di depan gang L.

Bersambung…

8 komentar:

  1. Wah jadi ingat pengalaman ke ende. Aku kesana tahun 2005 kemarin. Dulu naik pesawat dari surabaya, mampir bali trus langsung ke ende (lupa nama pesawatnya). Yang paling aku ingat cuacanya puanaaaaaaaas banget hehe... Trus makanannya ubi apa tuh lupa, katanya ubi itu cuma ada di ende, dimakan sama ikan asin dan sambal. Satu lagi pisang... lupa juga namanya :)

    BalasHapus
  2. loh ada rangka apa bunda kesana?? menetap??
    wah kok crtnya menyeramkan giitu ..:(

    BalasHapus
  3. ikut suami, ditugaskan disana. cuma setahun, habis itu dipindah ke samarinda deh..

    BalasHapus
  4. pernah di ende juga toh mbak? ngapain mbak? emang panas sih.. tapi kadang sejuk juga toh dibanding malang? hehe

    BalasHapus
  5. asyik banget yah!
    jalan2 ikut suami.
    semoga nanti aku juga bisa kayak bunda, bisa terus mendampingi suami..
    kemanapun.
    amiin..

    BalasHapus
  6. amiiin...
    pokoknya kemanapun suami,meski ke lubang semut sekalipun,harus didampingi ;)

    BalasHapus
  7. Ada tugas seminggu disana, kasih pelatihan komputer untuk guru2.

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊