Tri Wahyuni Zuhri saat menerima penghargaan Kartini Next Generation Award 2015 di Jakarta (Foto: dok. Tri Wahyuni Zuhri) |
Siang itu, di tengah
keriuhan sebuah pusat perbelanjaan Kota Samarinda, seorang perempuan yang
terbaring di atas tempat tidur beroda didorong masuk gedung oleh beberapa
petugas medis melalui tangga berjalan. Didampingi keluarga dan para sahabat, ia
tampak menarik perhatian pengunjung yang sedang berbelanja. Mungkin di benak
mereka bertanya-tanya, “Orang sakit kok masuk mall?”
Itulah sosok Tri
Wahyuni Zuhri, seorang penulis kebanggaan Kalimantan Timur. Meski sedang
tergolek lemah karena kanker tiroid yang dideritanya sejak 2013 lalu,
Yuni—demikian sapaan akrabnya—dengan senang hati tetap menghadiri undangan panitia Festival
Taman Bacaan Masyarakat untuk menjadi pemateri bedah buku Kanker Bukan Akhir Dunia yang ditulisnya sendiri.
“Sebenarnya minder juga
bertemu dengan banyak orang dengan keadaan seperti ini, di mall pula. Tapi Bismillah,
ini kesempatan saya untuk mengedukasi masyarakat tentang kanker serta
memotivasi banyak orang untuk menulis,” ungkapnya.
Setahun terakhir, Yuni
lebih banyak beraktivitas di atas tempat tidur karena kondisi fisiknya tidak
memungkinkan untuk berdiri, duduk, atau berjalan dalam waktu lama. Meski
demikian, alumni Universitas Brawijaya ini tetap semangat menulis apa pun.
Bahkan saat ini ia sedang menggarap otobiografi yang mengisahkan pengalaman hidupnya.
Tri
Wahyuni Zuhri dan Literasi
Yuni menulis sejak
remaja. Kecintaan menulis tumbuh karena ia terinspirasi oleh sang kakek, H.M.
Noor, ARS, yang seorang penulis sejarah di Kalimantan Timur. Kemudian saat
bersekolah di SMP Negeri 1 Samarinda, Yuni bergabung dengan tim majalah dinding
sekolah tersebut. Saat kuliah, ia sempat vakum menulis karena harus fokus kuliah.
Begitu lulus, ia pun menggerakkan penanya untuk berkarya kembali. Tulisan-tulisannya
dalam bentuk cerpen dan artikel bertebaran di berbagai media cetak dan buku
antologi.
Pada tahun 2005 buku
solo pertama Yuni yang berupa kumpulan cerpen berjudul Tidak Cukup Hanya Cinta berhasil terbit. Setelah itu, perempuan
kelahiran 1 Mei 1980 ini pun semakin produktif menulis. Sambil menulis dan
berbisnis, Ibu tiga anak ini juga aktif dalam komunitas menulis seperti Ibu-ibu
Doyan Nulis (IIDN), Studio Kata, Perempuan Penulis Kaltim (PPK), dan Jaring
Penulis Kaltim (JPK). Yuni mengakui, itulah salah satu rahasia produktivitasnya
dalam menulis, yaitu bergabung dalam komunitas. “Berkomunitas itu banyak sekali
manfaatnya. Kita berinteraksi secara intens dengan orang-orang yang memiliki
hobi yang sama dengan kita, sehingga secara tidak langsung kita akan saling
menyemangati. Itu salah satu manfaatnya.”
Tri Wahyuni Zuhri dan penulis (berdampingan), serta penulis Kaltim lain saat bertemu dalam salah satu acara Dialog Borneo Kalimantan XI tahun 2011 lalu (foto: dok. Sari Azis) |
Yuni beberapa kali
terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kepenulisan di Kalimantan Timur. Seperti
tahun 2011 lalu, ia turut berpartisipasi dalam acara Dialog Borneo Kalimantan XI dengan menyumbangkan beberapa
tulisannya tentang Kalimantan Timur untuk dibukukan dalam buku Kalimantan Dalam Prosa Indonesia, Kalimantan Timur Dalam Cerpen Indonesia,
dan Kalimantan Timur Dalam Sastra
Indonesia. “Senang sekali rasanya saat itu, karena tulisan saya bisa sebuku
dengan Pak Korrie Layun Rampan dan sastrawan besar Kaltim lainnya,” kenangnya.
Sejak tervonis kanker
dan tidak bisa leluasa beraktivitas, Yuni sering merasa sedih saat melihat
teman-teman sesama penulis menghadiri acara-acara kepenulisan. “Jujur, kadang
saya suka berandai-andai, andai saya bisa berjalan, pasti saya hadir juga
disitu. Tapi akhirnya saya sadar, kondisi saya sudah seperti ini. Tidak mungkin
saya memaksakan diri. Saya tidak boleh meratapi takdir. Yang harus saya
pikirkan adalah, bagaimana saya bisa tetap berkontribusi untuk kemajuan
literasi Kaltim meskipun saat ini saya sedang mengalami keterbatasan fisik.”
Yuni pun mencoba
memasuki beberapa komunitas baru di Kalimantan Timur untuk menularkan virus
menulis melalui media daring. Salah satunya adalah Blogger Samarinda yang sebagian besar anggotanya adalah anak-anak
muda. “Saya melihat mereka ini sebenarnya punya potensi menghasilkan uang dari
blognya. Hanya saja, kurang mendapat kesempatan. Mungkin karena berdomisili di
daerah ya. Nah, saya ingin blogger Samarinda mendapat kesempatan yang sama
seperti para blogger di kota-kota besar yang sudah menjadikan kegiatan menulis
blog sebagai profesi,” ujarnya bersemangat.
Dengan semua yang telah
dilakukannya selama ini, Yuni menerima penghargaan sebagai Penulis Inspiratif
Kaltim 2016. “Alhamdulillah, saya nggak nyangka akan mendapatkan penghargaan
itu. Saya hanya ingin berbuat yang terbaik di sisa hidup saya. Semoga ini
menjadi motivasi untuk saya dan orang lain,” ungkapnya penuh haru.
Menulis
untuk Terapi Jiwa
Yuni mengaku sempat
terpuruk saat menerima vonis kanker tahun 2013 lalu. “Awalnya sempat down juga terkena vonis kanker. Lalu
sekuat tenaga saya berusaha bangkit. Saya ingat anak-anak. Saya harus berusaha
sembuh agar bisa menemani mereka tumbuh. Bisa dikatakan, mereka adalah
penyemangat sekaligus motivator utama saya.
Alhamdulillah akhirnya saya bisa berdamai dengan kanker,” ujar ibu dari Muhammad Arya Anugrah (12), Raisyah Aulia Chairani (8), dan Ahmad Luthfi Ramadhani (5) ini.
Kini kanker seolah tak mampu
menyurutkan langkah Yuni untuk selalu berkarya. Anak ketiga dari lima
bersaudara pasangan H.Achmad Zuhri
dan Hj.Noor Aisyah ini tetap aktif
menulis, terutama mengisi dua blognya, www.yunirahmat.blogspot.co.id
dan www.triwahyunizuhri.blogspot.com. Yuni pun
menulis buku Kanker Bukan Akhir Dunia
karena masih sedikit buku yang mengupas penyakit kanker. Padahal saat menulis
buku tersebut, kanker yang dideritanya sudah stadium lanjut, sudah menyebar ke
tulang belakang. “Saya bertekad, saya harus menulis buku yang bermanfaat.
Selain itu, saya juga berpikir bahwa menulis itu adalah terapi jiwa. Sejak buku
ini terbit dan dibaca oleh banyak orang, saya tidak hanya merasakan indahnya
berbagi, tetapi juga merasakan kekuatan dalam diri saya, menemukan banyak teman
dari seluruh dunia, sehingga tumbuh semangat positif,” jelas Yuni ketika
ditanya tentang alasannya tetap menulis meskipun sedang sakit parah.
Selain itu, saat ini
Yuni sangat produktif menulis resensi buku. Hampir setiap minggu resensi buku
yang ia tulis dimuat di media cetak Kalimantan Timur. “Alhamdulillah, setiap minggu ada bacaan yang saya selesaikan, dan
rata-rata buku baru. Setelah tuntas membaca, saya tulis review-nya dan langsung saya kirim ke media cetak. Ketika dimuat,
seperti ada kepuasan tersendiri yang saya rasakan. Itu salah satu kebahagiaan
saya,” tuturnya.
Kelas
Menulis Daring
Perkembangan teknologi
saat ini semakin canggih. Bagi mereka yang bisa memanfaatkan teknologi dengan
baik, tentu akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup mereka. Hal
inilah yang dirasakan Yuni. Meski sehari-hari hanya bisa terbaring di tempat
tidur—bahkan untuk mengetik tulisan pun dilakukannya sambil berbaring—Yuni
bersyukur masih bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan dunia
kepenulisan.
“Iya, bersyukur sekali
saya masih bisa berbuat sesuatu dari tempat tidur, masih bisa mengirim tulisan
ke media cetak, masih bisa ikut kompetisi menulis, dan berbagi apa pun melalui
blog,” ujarnya semringah.
Yuni pun bercerita,
kalau saat ini ia tengah aktif mengedukasi kanker kepada masyarakat luas, serta
mendampingi dan mendukung teman-teman sesama penderita kanker. “Saya ini
termasuk penderita kanker yang terlambat mengetahui penyakit saya, karena saat
itu saya tidak tahu informasi apa pun tentang kanker. Sebenarnya tahun 2006
saya pernah menemukan benjolan kecil di leher saya yang kemudian dioperasi.
Setelah itu saya tidak melakukan tindakan apa-apa lagi karena saya pikir itu
hanya benjolan biasa. Nah, ketika sakit itu muncul lagi, ternyata kanker dan
sudah parah. Saya tahu rasanya waktu sendirian menghadapi kanker tanpa arah
tujuan. Belum lagi harus berperang dengan rasa nyeri dan biaya pengobatan yang
tidak sedikit. Karena itulah saya harus membagikan pengalaman saya kepada
masyarakat, supaya tidak ada lagi yang mengalami ketidaktahuan seperti saya.”
Yuni juga menularkan
virus menulis untuk para anggota komunitas pejuang kanker yang ia ikuti. “Saya
merasa, menulis itu membuat saya bahagia. Menulis, menurut saya, adalah salah
satu kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas hidup para penderita kanker
seperti saya. Saat ini saya tidak mau berpikiran negatif, saya berusaha tetap
berpikir positif, karena umur kita hanya Allah yang tahu. Nah, kalau memang
saya atau teman-teman sesama penderita kanker nantinya tidak berumur panjang,
saya ingin hidup kami berarti dan bermanfaat bagi banyak orang,” tuturnya. Atas
semua yang ia lakukan itu, tak heran jika tahun lalu Yuni diberi penghargaan Kartini Next Generation 2015 oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.
Tentang
Keajaiban dan Impian
Dukungan keluarga
sangat penting untuk para penderita kanker. Sebagai penderita kanker stadium
lanjut, Yuni pun merasakan hal itu. “Saya berterima kasih kepada kedua
orangtua, suami, dan anak-anak, yang selama ini sabar dan ikhlas mendampingi
saya. Mereka adalah kekuatan saya.”
Yuni mengaku, banyak
keajaiban yang terjadi padanya sejak tervonis kanker. “Bisa bertahan empat
tahun sebagai pasien kanker tiroid stadium akhir, itu keajaiban buat saya,
karena teman-teman saya sesama penderita stadium akhir banyak yang sudah
meninggal. Dokter saya di Jakarta mengatakan, menurut penelitian, penderita
kanker stadium lanjut yang bisa bertahan hidup hingga lima tahun hanya sekitar
50%. 50% sisanya di bawah lima tahun. Saat ini saya sudah ikhlas, hidup dan
mati di tangan Allah, Allah yang mengatur semuanya,” ungkapnya pasrah.
Tri Wahyuni Zuhri menulis setiap saat, meskipun sambil berbaring (foto: dok.pri) |
Tiga buku solo yang
ditulis Yuni diterbitkan oleh penerbit besar saat ia tengah berjuang melawan
kanker yang semakin ganas menggerogoti tubuhnya. “Itu keajaiban lain yang saya
rasakan. Dulu saat masih sehat, saya mati-matian ingin punya buku solo. Tapi
justru saat saya sakit dan berserah diri kepada Allah inilah Allah
memperlihatkan kuasanya. Saya mendapat banyak kesempatan yang tidak pernah saya
pikirkan. Buku-buku saya diterbitkan penerbit besar, profil saya ditulis oleh
banyak media cetak, mendapat berbagai penghargaan terkait kepenulisan, dan
banyak lagi. Subhanallah, Allah
seakan menegur saya. Penyakit kanker ini bukan apa-apa, karena Allah masih
menunjukkan kasih sayangnya kepada saya. Ini sebuah pelajaran hidup yang saya
terima di sisa umur saya.”
Lalu, apa impian
terbesar Yuni yang belum tercapai? “Seandainya Allah masih berkenan
memanjangkan umur saya, saya ingin hidup seatap dengan anak-anak dan suami.
Sejak saya tervonis kanker, kami terpisah karena suami harus bekerja di luar
kota. Sebenarnya sederhana sekali impian saya, ya? Tapi itulah yang selalu saya
sebutkan dalam setiap doa dan solat saya.”
Tak banyak sosok tegar
dan gigih seperti Tri Wahyuni Zuhri, yang bisa menginspirasi banyak orang dalam
melampaui keterbatasan. Satu hal yang menjadi prinsip penulis hebat ini, “Apa
pun yang terjadi, selama Allah masih memberi nafas dan kemampuan, itu artinya
kita masih diberi kesempatan untuk terus berbagi dan bermanfaat untuk orang
lain.” [RF. Dhonna]
*tulisan ini terpilih menjadi Juara 1 Lomba Menulis Feature Se-Kaltim & Kaltara 2016 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kalimantan Timur
Joss
BalasHapusJoss
BalasHapusJoss
BalasHapusYa Allah Mbk Yuni....semoga Allah berikan surga untukmu.
BalasHapusAamiin... makasih mbak
Hapus