Masih dalam rangka Hari Perempuan Sedunia 8 Maret, saya sengaja memosting tulisan yang bertema "perempuan", sebagai kado untuk para perempuan :). Kali ini dalam bentuk cerpen. Cerpen ini belum pernah dimuat di media manapun. Idenya berdasarkan kisah nyata. Cerpen ini saya tulis karena saya prihatin terhadap nasib beberapa perempuan di sekitar kehidupan saya. Selamat membaca, semoga bermanfaat :)
“Mamaaa, ada tanteee!” teriakan Dino
menghentikan langkahku. Aku terpaku di pintu. Ruang tamu tampak penuh. Pakaian
kering yang baru diangkat dari jemuran menumpuk di sofa tua yang bagian
bawahnya hampir jebol. Kasur busa kecil dengan bau ompol yang menyengat
tergeletak di sampingnya. Lantai penuh dengan ceceran nasi dan mainan. Dino dan
Ata saling berceloteh. Dua bocah di depanku itu kembali asyik dengan mainannya.
Sesekali Dino mengusap ingus yang meleleh dari hidung sang adik. Keduanya
seolah tak terpengaruh dengan masalah berat yang membelit kedua orangtuanya.
Mereka tetap saling menyayangi.
Kuhampiri Kinar di dapur. Tangannya
belepotan tepung dan telur. Melihatku datang, saudara kembarku itu membasuh
kedua tangannya, lalu mengelapnya dengan celemek yang dipakainya.
“Dimana dia?” tanyaku.
Kinar mengedikkan bahu, “Seminggu ini
enggak pulang,” ucapnya tanpa beban.
Mendengar itu, aku sudah tak tahan untuk
tidak meluapkan kekesalanku. “Suami enggak pulang seminggu, kamu bisa setenang
ini? Ya ampun, Kinar, sampai kapan?!”
“Yang penting semua gajinya kupegang.
Realistis saja, aku butuh uang untuk merawat anak-anak. Kamu tidak perlu menasihatiku
lagi!” ketusnya seraya berlalu ke ruang tamu.
“Astagfirullah!”
Spontan kutepuk jidatku. “Oke, aku memang belum pernah menikah. Tapi tolong
jujur. Apa kamu bahagia dengan keadaan ini? Ini persoalan harga diri. Kalau
pernikahan ini dipertahankan demi materi, kamu enggak ada bedanya sama pelacur!”
PLAK! Tamparan keras mendarat di pipiku.
“Jaga omonganmu!” tegur Kinar. Wajahnya merah padam. Dino dan Ata mematung
menatap kami.
@ @ @
Entah apa yang ada di benak Kinar. Si
Bram brengsek itu sudah jelas-jelas menyakitinya. Tetapi Kinar kukuh
mempertahankan rumah tangganya yang sudah dikaruniai dua balita itu.
Sebagai saudara, aku sungguh tak terima.
Kinar sudah mengorbankan masa depannya. Sepuluh tahun lalu, demi menikah dengan
laki-laki playboy itu, Kinar rela
melepas karirnya sebagai penyanyi. Kontrak sudah ditandatangani, tinggal
selangkah lagi memasuki dapur rekaman, tetapi beberapa minggu kemudian Bram
membawa lari Kinar.
Ibu yang sudah terlanjur menggantungkan
harapan pada Kinar untuk mengangkat nama keluarga, seketika kecewa. Sumpah
serapah dimuntahkan untuknya. Entah terkait atau tidak, sepuluh tahun berumah
tangga, Kinar belum juga dikarunia momongan. Begitu hamil di tahun kesebelas,
perselingkuhan demi perselingkuhan dilakukan Bram. Semua meninggalkan benih.
Sialnya, Kinar terlambat mengetahui kebusukan suaminya.
Ata menggapai-gapai boneka beruangnya.
Anak perempuan yang baru genap setahun itu tampak kurus.
Kubungkukkan badanku, kusodorkan boneka
beruang itu ke tangan mungilnya. Rambutnya yang tipis kuelus perlahan. Matanya
yang bening menatapku lama. Seolah berterima kasih, Ata tersenyum kepadaku,
menampakkan deretan gigi susunya yang bersih. Ah, senyum itu. Siapa pun yang
melihatnya, pasti setuju jika tak ada yang tega mengubah senyum ceria itu
menjadi kemurungan.Tak heran jika Kinar pernah menyatakan bahwa Ata-lah alasan
utama yang membuatnya bertahan.
“Kalau aku minta cerai, siapa yang
menafkahi anak-anak? Aku enggak punya ijazah buat ngelamar kerja. Aku juga
enggak punya keterampilan yang bisa mendatangkan uang,” ungkap Kinar saat itu.
Mendengar ini, hatiku miris. Perempuan-perempuan seperti Kinar selalu tidak
punya posisi tawar ketika menghadapi perceraian.
Itulah mengapa, sejak remaja aku
bertekad harus mandiri. Menurutku, perempuan mandiri akan lebih berani
memutuskan apapun untuk hidupnya.
Kuraba pipi kananku. Bekas tamparan Kinar
masih sakit. Aku maklum. Mungkin aku terlalu lancang mencampuri urusannya. Aku
tidak akan menyerah.
Aku menyayangi Kinar. Aku
akan berusaha menyelamatkannya dari cengkeraman laki-laki biadab itu. Kinar berhak
mendapatkan kebahagiaan.
@ @ @
Siang itu setelah menerima telpon Kinar,
dengan masih berseragam kantor tergesa kulangkahkan kaki ke rumahnya. Kinar
tidak pernah memintaku datang, kecuali ada sesuatu yang sangat penting.
Sepanjang jalan aku terus menduga-duga, apa yang terjadi padanya?
Dino menyambutku di halaman. Tapi tak
kulihat Ata bersamanya.
“Tante jangan masuk,” Dino menahanku,
“Mama masih bertengkar sama Papa,” lanjutnya polos.
Aku tercekat, Dino yang masih empat
tahun berkata seperti itu?
Kudekap Dino. Ya Tuhan, jaga Dino, biarkan kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang penuh
kasih, batinku.
“Adik mana?”
“Tadi dibawa Yang Ti,” jawabnya.
Syukurlah, rupanya tadi Ibu kesini.
“Dino main ya, Tante mau ketemu Mama,”
jelasku. Dino berlari ke rumah tetangga.
Di pintu, aku berpapasan dengan Bram. Kami
sama-sama membuang muka. Entahlah, seperti apa rupanya. Yang kutahu, ketika
berpapasan, hidungku sempat mencium aroma alkohol.
Setengah berlari aku menuju kamar Kinar.
Langkahku terhenti di pintu kamar yang kedua sisinya terbuka lebar. Kulihat Kinar
duduk di tepi ranjang, menghadap jendela. Baju yukensi yang dikenakannya tak
dapat menyembunyikan lengannya yang lebam membiru.
“Masuk!” ujar Kinar, masih membelakangiku.
Ragu-ragu kulangkahkan kaki
mendekatinya. Dengan posisi menyamping, aku duduk di sebelahnya. Kami sama-sama
menghadap jendela. Aku tak berani menatapnya.
“Apa selama ini aku terlihat tidak
bahagia?” tanyanya lirih. Mulutku terkunci, lidahku kelu, seolah ada sesuatu
yang menahanku bersuara.
Tiba-tiba tangis Kinar pecah, seperti
tangis anak kecil yang kehilangan, sangat memilukan. Terakhir kami menangis
bersamaan saat SD, ketika nenek meninggal dunia.
Sesaat aku bingung harus berbuat apa.
Kubiarkan Kinar membenamkan wajahnya di dadaku. Ragu aku memeluknya. Meski
pedih, entah kenapa, aku tak mampu menitikkan air mata.
“Ini takdirku. Aku sering menyakiti Ibu.
Aku pantas menerimanya,” Kinar mengulang nasihatku beberapa waktu lalu. “Kamu
benar, aku harus minta maaf sama Ibu,” lanjutnya.
Kinar mengangkat wajahnya. “Aku mau
cerai. Aku enggak mau membinasakan diriku sendiri. Lebam ini akan jadi yang
terakhir,” ucapnya mantap. Samar kulihat semangat dan keberanian di mata
sembabnya. Hatiku terasa plong mendengar itu. Aku mendukungmu. Aku akan selalu di sampingmu…
@ @ @
Senang rasanya melihat Kinar kembali
bergairah. Setelah bercerai, ia meninggalkan rumah yang selama ini ditempatinya
bersama Bram. Kinar dan kedua buah hatinya kini seatap denganku, serta Bapak
dan Ibu.
Di rumah masa kecil kami, Kinar memulai
hidup baru. Sesuai minatnya, kubelikan ia setumpuk buku resep kue dan aneka
masakan dari pasar buku bekas. Kinar memang berbakat di bidang kuliner. Hasil
racikan tangannya mampu menggugah selera makan kami sekeluarga. Setiap hari, ia
begitu antusias mencoba resep baru. Sementara ini Kinar dan anak-anaknya
menjadi tanggunganku.
“Aku ingin membuka toko kue, atau warung
makan. Kamu mau kan, minjemin modal?”
“Beres.”
“Perkiraan setahun bisa balik modal,
nambah karyawan, dan buka cabang,” tukasnya berbinar-binar. Ah, bahagia rasanya
melihat asa itu kembali berpijar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊