Translate

Minggu, 14 Desember 2008

Bude Pasti Sembuh...


“Apa kabar Bude? Bagaimana perkembangannya?” tanyaku hati-hati.
“Ya, seperti ini, kadang cenut-cenutnya hilang, kadang kambuh lagi..,” jawabnya parau. Di seberang sana, aku membayangkan perempuan itu tengah menahan sakit yang luar biasa. Bude termasuk kuat. Beliau masih rajin melakukan terapi di desa sebelah tiap sore, lalu seminggu sekali beliau juga terapi ke Sidoarjo, ke seorang tabib yang kabarnya bisa menyembuhkan sakit semacam penyakit yang dideritanya melalui ramuan tradisional. Bukan main usaha bude. Meski beberapa minggu terakhir keadaannya tambah drop, sampai tak bisa duduk (hanya bisa berbaring di kasur), bude tetap berusaha agar bisa sembuh. Ya, bude pasti bisa sembuh.

* * *
Datangnya ujian memang tak pernah dapat diduga.
Bude. Kata ibu tempo hari, tidak ada perkembangan berarti pada upaya penyembuhan yang dilakukan budeku itu pada penyakit yang selama setahun belakangan ini menggerogoti semangat hidupnya secara perlahan. Sakitnya sudah kronis. Tetapi tak ada salahnya terus berusaha dan berdoa untuk sembuh.
Ini semua karena ketaktahuannya perihal penyakit itu dari awal. Dan muara dari ketaktahuan beliau adalah sikapnya yang kurang waspada dan agak tertutup pada orang lain. Ah, seandainya bude menyadari hal ini dari dulu, tak mungkin ada kata terlambat.
Beberapa bulan yang lalu, pertama kali periksa ke dokter, bude langsung divonis terkena kanker payudara stadium lanjut. Betapa shock bude mendengarnya. Juga seluruh keluarga besar kami. Tak ada yang menyangka. Tak ada angin, tak ada hujan, selama ini bude juga tampak sehat dan segar bugar, tiba-tiba dokter mengatakan jika penyakit yang ditakuti sebagian besar kaum perempuan itu bersarang di tubuhnya. Memang dalam keluarga kami ada riwayat penyakit ini. Dulu nenek dari pihak ibuku (ibunya bude juga) meninggal karena kanker payudara. Faktor genetik ini mungkin menjadi salah satu pemicunya.
Sejak tahu penyakit mengerikan itu mengganas, bude berjuang untuk sembuh. Berbagai pengobatan alternatif dicobanya, mulai dari yang memakai jamu-jamuan tradisional (seperti ramuan kunyit putih), air bawang putih yang dioleskan, minyak ini itu, sampai yang bersifat supranatural. Bude juga menjauhi makanan-makanan yang digoreng. Tempe, tahu, dan sayur-sayuran yang direbus menjadi menu tetap sehari-hari. Sejauh ini memang belum menunjukkan hasil yang memuaskan, bahkan cenderung parah. Kabar terakhir yang kudengar, payudara bude terus-menerus mengeluarkan cairan, lukanya mengering, lalu berubah mengeluarkan darah.
Mengenai operasi, bude tidak mau melakukannya. Selain karena tak ada biaya, bude juga takut (takut merepotkan, karena biasanya setelah itu ada serangkaian proses kemoterapi yang juga butuh biaya besar). Intinya, bude belum siap lahir batin menjalani operasi.
Bude sadar, resiko kematian pada penyakit ini sangat besar. Tentang hal ini, bude pernah berujar, “jangankan yang sakit seperti bude, yang sehat saja bisa tiba-tiba meninggal.” Meski kadang ada kepasrahan, bude masih menunjukkan optimismenya untuk sembuh.
Lebaran kemarin, aku baru bisa melihat kondisi bude ketika mudik ke kampung halaman. Melihat kondisi fisiknya, bude masih terlihat gemuk seperti waktu terakhir kali bertemu dengannya bulan februari lalu. Bude juga masih beraktivitas seperti biasanya, masih membuka warung satenya setiap hari. Hanya pandangan matanya yang berbeda, terlihat sayu tak bertenaga. Entahlah, aku melihatnya seperti itu. Mungkin karena terbebani oleh sakit yang menderanya. Semoga Allah menabahkannya, memberinya ketegaran dan kekuatan, melimpahinya semangat…Amin.
* * *
Di mataku, bude adalah orang yang sangat baik, sangat pemurah. Semasa SD hingga kuliah, beliau selalu memberiku uang saku. Bukan kepadaku saja, tetapi hampir ke semua keponakannya. Bahkan ketika aku akan masuk perguruan tinggi, bude-lah yang pontang-panting mencarikan uang pinjaman untuk biaya masuk kuliahku. Ah, bude, keharuan selalu menyeruak di dalam hatiku mengingat perjuanganmu saat itu.
Bude mengukir kenangan masa kecilku dengan indah. Dulu, hampir tiap pagi aku dan saudara-saudaraku yang lain jajan kue pasar di tukang sayur. Yang bayarin bude. Kami tinggal ambil yang diinginkan, lalu lapor ke bude dan bu sayurnya, tadi apa saja yang dibeli. Selain itu, hampir setiap sore kami dapat jatah makan bakso di penjual bakso keliling. Jatah per-anak waktu itu tiga ratus perak. Itu sudah dapat tiga biji bakso. Jadi tiap hari, jajan kami yang berjumlah enam orang ditanggung bude.
Bude juga sering mengajak kami ke kota untuk menjual kulit kambing. Kami disuruh menemani cucu-cucunya yang waktu itu masih balita. Beramai-ramai kami ke kota menumpang becak yang mangkal di depan warung sate bude. Siapa saja yang ikut, sudah diatur secara bergiliran. Kalau bulan lalu giliranku dan adikku, maka bulan ini adalah giliran sepupuku yang lain. Yang pasti, satu becak tidak boleh dinaiki lebih dari lima orang termasuk abang becaknya. Kadang kalau becaknya kecil, kami harus mau saling pangku dan berdesakan. Bahkan sandaran tangan di pinggir kanan kiri becak dan besi di bagian belakang becak (tempat abang becak menyampirkan handuknya) pun bisa jadi tempat duduk. Sepanjang jalan, kami saling bercerita, apa saja. Lalu bernyanyi biar cucu bude terhibur, main tebak-tebakan, ledek-ledekan, pokoknya seru! Perjalanan naik becak selama kurang lebih satu jam pun jadi tidak terasa.
Setelah menjual kulit, kami tak langsung pulang ke rumah. Kami pasti di kelilingkan dulu. Kadang ke supermarket, ke pemandian, ke alun-alun dan taman mini, ditraktir makan di warung, atau ke rumah saudara. Berangkat pagi, sampai rumah biasanya sore atau malam hari. Mengenang itu semua, aku sungguh tak rela melihat bude menderita seperti sekarang. Dosa apa yang telah beliau perbuat?  Orang yang kutahu selama hidupnya selalu lurus, baik pada siapapun, harus menerima ujian begitu berat. Serupa adzab bagi para pendosa. Tapi aku yakin, Allah menyayangi bude.
“Seandainya Gusti Allah menakdirkan umur bude sampai disini, ya mau apalagi? Tapi kalau takdir bude sembuh, ya bude pasti sembuh,” ujar bude di seberang sana.
Ya, bude pasti sembuh.

2 komentar:

  1. ikut sedih ya atas sakit budenya..
    moga Allah beri kesembuhan yg sempurna tuk budenya..
    ngeri mbak kalo ngomongin masalah kanker..secara mamiku kemarin meninggal karena kanker hati juga :(

    BalasHapus
  2. amiin.. makasih doanya.. . wah, kanker hati lebih mengerikan ya..? turut berduka cita...

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊