Saya malu, sedih sekali menyaksikan peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh sebuah ormas berembel-embel Islam kepada sekelompok massa yang bernaung di bawah ormas ‘beraliran’ kebangsaan, pada Minggu 1 Juni kemarin di Monas. Bagi saya, peristiwa itu tidak hanya mencoreng Islam sebagai agama penuh cinta dan kasih sayang, tetapi juga mempertanyakan moral bangsa ini. Rekaman tragedi penyerangan itu yang ditayangkan di semua stasiun televisi, menggambarkan dengan jelas betapa brutalnya ormas Islam itu. Mereka memukuli semua yang ada di Monas—tak peduli apakah mereka wanita, anak-anak, atau manula—merusak semua properti yang ada, begitu membabi buta, persis seperti binatang, anarkis, tidak berperikemanusiaan sama sekali.
Apapun alasan di balik penyerangan itu, entah demi penyelamatan akidah dari aliran sesat atau apapun, saya tetap tidak setuju dengan tindakan sepihak mereka. Apakah tidak ada cara lain yang lebih beradab selain melakukan kekerasan? Dimana otak mereka? Kenapa tidak menggunakan otak itu untuk berpikir lebih arif dan bijak?
Di mata saya, mereka seperti orang-orang yang tak punya akal dan hati. Bukan sekali ini mereka bertindak main hakim sendiri, sudah berkali-kali. Pengrusakan seolah sudah menjadi makanan wajib mereka. Benar-benar destroyer.
Saya tidak habis pikir, dimana mereka menempatkan Allah dan Islam saat mereka bertindak buas seperti itu? Islam itu damai, rahmatan lil alamin, Islam itu cinta, tidak pernah mengajarkan kesemena-menaan, kekerasan, dan hal-hal keji lainnya kepada penganutnya.
Saya kecewa sekali. Kalau sudah begitu, bukan aliran sesat yang mereka tuduhkan itu yang menodai agama, justru merekalah yang menodai agama dengan tingkah polah mereka yang sadis itu.
Jika alasan mereka karena polisi tidak mampu mengatasi kemaksiatan yang terjadi di negara ini, janganlah lantas bertindak seenaknya seperti itu. Ada aturan, ada banyak cara, ada etikanya. Kenapa mereka tidak melakukan mediasi baik-baik saja dulu dengan pihak-pihak yang berseberangan dengan prinsip mereka, duduk semeja dengan kepala dingin, lalu memecahkan masalah yang ada bersama-sama. Begitu lebih terhormat, daripada langsung beraksi di depan umum mempertontonkan kebiadaban seperti itu.
Belum tuntas insiden Monas, pelaku-pelakunya juga belum lagi ditetapkan, terjadi lagi aksi serupa di Jogja. MasyaAllah, sedikitnya lima orang yang tak tahu apa-apa dianiaya sampai luka parah. Itulah akibatnya kalau otot lebih dikedepankan daripada otak, salah sasaran.
Setelah itu, tanpa malu-malu mereka membela diri, mengumbar penyangkalan di sejumlah stasiun televisi, bahwa apa yang mereka lakukan benar: jihad fi sabilillah. Aksi damai yang dimotori oleh ormas kebangsaan di Monas kemarin—menurut mereka—tidak benar adanya, karena mereka mendapati seorang pengikut ormas tersebut membawa senjata api. Lalu mereka juga menyangkal telah melukai wanita dan anak-anak pada insiden Monas kemarin. Itulah ciri khas mereka: sombong, tidak mau disalahkan, merasa paling benar. Padahal tak ada yang berhak menyombongkan diri selain Allah SWT.
Oke, visi misi mereka sesuai syariat, tapi cara-cara yang mereka tempuh sama sekali tak pernah syar’i, jauh dari syar’i. Mereka sering melanggar HAM, menginjak-injak harkat kemanusiaan mereka sendiri. Mereka selalu mempertontonkan keberingasan menyerupai sifat-sifat setan.
Apapun alasannya, dan siapapun yang terbukti bersalah dalam insiden Monas, Jogja, dan insiden-insiden lain, polisi harus berani menindak tegas pelaku anarkisme serta pelanggaran HAM sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ya Allah, tuntunlah mereka semua kembali ke jalan-Mu, jalan yang penuh kebenaran, cinta, dan kedamaian. Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊