Oleh: RF.Dhonna
Sukarti membolak-balik
modul di tangannya. Mata tuanya menyipit. Buat Sukarti yang sudah nenek-nenek,
tulisan di modul setebal bantal itu tampak tak jelas. Meski kacamata bacanya
telah dipasangnya dengan benar. Sebentar-sebentar disorongkannya modul
matakuliah Menulis Fiksi itu ke
depan, lalu ke belakang. Maju mundur. Tetap susah dibaca.
Perempuan setengah abad
lebih itu mulai frustasi. Andai ada Woro, anak perempuannya yang saat ini
tengah menempuh pendidikan magister di pulau seberang, ia takkan kesulitan
seperti ini.
“Rani, sini!” Sukarti
berteriak memanggil cucu kemenakannya yang menumpang tinggal di rumahnya sejak
kecil.
“Iya, Nek?” sahut Rani.
Perasaan gadis remaja yang kemarin baru masuk SMU itu tak enak.
“Nenek minta tolong
lagi ya, Cu. Kemarin dosen menugaskan nenek merangkum isi buku modul ini.
Tulisannya terlalu kecil. Rani tolong nenek membuat rangkuman ya,” Sukarti
memohon dengan muka memelas.
“Tuh, kan, merangkum lagi. Rani sudah mulai banyak tugas, Nek. Rani
sibuk. Bayar orang kek, buat
ngerjakan. Kenapa Rani terus? Kan yang kuliah nenek…,” sungut Rani kesal.
Dalam hati Sukarti
membenarkan perkataan cucunya. Dia yang kuliah, kenapa Rani yang ribet? Semangat Karti, lima juta di depan mata! Batin Sukarti menyemangati
diri sendiri.
Enam bulan lalu Sukarti
resmi jadi mahasiswa program kualifikasi. Kuliah ini diperuntukkan bagi
guru-guru yang belum S1. Istilah lainnya, penyetaraan. Sukarti sendiri, tiga
puluh tahun lalu selepas sekolah di Jawa merantau ke Kalimantan dan diterima
jadi guru SD di Samarinda. Sukarti bersyukur, kuliahnya kali ini tidak pakai
bayar. Pemerintah memberi beasiswa kepada semua guru yang menempuh program ini
sejuta per semester: untuk uang modul, transport, dan uang makan.
Nanti begitu lulus, gajinya
akan naik jadi lima juta. Kata pepatah, berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian. Sekarang harus berjuang dulu, senang
kemudian. Membayangkan itu, Sukarti jadi semangat lagi.
Meski maju mundur,
depan belakang, Sukarti bertahan mengeja satu persatu huruf di modul itu.
Hingga tanpa terasa jarum jam sudah menunjuk angka satu.
*
* *
Sabtu pagi. Sukarti
terbangun memeluk modul yang semalam dirangkumnya. Hari ini ada jadwal kuliah.
Disaat banyak orang sedang menikmati akhir pekan, Sukarti dan kawan-kawan harus
duduk manis di kelas mendengarkan ceramah dosen selama berjam-jam. Dari tengah
hari sampai sore. Lalu dilanjutkan besoknya, dari pagi hingga siang. Sepekan
dua kali untuk satu matakuliah, karena jadwalnya dipadatkan. Bagi yang sehat
wal afiat seperti dirinya, mungkin tak masalah. Tetapi bagi yang encoknya
sering kumat atau wasirnya sudah parah, tentu ini akan jadi siksaan hebat.
Apalagi tak jarang guru
dari kecamatan tertentu, ternyata dapat
kelas di kecamatan lain. Seperti dirinya, malah dapat kelas di Sanga Sanga,
sekitar satu jam dari Samarinda. Untung dapat menantu baik hati. Tiap Sabtu dan
Minggu mau disuruh ngantar mertua kuliah.
Sukarti bersiap
berangkat ke sekolah. Aktivitasnya padat hari ini. Setelah mengajar nanti, dia
langsung menuju ke Sanga Sanga untuk kuliah. Ada kabar, beasiswa tiga semester
akan cair hari ini. Ah, hatinya tambah bersuka cita.
*
* *
Matahari tepat di atas
kepala. Manto, suami anak pertama Sukarti, mengemudikan motornya pelan.
Membonceng Sukarti yang tengah duduk tenang di belakangnya. Perempuan itu baru
saja menerima amplop berisi uang beasiswa dari kantor dinas.
Manto harus hati-hati
dan konsentrasi penuh, sebab yang sedang dilewatinya adalah jalanan berlubang
disana sini, disertai tanjakan dan turunan curam. Ada juga bekas tanah longsor
yang masih ditandai police line.
Mobil-mobil tambang
yang tiap hari melintas dengan muatan berton-ton menggilas aspal tipis di
sepanjang jalan. Genangan banjir setelah hujan lebat semakin mempercepat
rusaknya jalanan itu.
“Masya Allah! Lebar betul lubang ini. Kalau ditanami pohon pisang
atau singkong, sebentar saja bisa panen tuh,”
ujar Manto setengah berteriak.
“Iya, heran mamak 1. Mana tanggung jawab
perusahaan batubara yang kaya-kaya itu. Maunya pakai saja. Giliran jalanan
rusak seperti ini, mereka pura-pura tidak tahu.”
Mereka berdua terus
menggerutu sepanjang jalan. Siapa pun yang melintas, akan merasa miris melihat
pemandangan kanan kiri yang gersang akibat galian batubara yang tidak ramah
lingkungan, atau bukit-bukit hijau yang mulai digunduli untuk dikeruk emas
hitamnya. Yang bikin tambah kesal, sejak jalur Samarinda—Sanga Sanga rusak
parah, perjalanan yang bisa ditempuh satu jam saja bisa molor sampai satu
setengah jam. Pinggang akan terasa remuk redam sehabis diajak ajrut-ajrutan.
Sesampai di lokasi
perkuliahan, kelas masih sepi. Hanya dua orang yang tampak. Sukarti segera
membuka amplop putih panjang yang diterimanya tadi. Dihitungnya lembaran uang
seratus ribuan itu satu persatu. Alangkah kagetnya Sukarti.
“Lho, kok cuma segini?”
Sukarti kebingungan.
“Kenapa, Mak?” Manto
menghampiri.
“Cuma dua juta. Mana
sejutanya? Nggak salah hitung kah, mbak-mbak tadi?”
“Masak sih, Mak?”
“Eh, Madang, kau sudah
ambil uang kah?” Sukarti menghampiri teman kuliahnya yang sedang sibuk sms.
“Iya, kenapa, Cil? Kurang kah? Sama kalau begitu! Ini
ku sms teman-teman, apa sama nasibnya kayak kita.”
Wajah Sukarti mulai
bingung dan cemas. Satu persatu teman kuliahnya datang dengan wajah yang sama.
Sedetik kemudian, kasak kusuk pun ramai terdengar. Lalu dosen datang. Mereka
kuliah dengan pikiran yang sama: kemana uang sejuta itu?
*
* *
Semalam Sukarti tak
nyenyak tidur. Pagi ini ia bertekad mendatangi kantor dinas. Ia akan
menanyakan, kemana larinya uang sejuta itu.
“Kada ada gunanya, Cil,
tanya-tanya. Percuma. Nanti malah nama Acil
2 ditandainya. Bisa-bisa beasiswa Acil ditahan,” nasihat Awang, teman sekelas Sukarti, ketika Sukarti
menggagas demo kecil-kecilan ke kantor dinas di hadapan teman-temannya.
“Iya, Cil, kada
3 usah cari masalah,” timpal Madang.
“Ikam 4 ini ya, itu hak kita. Harus kita tanyakan! Kalau
kita diam saja, keenakan mereka. Sampai anak cucu kita nanti pasti akan
didzoliminya. Ikam nyaman 5, penghasilan
dari mana-mana. Ulun6 sudah kada
bersuami, anak bungsu kuliah. Sejuta itu bisa buat ngganjal perut!” terang
Sukarti. “Pokoknya, biar ikam kada
ada yang mahu 7, ulun
tetap datangi kantor dinas!” tambahnya berapi-api.
Tidak ada yang berhasil
membendung keinginan Sukarti.
*
* *
“Ibu kalau mau protes,
tempatnya bukan disini, Bu. Harusnya Ibu bersyukur, kuliah dapat keringanan.
Ibaratnya, Ibu ini ditolong sama pemerintah. Nah, karena sudah ditolong, nggak
usah macam-macam,” urai petugas yang berhasil ditemui Sukarti siang itu.
“Tapi, Pak, janjinya
kan sejuta satu semester. Kalau tiga semester berarti tiga juta. Potongannya
sejuta per orang. Banyak betul,” sanggah Sukarti.
“Potongannya memang
sejuta, Bu. Untuk pajak dan biaya administrasi.”
“Kenapa tidak
dibicarakan di awal, Pak, waktu kami belum kuliah dulu? Kalau begini kan,
berarti sepihak. Kami tidak tahu apa-apa. Begitu dana cair tiba-tiba ada
pemotongan!” suara Sukarti mulai meninggi.
“Sekarang begini, Ibu
mau lanjut kuliah apa berhenti? Itu saja sebenarnya.”
“Seandainya kalau
berhenti tidak ada keharusan mengembalikan biaya kuliah dua kali lipat, saya
pasti mundur dari kemarin, Pak,” dada Sukarti mulai sesak. Ada yang tertahan di
dalamnya.
“Ya sudah, kalau mau
mundur, mundur saja. Gitu aja kok repot.”
Mendengar itu, dada
Sukarti serasa mau meledak. Ia sudah tidak tahan.
Sukarti cepat-cepat angkat
kaki sebelum meledak betulan.
Benar-benar
tidak tahu adat! Tidak punya sopan santun sama orangtua! umpat
Sukarti dalam hati. Perempuan paruh baya itu pulang menelan kekecewaan yang
amat sangat.
Sesampai rumah, Woro
menelponnya, menyampaikan kabar yang tak kalah buruknya dari yang dialaminya
tadi. Membuat kepalanya makin pening.
“Beasiswaku terpotong
dua semester, Mak. Katanya buat pajak dan biaya administrasi,” lapor Woro.
Astaghfirullah,
negara macam apa ini? Sukarti mengelus dada.
Woro mendapat beasiswa
24 juta untuk pendidikan magisternya selama empat semester. Dua semester
berarti dua belas juta!
Sukarti serasa tertimpa
tangga berkali-kali. Bertubi kemalangan datang dalam sehari. Sukarti tak tahu
harus berbuat apalagi. Pikirannya buntu.
*
* *
Butuh dua minggu bagi
Sukarti untuk memulihkan mentalnya yang sempat down. Perempuan itu
teringat, ia harus segera melunasi uang kuliah anaknya.
Tahun ajaran baru,
Sukarti jadi ketua penerimaan siswa baru di sekolah tempatnya mengajar.
Semalam, sepucuk surat edaran untuk orangtua siswa baru, selesai dikonsepnya.
Surat itu dibuat tanpa persetujuan guru-guru lain.
Sukarti mengajar di SD
favorit. Dia senior di sekolah itu. Tak heran jika setiap mengambil kebijakan,
suara Sukarti selalu dipertimbangkan oleh kepala sekolah.
Kemarin Sukarti
menyuarakan keinginannya menarik uang sumbangan perawatan gedung dan
pembangunan musola sekolah. Dia minta ditunjuk sebagai pengelolanya. Kepala
sekolah menyetujui.
Dua juta. Nominal yang
cukup fantastis bagi orangtua murid sekolah dasar. Tapi Sukarti tak peduli.
Yang dipikirkannya saat ini hanya satu, bagaimana mendapat banyak uang dalam
waktu singkat. Untuk melunasi pembayaran, Sukarti atas nama sekolah memberi
toleransi satu bulan saja.
Kalau
ada orangtua murid keberatan, cari saja sekolah lain. Sekolah favorit tidak
akan kekurangan murid, pikir Sukarti.
*
* *
Sukarti tengah asyik
menghitung uang ketika dua lelaki berseragam rapi tiba-tiba muncul di
hadapannya.
“Ibu, mohon ikut kami
ke kantor polisi sekarang,” kata seorang diantaranya.
“Ada apa? Saya sedang
banyak kerjaan, Pak,” ujar Sukarti tanpa curiga.
“Maaf, Bu, harus
sekarang. Ini surat perintah dari kepolisian. Kemarin ada yang melapor ke kami,
ada pungutan liar di sekolah ini. Ibu akan kami periksa.”
Seketika gemetarlah lutut
Sukarti. Tak kuat menopang tubuhnya yang berat, sedetik kemudian Sukarti pun
ambruk tak sadarkan diri.
Tiga bulan kemudian,
Sukarti resmi jadi tersangka.
*
* *
Keterangan:
1 Ibu
2 Bibi
3 Tidak
4 Kamu, kalian
5 Kamu enak
6 Saya, aku
7 Mau
Muara
Jawa, Juli 2011
*Cerpen ini ada di buku Kalimantan Timur Dalam Cerpen Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊