Cerita fiksi merupakan bagian dari karya sastra. Secara
umum, fiksi adalah cerita rekaan, kisah tidak nyata, prosa naratif (karangan) imajinatif.
Fiksi termasuk karya seni kreatif yang menonjolkan imajinasi penulisnya. Dalam sebuah
karya, meskipun jalinan cerita yang ada pada karya tersebut berdasarkan kisah
nyata, tetapi jika sudah diolah, ditambah dengan aneka ‘bumbu’ atau
perubahan-perubahan lain (meski sedikit), maka karya tersebut bukan lagi kisah nyata,
melainkan karya fiksi.
Horace, penyair Yunani Kuno, berpendapat bahwa karya seni
yang bermutu harus memenuhi syarat dulce
et utile, indah dan berguna. Oleh karena itulah, karya fiksi—entah itu
berbentuk cerpen, novel, novelet, atau roman—sering dibedakan menjadi fiksi
serius dan fiksi populer. Bagaimana ciri-ciri fiksi serius? Bagaimana pula
ciri-ciri fiksi populer?
Fiksi serius identik dengan fiksi yang bernilai seni tinggi,
bersifat adiluhung, dan cenderung elit. Fiksi serius biasanya memiliki
kontras-kontras yang ironis dan tidak hanya berpola seperti harapan pembaca
(misalnya berakhir bahagia atau sebaliknya). Ciri berikutnya, fiksi serius mengangkat
tema masalah kehidupan yang amat kompleks, bukan sekedar percintaan. Fiksi jenis
ini merangsang daya intelektual pembacanya untuk ikut sibuk merekonstruksikan duduk persoalan
masalah dalam hubungan antar tokohnya. Sehingga, di samping memeroleh hiburan
batin, pembaca fiksi serius biasanya juga mendapatkan pengalaman berharga; atau
paling tidak, pembaca akan terseret untuk meresapi dan merenungkan secara lebih
sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan pengarang melalui
karya-karyanya. Terakhir, fiksi serius mengutamakan unsur kebaruan dan keaslian
pengungkapan.
Adapun fiksi populer identik dengan fiksi bermutu rendah dan
manfaatnya cenderung sebagai hiburan semata. Fiksi jenis ini cenderung
sederhana, alurnya sebagai kekuatan utama dan biasanya klise (membaca awalnya
sudah terbayang bagaimana akhirnya), tema berkisar pada percintaan remaja,
bersifat artifisial, mengikuti selera pasar, bahasanya aktual dan cenderung
kurang baku. Selain itu, tema yang
diangkat cenderung hanya mengungkapkan permukaan kehidupan, dangkal, tanpa
usaha pendalaman, dan tidak inovatif.
Lalu, ketika kita ingin menulis karya fiksi, mana yang akan
kita pilih?
Menurut saya, saat kita sudah berhasil menemukan ide, kita
tidak perlu risau memikirkan jenis fiksi apa yang akan kita tulis. Tulis saja
dengan sepenuh hati, tulis dengan sebaik-baiknya! Masalah karya kita tergolong
fiksi serius atau populer, biarkan pembaca yang menilai. Jika belum menulis
kita sudah memikirkan ‘fiksi serius atau populer?’ jangan-jangan tulisan kita
nanti tidak selesai, betul nggak?
Jadi, mari kita menulis fiksi dengan bebas! ^^
Referensi:
Rahmanto, B & P. Hariyanto. 1999. Cerita Rekaan dan Drama. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Bener bu, saya sering nulis tapi gak selesai. Kebetulan, saya juga lama gak nulis lagi. Tapai saya dominan nulis ngawur sih bu. hehehe
BalasHapusPengeng nulis yang bener-bener, entah kenapa setelah mengikuti kelas menulis fiksi dengan teori-teori yang didapat saya jadi tambah linglung mau mulai menulis. Seakan-akan menulis itu memerlukan konsep atau menulis itu harus berkiblat pada teori-teori yang sudah ada.
Sebenarnya bagaimana sih bu ?
Apa saya salah ? saat saya menulis saya mengesampingkan teori-teori dan konsep itu ?
Wah, ternyata jadi tambah bingung ya? Sama, dulu saya juga pernah mengalami kebingungan seperti Yeny, dan ini lumrah terjadi. Nggak pa-pa, nggak salah kalau Yeny nulis tanpa mikir teori dan konsep, asal itu membuat Yeny jadi lancar menulis. Saran saya, saat menulis, buang jauh-jauh teori dan konsep. nah, kalau tulisan sudah jadi, boleh diintip lagi teori/konsep yang sudah dipelajari :). oke Yen?! Semoga Yeny bisa produktif lagi ya menulisnya. saya juga masih sering kok nulis ngawur, yang penting ide di kepala bisa dikeluarkan, hehe. Semangat Yen!
HapusBu, maksud dari bersifat artifisial itu apa ya bu ?
Hapusapa itu juga masih bisa disebut karya fiksi? jika membuat karya fiksi hanya sekedar becerita dalam tulisan tersebut tanpa ada percakapannya?
artifisial maksudnya dibuat-buat, istilah sekarang lebay, hehe. karya fiksi tanpa percakapan boleh kok. dialog itu dihadirkan supaya pembaca tidak bosan. kalau tanpa percakapan tapi penulis bisa membuat tulisannya tetap menarik & tidak membosankan, mengapa tidak?
HapusIbu, dalam satu cerita bolehkan ada dua sudut pandang?
Hapusboleh :)
Hapusiya setuju mba donna, yang penting mulai menulis tidak usah galau kalau naskah kita ngepop...
BalasHapusYoha mbak Dew, setuja! :)
Hapus