Judul Buku: Seni Menulis dan Membuat Buku
Penulis: Robert Louis Stevenson & Washington Irving
Tebal Buku: 131 + vii halaman
Penerbit: Jendela, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2004
Pada mulanya adalah kata. Ia dituliskan dalam
barisan kalimat dan paragraf. Kisahnya tentang segala isi dunia. Kemudian ia
dirias hingga menawan. Sesudahnya ia dinaikkan ke alat cetak. Lipatan-lipatan
kertasnya disatukan sampai berbentuk persegi. Pada akhirnya ia menjadi buku, yang
dihadirkan kepadamu untuk dijadikan tunggangan bagi sebuah petualangan….
Begitulah bunyi epilog buku yang
tersusun dari gabungan dua esai yang berjudul The Art of Writing dan The
Art of Book-Making ini. Benar bahwa buku adalah salah satu artefak yang bisa
dipakai sebagai tunggangan bagi sebuah petualangan hidup, karena sifatnya mampu
meyakinkan sekaligus mempengaruhi pemikiran seseorang.
Sudah banyak buku-buku tentang
menulis yang beredar di pasaran, tetapi kebanyakan buku-buku tersebut berupa
buku panduan, hanya membicarakan teknik bagaimana cara menulis dan tidak
menyinggung substansi dari kegiatan menulis itu sendiri. Karena itulah buku ini hadir untuk memaparkan bagaimana
menghasilkan sebuah tulisan yang bisa memberikan deskripsi suasana, selingkup
nuansa, bagi sebuah hasil proses artistik dan disajikan caranya.
Buku ini mengungkapkan bahwa
seorang penulis (terutama penulis sastra) itu tak ubahnya seperti seorang
arsitek istana seni yang turut menciptakan peradaban baru melalui kata-kata.
Menurut penulis The Art of Writing, RL Stevenson, dalam bentuk yang
paling sederhana sekalipun, sebuah karya sastra memiliki kekuasaan untuk
melakukan perusakan maupun perbaikan secara besar-besaran (hal.42). Berdasarkan
hal itu, ia menambahkan bahwa moralitas yang harus diemban oleh seseorang yang
berkecimpung dalam profesi kepengarangan adalah wajib menjunjung tinggi
kejujuran pada fakta dan bersemangat penuh dalam melakukan pekerjaannya, karena
ia akan senantiasa bersentuhan dengan idealisme dan realisme yang mengalami
pertempuran untuk memutuskan arah karyanya.
Bagi pengarang Treasure Island
ini ini, tujuan segala seni ialah untuk menggelar sebuah pola yang bisa jadi
tentang warna, bunyi, perubahan perilaku, gambar geometris, atau baris
imitatif, namun tetap sebuah pola. Menurutnya, musik dan sastra merupakan dua
macam seni temporal yang mampu menciptakan pola bunyi dalam waktu, atau dengan
kata lain, pola bunyi dan jeda. Dari jeda yang tercipta itulah, komunikasi
antara penulis dengan penikmat sastra akan terjalin.
Berkenaan dengan baris imitatif,
Washington Irving dalam esainya The Art of Book-Making berpendapat bahwa
kebanyakan penulis buku pada masanya tidak hanya bersikap meniru (imitatif)
terhadap baris-baris tulisan para penulis buku sebelum masanya. Bahkan ia
menyebut mereka sebagai kumpulan predator, yang bisanya cuma mendaur ulang,
menambal sulam, mengambil kutipan dari sana-sini, dan memangkasi karya-karya
cerdas para pendahulu mereka. Hal ini tidak jauh beda dengan masa kini. Seperti
di Indonesia, plagiarisme kerapkali terjadi. Tidak hanya plagiarisme ide atau
tulisan, tapi juga plagiarisme di bidang lain. Ironisnya, para plagiator itu
tetap bangga dengan tindakannya itu. Mengenai plagiarisme, Irving berkeyakinan
bahwa karya curian yang dicangkok para perampok ide itu tidak akan mampu
bertahan lama. Tetapi bagaimanapun juga, berdasarkan pengalaman penulis yang
dikenal sebagai Bapak Cerpen Amerika itu, pada dasarnya setiap penulis sulit
untuk mengelak dari keterpengaruhan dan kecenderungan peniruan.
Buku terjemahan ini dilengkapi
dengan pengalaman Stevenson ketika ia tengah dalam proses pembuatan
novel-novelnya, seperti Treasure Island dan The Master of Ballantrae.
Dia menuturkan apa saja hambatannya ketika menulis novel-novel tersebut.
Sayang, mungkin karena merupakan buku terjemahan, banyak kalimat penyesuaian
dalam buku ini yang kurang bisa
dimengerti maknanya [RF. Dhonna]
*tulisan ini dimuat di Komunikasi edisi tahun 27/235/November 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊