Judul novel: Di
Antara Dua Cinta (Mencumbu Jenggala, Berkalang Jeram)
Penulis: Inni
Indarpuri
Penerbit: Qiyas Media
Cetakan I: April 2011
Harga: 45.000
Tak banyak karya fiksi yang mengangkat lokalitas budaya
Kalimantan Timur. Novel Diantara Dua
Cinta (DDC) ini salah satunya. Novel bersetting Samarinda, seperti Mukjizat
Cinta dan Jiwa-jiwa Bercahaya, kurang mengeksplorasi latar.
DDC bercerita tentang kisah cinta seorang guru muda bernama
Horizon dan kekasihnya, Zahra. Jalinan cinta Horizon dan Zahra terbentang jarak
karena Horizon mendapat tugas mengajar ke pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya
di Kampung Rikong. Kampung ini tidak ada di peta. Alat transportasi satu-satunya ke kampung
tersebut harus melalui sungai Mahakam, listrik belum ada, dan media komunikasi
hanya radio (itupun dengan sinyal yang kurang baik). Tak heran jika banyak yang
menganggap kampung ini terisolir.
Kisah long distance
relatinship ini agak goyah sejak hari pertama Horizon datang di kampung
itu. Leang, seorang gadis dayak yang merupakan anak kepala adat Kampung Rikong,
mencoba masuk ke kehidupan Horizon. Horizon pun ternyata menaruh hati pada
gadis berparas cantik itu sejak pertemuan pertama.
Kisah cinta segitiga mungkin memang sudah biasa diangkat
menjadi tema dasar sebuah novel. Kisah itu menjadi tak biasa jika dikaitkan
dengan adat istiadat penduduk setempat yang dijadikan setting novel. Konflik
dan alur novel DDC ini tidak digerakkan oleh kisah cinta diantara tokoh-tokoh
utamanya, tetapi justru adat-istiadat-lah yang menggerakkannya.
Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa suku Dayak mempunyai
aturan yang ketat dalam mengatur hubungan perempuan dan laki-laki yang tidak
terikat pernikahan. Seperti yang digambarkan penulis di salah satu bab novel
ini, Akan halnya adat mencari jodoh,
Kampung Rikong pun punya tata cara pergaulan yang tidak lepas dari buku rukun
adat. Sejak dahulu telah diatur bahwa tidak boleh ada seorang perempuan
berjalan berdua-duaan dengan lelaki yang bukan suami atau keluarga dekatnya (hal.155). Lalu di bagian lain ada juga
penjelasan mengenai hukuman dan denda apa yang harus dibayar jika melakukan
pelanggaran (hal.156-168).
Inni Indarpuri sangat detail menggambarkan pedalaman Kalimantan
Timur. Pembaca seperti digiring menyusuri suasana pedalaman dan serasa menetap
disana. Pembaca akan mendapat banyak
pengetahuan baru tentang adat istiadat masyarakat Dayak. Hebatnya, penulis buku
Kenapa Anakku Harus Mengidap Lupus? ini
menuliskan deskripsi tersebut dengan sangat cantik, tidak berpanjang lebar
seperti ceramah.
Penulis asli Samarinda ini sepertinya tidak main-main
melakukan riset. Ia mengaku sempat datang langsung ke lokasi. Salah satu
kelemahan novel yang berdasarkan riset lapangan adalah, penulis cenderung
menuliskan hasil risetnya seperti laporan. Tetapi itu tidak terjadi pada novel
lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman ini. Membaca hasil risetnya,
pembaca tidak hanya akan memperoleh informasi, tetapi sekaligus memperoleh
pengalaman batin. Emosi kita akan ikut terasah ketika menyelami
kearifan-kearifan masyarakat pedalaman. Misalnya ketika Horizon bertanya kepada
penduduk setempat, kenapa anak-anak Dayak lebih mementingkan membantu orangtua
daripada sekolah, pembaca akan tersadar bahwa orang Dayak ternyata punya konsep
hidup yang berpikiran sangat jauh ke depan (hal.77-86)
Kisah cinta Zahra-Horizon-Leang ini belum tuntas hingga
halaman akhir, karena novel DDC ini merupakan bagian pertama dari dwilogi novel
(yang kedua masih dalam proses penulisan). Meskipun secara fisik (kover dan judul) novel
ini kurang menarik, bahkan cenderung biasa saja, tetapi isinya sangat luar
biasa. Novel ini bahkan layak difilmkan [RF. Dhonna]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊