Cerpen: R.F Dhonna
“Banguuuun!” teriak Tweety kencang. “Banguuun, Nanda!” serunya sekali lagi. Percuma, Nanda tak bergeming. Tweety berteriak untuk ketiga kalinya, dilanjutkan teriakan keempat, kelima… yup! Nanda mulai menggeliat. Tweety bersorak girang.
Nanda membuka matanya perlahan, lalu dipukulnya Tweety dengan gemas hingga, “AUW!” Tweety terpelanting ke kolong tempat tidur.
“Aduh… sakit…,” ratap Tweety pelan. “Katanya minta dibangunin jam lima. Udah dibangunin sampai pita suaraku hampir putus, eh, nggak dipeduliin, malah dapat pukulan lagi. Hu… hu…,” gerutu si pipi gembul itu sambil menangis.
“Ada apa lagi, Ty?” ternyata di kolong itu ada Casio.
“HWA…!” ditanya begitu, tangis Tweety semakin keras. “Aku dipukul lagi, padahal aku sudah menjalankan tugasku dengan baik…,” adunya pada Casio.
“Sudahlah, kamu nggak sendiri. Nasib kita sama, Ty. Kita cuma bisa mengingatkan Nanda. Kalau toh, nanti Nanda mengalami kejadian buruk, itu bukan kesalahan kita. Yang penting, kita sudah mengingatkan,” ucap Casio bijaksana.
“Tapi aku kasihan sama Nanda. Lama-lama dia bisa jadi pemalas.”
“Iya sih, tapi kita bisa apa?” sejenak keduanya berpikir.
“Bagaimana kalau kita beri dia pelajaran?” cetus Tweety.
“Maksud kamu?” Casio balik bertanya. Tweety segera membisikkan idenya itu ke telinga Casio. Casio tampak manggut-manggut.
* * *
“Kriiiing!” weker di samping tempat tidur Nanda berbunyi. Nanda melonjak kaget. Dengan malas, diliriknya jarum pendek pada jam weker berbentuk kepala boneka Tweety itu. Pukul 05.30. “Ah, masih pagi,” ujar Nanda sambil menarik kembali selimutnya yang melorot ke lutut.
Pukul enam tepat. Nanda membuka mata lagi, tapi kemudian ia kembali bermanja-manja dengan selimut tebalnya itu. Tiba-tiba…
“Nanda, kamu nggak sekolah? Ayo bangun!”
“Masih ngantuk, Ma. Biasanya kan, Nanda bangun jam setengah tujuh,” ujar Nanda sambil melihat jam tangan Casio-nya yang juga menunjukkan angka yang sama dengan yang dilihatnya pada jam weker.
“Ini sudah siang, Nanda!”
“Ah, Mama. Iya-iya, Nanda bangun!” Nanda segera pergi ke kamar mandi. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Nanda berangkat dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak antara rumah dengan sekolahnya dekat. Sesampainya di sekolah, Nanda terkejut.
“Pak, Pak Udin, buka pintunya dong, Pak! Nanda ada ulangan, nih!” teriak Nanda dari pintu gerbang. Dengan perasaan tidak sabar, dipukul-pukulnya pintu besi itu berkali-kali.
“Maaf, Mbak, kalau bel masuk sudah berbunyi, pintu gerbang harus dikunci.”
“Iya, tapi ini kan belum jam tujuh. Lihat nih,” ujar Nanda sambil memperlihatkan Casio yang terpasang manis di pergelangan tangannya.
“Lho, Mbak Nanda ini bagaimana, wong jam di atas pintu gerbang jelas-jelas menunjuk angka delapan, kok dibilang belum jam tujuh. Jam tangan Mbak tuh, yang minta diservis.” sahut penjaga sekolah itu.
“Yah, Pak Udin,” kata Nanda kecewa. Terpaksa ia kembali pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, Nanda langsung berlari ke kamarnya. Diamatinya jam weker dan jam tangannya dengan seksama. Keduanya menunjuk angka yang sama. Lalu ia melihat jam dinding di ruang tv. “Kok nggak sama ya?” batinnya. Melihat keanehan itu, Nanda menemui mamanya di dapur.
“Lho, kamu bolos?” sambut mamanya. Nanda menunduk takut.
“Nanda terlambat, Ma,” jawab Nanda pelan, tak berani menatap sang mama.
“Makanya, kalau bangun jangan siang-siang. Kalau tidur juga jangan malam-malam…,” Mama terus mengomel menyalahkan Nanda, sampai-sampai Nanda tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk membela diri.
“Jam weker Nanda, Ma, yang rusak,” sela Nanda.
“Perasaan baru bulan lalu mama beliin kamu weker ini. Kok bisa rusak, sih?” tanya mama seraya memperhatikan weker mungil itu.
“Nanda juga nggak tahu, Ma. Jam tangan Nanda juga rusak,” tambah Nanda.
“Ini pasti karena sering jatuh, ya?” tebak mama. Nanda mengangguk mengakui. “Nanda, Nanda, udah dibilangin kalau matiin weker itu hati-hati biar nggak jatuh. Sudah, mama nggak mau tahu, betulin sendiri! Kalau pengen beli lagi, pakai uang kamu sendiri. Jangan minta sama mama atau papa, ngerti?!” kata mama sambil berlalu.
“Hi.. hi.. , rasain!” seru Tweety dan Casio kompak. Tadi pagi mereka sengaja memutar jarum pendek di tubuh mereka lebih lambat satu jam dari waktu yang sebenarnya.
* * *
*cerpen ini dimuat di Majalah Mentari edisi 317/tahun XXIV/5—11 Maret 2006
tfs
BalasHapushihihi.. tfs..
BalasHapusBagus mba.. Jadi kangen ma majalah mentari..
BalasHapuspenggemar mjlh mentari juga ya waktu kecil dulu? ;)
BalasHapus