Sabtu 14 juli 2007 pukul 21-an. Mendadak perutku sakit. Rasanya seperti ingin buang air besar. Setiap 5-10 menit sekali, sakit itu menderaku selama 1 menit. Malam itu aku tak bisa memejamkan mata. Perlahan ketegangan merayap—inikah saatnya? Inikah pertanda bahwa bayi yang bersemayam di rahimku sembilan bulan lamanya akan segera lahir? Inikah yang namanya kontraksi? Keesokan harinya, kukonsultasikan hal ini pada Mbak Tri, bidan depan rumah.
“Tunggu sampai sakitnya lebih dari satu menit,” jawab Mbak Tri. “Sabar aja, siapkan mental,” tambahnya. Menurut informasi yang kudapat dari orang-orang yang pernah melahirkan, kalau sakitnya sudah tak bisa ditahan dan pembukaan sudah sempurna (umumnya sepuluh), itu artinya bayi sudah siap dikeluarkan. Aku belum seperti itu. Hari itu aku masih bisa beraktivitas seperti biasa: masak, bersih-bersih rumah, dan lainnya. Pun keesokan harinya. Tidak ada perubahan pada rasa sakit itu.
Terngiang kembali kata-kata dokter empat hari sebelumnya, setelah meng-USG kandunganku untuk kelima kalinya. “Ibu, karena ini sudah lewat tanggal perkiraan lahir (11 Juli), kalau hari rabu depan ibu belum juga melahirkan, berarti ibu harus melahirkan di rumah sakit, pakai rangsangan agar bayinya cepat keluar.” Hah, dirangsang? Aku merinding, membayangkan proses induksi (salah satu teknik rangsangan) yang katanya sangat sakit. Tidak. Aku ingin melahirkan normal. Aku berdoa semoga bayi ini bisa keluar sebelum Rabu 18 Juli nanti.
Senin pagi 16 Juli, Mbak Tri bilang sudah pembukaan satu. Aku harap-harap cemas. Kemungkinan besar paling lambat aku akan melahirkan malam harinya. Tapi menjelang pagi besoknya (Selasa 17 Juli), pembukaannya hanya berubah sedikit. Satu lebih sedikit. “Anak pertama umumnya memang begini, jarak pembukaan satu dengan pembukaan selanjutnya lama, bahkan ada yang sakitnya sampai seminggu,” terang Mbak Tri berusaha menenangkanku. Dia seorang bidan, jam terbangnya banyak, sudah sering menangani bermacam-macam proses persalinan. Yang biasa maupun yang berkasus. Jadi dia lebih tahu. Ibuku sendiri ketika melahirkanku mengalami kontraksi selama tiga hari. Ibu mertuaku juga bilang, nggak perlu khawatir, nanti kalau melahirkan anak kedua nggak akan sesulit anak pertama prosesnya. Jadi aku ‘terpaksa’ agak tenang juga mendengar cerita-cerita itu.
Hari itu Mbak Tri memberi deadline. Kalau sampai magrib pembukaannya belum juga sempurna, aku harus ke RSU Ende. Kegelisahan kembali menyergapku. Perasaanku mulai campur aduk. Antara takut, gelisah, tegang, ingin nangis, semua menyatu. Sejak dulu aku ingin melahirkan di bidan saja. Rupanya suamiku menangkap apa yang kurasakan. Dengan lembut ia meyakinkanku, “Sabar, optimis, pasti bisa lahir hari ini. Masih ada waktu untuk berusaha.” Sejenak aku merasa tenang. Di saat seperti ini, dukungannya sangat berharga untukku, membuatku kembali bersemangat.
Perlahan ia memapahku naik turun tangga yang ada di dalam rumah. Sambil meringis kesakitan, kukuatkan diri untuk berjalan. Mbak Tri menganjurkanku jalan-jalan agar pembukaannya secepatnya bisa bertambah. Sebenarnya fisikku sudah sangat lemah waktu itu. Tiga hari tiga malam aku tak bisa tidur nyenyak. Selama itu kuhabiskan waktu di tempat tidur untuk meredakan rasa sakit itu. Detik demi detik serasa lebih panjang dari biasanya.
Empat jam setelah pemeriksaan pertama di hari Selasa, mbak Tri memeriksaku kembali. Dan, alangkah sedihnya aku. Dengan rasa sakit yang sangat luar biasa, ternyata hanya nambah tiga pembukaan saja! Aku kembali pesimis, air mataku mengalir deras. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan suamiku. Empat hari sudah aku menahan rasa sakit itu. Dan aku merasa tenagaku telah terkuras habis. Aku tak berdaya. Mentalku down. Kapankah ini berakhir?
Suami tak henti-hentinya menenangkanku. Lantunan doa dan dzikir tak putus dipanjatkannya untukku. Ia mengajakku tabah dan tawakal menghadapi masa-masa sulit ini. Kubaca istighfar, salawat nabi, dan kalimat-kalimat toyyibah lainnya. Sambil berharap, Allah memperkenankanku melahirkan hari ini.
Empat jam selanjutnya, mbak Tri kembali memeriksaku. Apa yang dikatakannya membuat keteganganku memuncak: pembukaannya masih tetap empat! Ya Allah, apa lagi yang harus aku lakukan? Aku sudah usaha jalan-jalan, dzikir, berdoa, apalagi? Kesabaranku mulai meluntur. Dalam keadaan kalut, aku mencoba menghubungi kedua orangtuaku, meminta maaf jika selama ini ada kesalahanku yang belum termaafkan. Di seberang sana mereka terus mendoakanku, semoga persalinannya lancar. Aku terharu.
Menjelang magrib, Mbak Tri mengingatkanku supaya mempersiapkan semua yang akan dibawa ke RS. Tapi aku tak melakukannya. Aku berusaha untuk yakin, bahwa itu tak akan terjadi. Mbak Tri memeriksaku lagi. Kupejamkan mata. Aku pasrah. Tiba-tiba ada satu titik cerah: pembukaan sudah sembilan! Subhanallah… tinggal sedikit lagi. Akhirnya aku batal ke RS. Mbak Tri mengerahkan kedua temannya sesama bidan untuk standby di rumahku sejak magrib. Rasa sakit ini semakin tak tertahankan. Tapi Mbak Tri bilang, tunggu sampai air ketuban pecah. Duh, ternyata belum benar-benar berakhir.
Aku berusaha lagi. Kubawa jalan-jalan lagi walau tertatih. Sambil terus melafalkan la haula wa la quwwata illa billah, harapanku agar bayi dalam kandunganku segera lahir terus merekah. Aku percaya, Allah bersamaku. Sampai jam sembilan malam, ternyata ketuban belum pecah juga. Kulihat Mbak Tri segera mengambil tindakan, memecah paksa ketuban! Begitu ketuban pecah, berarti bayi harus keluar secepatnya, tidak boleh melebihi 6 jam. Jika lebih dari itu, akan sangat berbahaya bagi bayi. Celakanya, 1 jam setelah ketuban pecah, kontraksiku melemah. Mengejanku juga masih salah. Ketiga bidan yang menangani persalinanku mulai resah. Aku juga semakin lelah dan lemah. Bahkan di sela-sela proses mengejan, aku sempat tertidur.
Susah payah aku berjuang melawan rasa kantuk yang menderaku. Orang-orang di sekelilingku semakin stres, karena sampai jam sebelas malam, bayi di rahimku belum juga berhasil dikeluarkan. Sudah dua jam sejak ketuban pecah! Aku sudah tak bisa berpikir apa-apa, kosong. Kudengar tiga bidan saling berbisik. Mereka berencana membawaku ke RS jika sampai jam 12 malam aku belum melahirkan.
Sementara itu, suamiku yang selama proses persalinan membantu menopang tubuh dan kepalaku dari belakang, tak henti menyemangatiku agar aku bisa mengejan sekuat tenaga. Entah apa pertimbangan ketiga bidan tadi, tiba-tiba mereka sepakat untuk menyuntikkan cairan (mungkin fungsinya untuk merangsang kontraksi) ke tubuhku. Di antara hidup dan mati, tak putus kusebut namaNya. Ajaib, seolah-olah ada sebentuk energi baru mengalir ke seluruh tubuh. Aku mengejan sekuat-kuatnya, dan.. Allahuakbar, sekitar pukul dua puluh tiga lebih lima puluh sembilan menit, anakku lahir………..
Lega, syukur, semua terasa manis. Tak dapat terlukis. Rasa sakit, nyeri, ketakutan, ketakberdayaan, semua menguap begitu kulihat bayi perempuanku yang masih merah, berganti bahagia yang menyusup pelan-pelan. Alhamdulillah, semua berjalan cukup lancar. Anakku lahir selamat meski sempat terlilit tali pusar. Ia tampak sehat, lucu, dan menggemaskan. Adakah keajaiban lain yang dialami wanita selain peristiwa kelahiran buah hatinya?
17 Juli 2007, menjadi babak baru bagiku. Hari itu aku menjadi manusia baru dengan amanah baru: menjadi seorang ibu dari bayi mungil yang kuberi nama Asmaraya Naura Yasmin. Sebelum kelahiran Raya, aku hanyalah seorang istri. Kini aku harus belajar lagi, belajar bagaimana menjadi ibu yang baik, ibu yang ideal, ibu yang bisa jadi teladan bagi anak-anaknya kelak. Aku berada di titik nol lagi. Aku harap, perlahan bisa naik ke angka yang lebih tinggi dan jangan sampai jatuh ke angka sebelumnya. Amin.
Kelahiran Raya adalah peristiwa yang sangat luar biasa, sangat mengesankan. Dengan kuasaNya, aku bisa melewati detik-detik tersulit dalam hidupku. Dengan proses persalinan yang sangat berbeda dari proses persalinan normal lainnya, aku masih diberi banyak kemudahan olehNya. Seandainya tidak ada campur tanganNya, tidak mungkin Raya bisa lahir. Setelah peristiwa ini terjadi, aku menyadari banyak hal. Mataku terbuka, pikiranku tercerahkan. Raya membuatku semakin mengerti arti sebuah perjuangan. Sejak awal kehamilan, jujur, memang sangat merepotkan. Triwulan pertama aku mual-mual, susah makan, bedrest everyday. Triwulan berikutnya, aku harus terbang ke Ende-NTT, meninggalkan kampung halaman. Penderitaan baru, karena jauh dari orangtua dan saudara. Triwulan terakhir sering stres membayangkan proses persalinan tanpa dampingan orang-orang terdekat, tegang membayangkan sulitnya mengasuh bayi, dll. Kujalani semua itu dengan berat dan setengah hati. Tapi sekarang aku bersyukur, itu semua anugerah. Ya, bisa merasakan semua itu adalah anugerah yang sangat luar biasa, pengalamanku bertambah, perjalanan hidupku menjadi kaya dan bernuansa. Semua ini hikmah. Minimal aku bisa membagi pengalaman ini kepada orang lain.
Mengutip kata Neno Warisman, setiap anak adalah bintang. Aku sangat setuju. Bagaimanapun keadaan anak itu, dia adalah bintang bagi orangtuanya. Raya adalah bintangku. Seperti arti namanya, aku ingin kelak Raya punya nama besar, yang senantiasa memancarkan cahaya bagi sekelilingnya, dan menebar keharuman seperti bunga melati. Kalau boleh mengibaratkan, Raya ibarat sebuah aset berharga. Aku harus merawatnya dengan baik, menjaganya dengan cinta, dan mendidiknya dengan kasih sayang. Mengandung dan melahirkannya aku sudah di antara hidup dan mati. Rugi banget kalau apa yang sudah membuatku demikian susah payah selama sembilan bulan, kusia-siakan begitu saja. Ya, Raya ibarat aset bagiku di masa depan. Semua amalan manusia jika ia sudah meninggal akan terputus, kecuali tiga hal: ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan doa anak saleh. Aku berharap, kelak doa-doa Raya akan menuntun aku dan suamiku, orangtuanya, ke surga. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊